Oleh : Nanda Winar Sagita*
Satu hal yang harus dipahami di sini: pemilihan tokoh berpengaruh yang rencananya akan ditulis dalam tujuh bagian ini sepenuhnya bersifat subjektif.
Saya, selaku penulis, memilih empat tokoh dari masing-masing bidang karena punya kriteria tersendiri yang saya pertimbangkan setelah membaca dan menganalisis pengaruh mereka dalam bidang masing-masing.
Pertama, tokoh itu harus benar-benar berpengaruh dalam skala Gayo, secara khusus, atau nasional, secara umum.
Kedua, tokoh itu harus punya darah Gayo baik dari pihak ayah atau ibu, terlebih lagi keduanya.
Ketiga, tokoh itu harus punya pengaruh lebih besar ketimbang puluhan tokoh lain yang mungkin bisa masuk dalam kategori bersangkutan. Keempat, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat tetap dimasukkan ke dalam daftar.
Adapun tokoh yang dipilih berasal dari abad 19 sampai abad 21, sehingga nama-nama masyhur dari abad yang lebih jauh seperti Sultan Meurah Johansyah, Adi Genali, Sengeda, Cik Serule, dan Datu Beru, dan banyak nama tokoh berpengaruh lain dari era yang sama tidak masuk dalam daftar ini.
Bagian pertama ini terkait dengan empat tokoh ulama paling berpengaruh di Gayo. Memang sulit untuk menentukannya karena para ulama adalah pewaris nabi dan tidak boleh dibeda-bedakan.
Tapi demi mengingatkan kita, khususnya generasi muda, betapa agungnya ulama di Gayo maka ada perlunya untuk memilih empat di antara ribuan nama yang telah terpatri abadi dalam ingatan kita.
Berikut adalah empat ulama paling berpengaruh di Gayo:
1. Teungku Ilyas Leube (1920-1982)
Sulit untuk menentukan apakah Teungku Ilyas Leube masuk ke dalam kategori ulama atau beberapa kategori lain seperti pejuang atau politisi. Namun dalam hal ini, karakteristik paling dominan adalah penentu. Maka dari itu, posisi Teungku Ilyas Leube sudah jelas dimasukkan ke dalam golongan ulama.
Pengaruh yang ditinggalkan beliau tentu sangat jelas: yang dimulai dari peran sentralnya dalam Pertempuran Medan Area dan kisah gemilangnya saat mengislamkan orang-orang di Tanah Karo.
Selain itu, beliau juga turut serta dalam dua pemberontakan terbesar di Aceh, yakni DI/TII dan GAM, dan wafat dalam perjuangannya ketika sedang melaksanakan shalat di Jeunieb.
2. Mude Kala (1910-1961)
Nama aslinya adalah Abdurrahman Daudy, tapi lebih dikenal dengan nama Mude Kala. Sama seperti Teungku Ilyas Leube yang tidak hanya menggeluti satu bidang, selain ulama beliau juga seorang seniman, birokrat, dan pendidik.
Beliau juga tercatat sebagai anggota Ksatriya Pesindo Devisi Rencong pada masa kemerdekaan tahun 1945-1949 dan menjadi anggota Mahkamah Syariah di Kewedanan Takengon tahun 1948-1955.
Pengaruh paling besar Mude Kala adalah beliau tercatat sebagai orang pertama yang menerjemahkan dan menafsirkan Al-Quran secara parsial ke dalam Bahasa Gayo. Selain itu, beliau juga kerap melakukan dakwah dan syiar Islam melalui syair-syair yang dia ciptakan.
Beberapa karyanya masih tetap abadi, dan tentu saja namanya juga akan tetap dikenang sebagai salah satu tokoh Gayo paling gemilang yang pernah lahir ke bumi.
3. Ali Djadun (1929-2016)
Semasa hidupnya, Ali Djadun telah mendedikasikan diri sebagai seorang pendidik. Kurang-lebih beliau telah menjadi pendidik selama hampir setengah abad.
Sebagai seorang ulama, namanya sangat familiar di kalangan masyarakat Gayo, oleh karena itu perannya dalam menebar pendidikan berbasis syariat di tanah Gayo masih terasa hingga saat ini.
Beliau adalah pelopor berdirinya organisasi Muhammadiyah di Gayo sekitar tahun 1966 sekaligus pendiri SMA pertama di Aceh Tengah.
Selain dari rutinitasnya dalam berdakwah, beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua DPRK Kabupaten Aceh Tengah pada 1968. Selama menjabat, beliau selalu fokus untuk memajukan bidang pendidikan bagi masyarakat.
4. Mahmud Ibrahim (1929-2017)
Selain aktif sebagai pendakwah, di sepanjang hidupnya Mahmud Ibrahim adalah penulis produktif yang telah menerbitkan banyak buku.
Sampai usia senja niat belajarnya sangat tinggi, dan itu terbukti ketika pada 23 Februari 2016 beliau meraih gelar doktor di bidang Fiqih Modern di UIN Ar-Raniry pada usia 86 tahun!
Keaktifannya dalam bidang penulisan juga tergambar dari otobiografi berjudul “Perjuanganku” yang baru sempat diterbitkan setahun setelah beliau wafat. Tentu saja pengaruh besarnya yang tidak terelakkan adalah peran sentralnya dalam mendirikan kampus IAIN Takengon bersama Muhammad Syarif dan Arifin Bantacut. []