Oleh : Kenara Seni*
Pagi hari yang cerah, matahari memulai sinarnya di atas Kampung Pinangan. Cahayanya terhalang rimbunnya tumbuhan kerleng pogeng sehingga hanya menyisakan berkas tipis melewati di sela-sela tanaman kertan.
Kicauan manuk pepil seolah sedang menyanyikan lagu untuk alam. Bunyi riak, jernihnya kolam beradu di permukaanya angko angko yang lagi berselancar, berpadu dengan sahutan dari beberapa penghuni kolam yang lainnya.
Ya, inilah tempat tinggal jaher kekek, si anak ikan mujahir yang sekarang tengah asyik bermain bersama teman-temannya di sebuah kolam resapan.
Ketika jaher kekek menyemprotkan air ke arah temannya, ia pun memekik nyaring. Sampai akhirnya, kegembiraan mereka terpecah oleh bunyi bising dari sebelah timur kolam. Bunyi bising itu bercampur dengan deru sesuatu yang sama sekali tidak pernah mereka dengar.
“Woy! Lihat Itu!
Semua serentak menghentikan kegiatan mereka dan menengok ke langit yang ditunjuk Jaher Kekek itu. Pasir bercampur batu yang diturunkan dari dump truk putih seperti aliran larva dingin dari gunung merapi.
Beberapa material penimbunan itu seolah tak pernah berhenti dari beberapa mobil damp truk yang membuat tekanan air ke arah mereka semakin bergoncang hebat.
Itu merupakan fenomena aneh yang baru pertama kali mereka saksikan. Selama ini yang mereka tahu, langit selalu berwarna biru cerah dengan air bening seakan bisa bercermin.
Keheningan kolam itu kemudian pecah saat kepras tue tiba-tiba saja datang sambil memekik nyaring, “kolam kita di timbun! Kolam kita di timbun!”
Semua ikut memekik ketakutan. Kolam di timbun! Tempat tinggal kita di timbun!
“jaher kekek! Apa yang kau lakukan!? Cepat pergi!” Kepras tue berteriak sambil mencoba meraih tangan jaher kekek.
Suasana kolam yang tadinya damai tenteram, seketika menjadi neraka bagi semua penghuni kolam. Tanah, batu, pasir dan gelombang mulai menyelimuti separuh kolam ini. Air semakin keruh, jarak pandang terbatas, suhu udara mulai panas, membuat para penghuni makin berteriak nyaring.
Jaher Kekek panik bukan main. Sambil mengikuti langkah perloh, matanya bergerak ke sana-ke mari, mencari sosok ibunya.
“Perloh! Di mana ibuku?” tanya Jaher Kekek.
“i.ibu … ibumu …”Perloh tidak bisa menjawab karena sama-sama tidak tahu di mana para ibu mereka.
“Aku harus kembali ke rumah!” Jaher Kekek melepaskan tangannya dari Perloh, dan akan mencoba menuju ke rumahnya.
Namun, sebelum Jaher Kekek melancarkan niatnya itu, Perloh sudah menarik kembali tangan nya. “Ibumu pasti sudah berada di sudut kota itu bersama ikan dewasa lainnya.”
Jaher Kekek menghiraukan ucapan Perloh, lalu kembali melepaskan tangannya dan berlari sekuat mungkin menuju rumahnya.
“Jaher Kekek!” Perloh berteriak dibelakangnya.
Jaher Kekek sampai di dekat rumahnya dengan napas terengah. Matanya terbelalak dengan warna air yang keruh dan mendengar rintihan dari sosok ibunya yang bersusah payah mencoba keluar dari pintu rumah yang tertutup longsoran batu timbunan.
“Ibuuuu!” teriak Jaher Kekek sekuat tenaga.
“Sedang apa kamu?! Cepat pergi dari sini!” teriak ibu Jaher Kekek sambil menggerakkan tangannya, menyuruh Jaher Kekek menjauh dari tempat ini.
“Tidak! Aku tidak mau ibu!” balas Jaher Kekek keras kepala. Kenapa ibunya masih bisa berkata seperti itu? Padahal jelas-jelas ia dalam keadaan Tertimbun?
“Cepat pergi, anakku!”
“Jaher Kekek! Ayo pergi!” Tiba-tiba saja Perloh datang ke tempatnya dan langsung menarik tangan Jaher Kekek.
“Tidak mau!” Jaher Kekek menyentak tangan Perloh keras. “Ibu! Aku akan menyelamatkanmu!”
“Jangan, Jaher Kekek!” bentak Perloh
Kraaak! Braaak! bruuk!
“Ibuuu!! Ibuuu!!” Jaher Kekek terus menangis dan memanggil ibunya. Kerleng Pogeng terakhir tertimpa batu dan pasir bergerak turun dan menutup rumah Jaher Kekek.
“Ayo, Jaher Kekek, kita harus pergi,” ajak Perloh, dengan linangan air mata sambil menarik tangan Jaher Kekek mereka melangkah.
Sekali lagi Jaher Kekek menoleh ke belakang saat dirinya sudah cukup jauh dari rumahnya. Tidak ada lagi tempat bermain sama teman temannya menikmati cerahnya pagi, heningnya malam, ramahnya alam, tenangnya kolam.
Apa yang mereka cari, apakah mereka menimbun ketamakan, keserakahan. apakah hati mereka sudah mengeras seperti batu sampai tidak peduli dengan lingkungan dan menindas makhluk lemah seperti kami.
Ayahku menghilang, Ibuku tertimpa longsoran timbunan. Tubuhku saat ini terhimpit material tak lama lagi aku juga akan bahagia bersama mereka. Catatan terakhir Jaher Kekek. Wassalam.
Pantan Terong, 13 Oktober 2023