Oleh : Muhammad Syukri*
Benarkah keterpilihan seseorang dalam pemilihan umum (pemilu) didasarkan pada ketertarikan? Bisa benar, kemungkinan salah juga ada.
Keterpilihan atau dikenal pula dengan istilah elektabilitas, kerap dijadikan dasar keikutsertaan seseorang dalam Pemilu.
Untuk menguji level keterpilihan seseorang, biasanya para surveyor membikin polling. Polling untuk menelisik, seberapa suka responden terhadap sosok tersebut.
Level keterpilihan seseorang diasumsikan akan simetris dengan ketertarikan atau rasa suka konstituen. Artinya, makin tinggi level keterpilihan seseorang maka makin besar peluangnya memenangkan pemilu.
Hanya saja dalam praktiknya, perolehan suara seseorang tidak terlepas dari faktor X. Faktor “siluman” yang sering menjungkalkan hasil polling elektabilitas.
Lantas, selain hasil polling atau survei, angka apa yang bisa menjadi rujukan menelisik elektabilitas seseorang?
Saat ini, angka paling realistis adalah hasil pemilu caleg 2024. Disana tergambar dengan jelas, berapa suara yang memilih sang caleg dalam daerah pemilihannya (dapil).
Untuk mengukur elektabilitas, suara yang diperoleh sang caleg tadi dibagi dengan pemilih di dapilnya, lalu dikalikan dengan 100. Hasilnya menjadi sekian persen, itulah angka elektabilitas yang bersangkutan.
Ingin mengetahuu, apakah yang bersangkutan termasuk tokoh dalam dapil tertentu, lihat saja angka elektabiltas itu atau suara yang diperolehnya dalam Pemilu 2024.
Artinya, semakin tinggi (meski tidak terpilih sebagai anggota legislatif ) angka elektabilitas atau suara yang diperoleh, maka semakin kuat level ketokohan seseorang.