(Catatan Akhir Pekan) Bangun Perpustakaan di Rawa Bisa Teronop

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Kuyu keras mugerak kerusung
Gintes asu renye musangka
Arungne tutu mayak tepung
Sahan salah? Cube jeweb sudere mulo?

Terjemahan bebasnya;
Angin kencang menggerakkan daun pisang kering
Anjing terkejut lalu berlari
Dia menabrak alu dan tumpahlah tepung
Siapa yang disalahkan? Ayo coba saudara jawab?)

Demikianlah gambaran negeri ini. Jadi Renggelak atau berantakan. Kita tidak tahu siapa yang harus disalahkan. Kecuali kalau kita mampu mengurai satu demi satu benang kusut untuk menemukan simpul masalahnya.

Pada 7 Oktober 2023 lalu, Azmie Azman menulis di lamam Facebooknya, dengan judul “Aceh Tengah sedang tidak baik-baik saja.” Sedikitnya 32 masalah yang butuh komitmen bersama untuk diselesaikan. Tentu saja butuh motor penggerak yaitu pimpinan daerah.

Ya pemimpin daerah, yang sudah menjadi barang langka di negeri ini. Pemimpin sekarang bukan “orang besar.” Tapi orang yang “dibesar-besarkan.” Dengan kata lain, pemimpin sekarang bukan lahir dari pengkaderan yang benar. Dia lahir secara otodidak yang nasib-nasiban.

Kalau pemimpin itu seseorang bupati, maka salah satu alat ukurnya, bagaimana dia merencanakan tata kotanya. Kalau Renggelak, bisa dipastikan dia tidak bekerja. Sebagai birokrat dia hanya duduk manis pada zona nyaman.

Tata kota mencerminkan karakter pemimpin. Seperti yang ditulis Tengku Kamaruddin dari Majelis Adat Gayo (MAG) dalam bukunya “Jirim dan Jisim; Aneka Karakter Manusia Dalam Perspektif Gayo” ada istilah “Si runtuh agih” yaitu orang suka mengotak atik, tapi hasilnya justru menjadi renggelak.

Sesuatu yang sebelumnya tidak bermasalah, tetapi ketika dioger-oger menjadi lebih berantakan. Dalam istilah Gayo juga disebut “tukang pukik.”

Allah SWT telah menciptakan Kota Takengon dan sekitarnya dengan ekosistem yang seimbang. Gunung, hutan, rawa, danau, kawasan budi daya dan pemukiman jadi satu sistem simbiosis mutualisme.

Seiring dengan perjalanan waktu, demi pemenuhan hawa nafsu manusia, alam semesta yang diadakan Sang Maha Pencipta, dirusak dengan alasan pengembangan kawasan menjadi beralih fungsi. Misalnya dari kawasan lindung menjadi kawasan pemukiman.

Rawa-rawa di Kota Takengon telah banyak dibangun kantor-kantor pemerintahan. Padahal semua kita tahu rawa itu berfungsi lindung, buffer zone dan kawasan resapan.

Berita teranyar rawa Paya Bata Kuli di Pinangan telah berdiri Hotel bintang empat, Grand Bayu Hill Hotel dan kini sedang dibangun tiang-tiang besar untuk perpustakaan. Jelas tindakan itu menyalahi aturan.

Masih menurut buku “Jirim dan Jisim” bahwa perbuatan melangkahi aturan, seperti membangun perpustakaan dan hotel yang tidak sesuai dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) Kota Takengon dalam Bahasa Gayo diistilahkan dengan “munyoke belide remet, mulumpeti junger atas.”

Hotel dan perpustakaan dibangun dengan menimbun rawa atau pada kawasan rawan bencana. Pada satu saat terjadi banjir bandang menghantam bangunan yang berdiri di sana. Bangunan hancur dana pun ikut lebur. Perbuatan seperti itu diistilahkan sebagai “teronop” atau jatuh bangkrut.

(Mendale, Oktober 14, 2023)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.