Oleh : Fauzan Azima*
TOKOH dan Gubernur Aceh pada 1968-1978, Abdullah Muzakir Walad, pernah menjadi guru, kepala sekolah, tentara, pebisnis, konsultan, dan penasihat. Beliau lahir di Lubuk Sukon, 20 Agustus 1920, dan wafat pada usia 103 tahun.
Muzakkir Walad salah satu tokoh yang gigih mengader generasi muda menjadi “generasi emas”. Setidaknya bagi pemuda Lubuk Sukon, Kecamatan Ingin jaya, Aceh Besar. Desa itu kita kenal kini sebagai salah satu gampong yang masih menjaga kearifan lokal dalam kehidupan bermasyarakat.
Pada masa pemerintahan Abdullah Muzakkir Walad, muara Krueng Aceh sampai ke Lampulo, sering terjadi banjir. Lantas dia menambah satu muara lain Alu Naga untuk mempercepat air sungai mengalir ke laut. Proyek pembangunan Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh itu melewati Kampung Lubuk Sukon.
Proyek DAS Krueng Aceh dan ganti rugi pembebasan tanah warga Lubuk Sukun lantas dijadikan modal untuk membiayai generasi muda gampong itu bersekolah. Hasilnya sekarang tidak ada pejabat dinas pada Pemerintahan Aceh tanpa warga Lubuk.
Dalam kurun waktu 30 tahun, ratusan anak Lubuk Sukon menjadi pejabat. Dua di antaranya adalah bekas Sekretaris Daerah Aceh, Taqwallah dan Setia Budi. Hanya mereka yang mampu menjadi pesaing anak Pidie dalam Pemerintah Aceh.
Ratusan kilometer dari Lubuk Sukun, tidak ada tokoh Gayo zaman baheula yang berpikir untuk mempersiapkan generasi mudanya. Sehingga sekarang kita sulit mencari tokoh birokrat, pengusaha dan politisi, berasal dari Gayo. Sulit kita mengandalkan orang sekarang sebagai uwah jalu untuk tingkat provinsi, apalagi nasional.
Banyak faktor penyebab Gayo minim kader tokoh. Faktor utama adalah dendam politik masa lalu yang diteruskan kepada generasi berikutnya. Setiap pemimpin dan kelompoknya berkuasa dengan membunuh karakter kelompok lain.
Kaderisasi hanya terjadi pada masa Bupati Mustafa M Tamy. Tapi waktu berkuasanya sangat singkat. Sehingga tidak banyak tokoh yang lahir. Selanjutnya pada masa Bupati Nasaruddin beberapa tokoh politikus, birokrat dan pengusaha lahir walau sebatas daerah Bebesen.
Pada masa Bupati Tagore di Bener Meriah dan Shabela di Aceh Tengah tidak ada lahir kader baru, baik di kalangan birokrat, pengusaha maupun politikus. Dan kini, masyarakat di Aceh Tengah dan Bener Meriah kebingungan mencari tokoh yang layak untuk diusung sebagai bupati, anggota legislatif, baik di provinsi ataupun di pusat.
Pada awal-awal kemerdekaan, Muhammad Hasan Gayo dan Tengku Ilyas Leubee pernah membawa pemuda-pemuda Gayo ke Jakarta. Hasilnya sampai pada 1980-an banyak orang Gayo yang bekerja di kantor-kantor Kementerian.
Generasi muda Gayo sekarang bisa sukses bukan dari proses kaderisasi dari tokoh-tokoh terdahulu. Mereka meniti jalan secara autopilot. Mereka tidak pernah mendapat sentuhan dari para senior.
Sesungguhnya masa depan generasi muda Gayo tidak jelas. Dalam ungkapan bahasa Gayo, “entah kera entah kedih”; serba tidak pasti. Tidak ada perencanaan dari tokoh-tokoh yang berkuasa saat ini. Mereka enggan mempersiapkan anak-anak muda untuk memimpin Tanah Gayo, alih-alih di tingkat provinsi dan nasional.
Yang terjadi sebaliknya. Anak-anak muda dicekoki dengan politik praktis. Mereka tidak punya gambaran besar. Generasi sekarang cukup senang hanya dengan menjadi tim sukses tingkat kampung. Ini bukan karena kerendahan hati.
Apabila hari ini kita bersepakat mengader generasi muda menjadi tokoh di masa depan yang mampu bersaing di tingkat provinsi dan nasional, maka Gayo bakal menuai hasil pada 2040 atau 2050. Jika tidak, siap-siaplah hanya menjadi wadal (sesajen) negara.***
(Mendale, Oktober 9, 2023)