Oleh : Fauzan Azima*
SEJUJURNYA saya tidak pernah ke Berawang Kenil. Kalau ada orang meminta tolong agar saya mengantarkan dia ke sana, jelas saya bingung tentang arah mana yang akan dituju. Saya hanya kenal nama yang asing di gerbang telinga gara-gara irigasi Berawang Kenil bermasalah itu pernah viral.
Hanya saja, saya sering memikirkannya sampai terbawa bermimpi. Dalam mimpi itu ceritanya sangat runtut. Ada wajah-wajah sinis para pelaku terhadap saya. Mimpi saya berlanjut. Tergambar masa depan mereka yang suram.
Di dalam mimpi itu, saya melihat orang yang terlibat dalam pembangunan irigasi sarat masalah itu berpesta pora dan tertawa puas. Tiba-tiba ada bayangan putih, datang entah dari mana, lalu membisikkan sepotong kalimat di telinga saya, “senyum dan tawa mereka hanya kamuflase. Sikap itu hanya menutupi hati mereka yang sedang remuk.”
Sudah jadi rahasia umum mereka me-86-kan kasus itu dengan kode 550. Tapi apabila jurnalis masih menulisnya, maka pihak-pihak yang mempetieskan kasus ini tidak bertanggung jawab lagi. Jadi cepat atau lambat mereka harus siap-siap dikerangkeng. Hanya soal waktu saja.
Kemudian dalam mimpi itu, beberapa pejabat dan penerima aliran dana mendapatkan surat panggilan dari aparat penegak hukum. Sebagian langsung ditetapkan sebagai tersangka dan sebagian lagi mondar-mandir ke kantor APH untuk dimintai keterangan sebagai saksi.
Orang-orang yang mendapatkan surat panggilan sebagai tersangka langsung dititip ke LP dengan memakai baju tahanan berwarna oranye. Kerabat dilarang menjenguk, kecuali keluarga yang tercantum dalam Kartu Keluarga atas persetujuan kepala kejaksaan.
Dalam hitungan pekan. Mereka diadili berdasarkan bukti-bukti yang ada pada APH dan keterangan saksi-saksi. Setelah terbukti bersalah mereka divonis dengan hukuman penjara. Saya lupa masing-masing mereka mendapat hukuman berapa tahun. Setelah hakim selesai membacakan vonis kepada para pesakitan, mereka digiring ke mobil tahanan dan dikirim kembali ke LP untuk menjalani hukuman sisa masa tahanan.
Saya kaget dan terbangun dari mimpi. Keringat saya bercucuran. Padahal suhu udara malam itu 16 derajat celcius. Lalu saya duduk termenung, mengingat-ingat mimpi yang tampak jelas. Seperti baru saja nonton film bioskop XXI.
Setelah mengingat alur mimpi itu mata saya berkaca-kaca. Saya membayangkan hidup mereka, yang seperti sampah, setelah rentetan peristiwa hukum di mimpi itu; ditangkap, diadili dan dipenjara. Padahal mereka adalah saudara saya. Meski dalam mimpi seharusnya saya membelanya. Tapi seperti ada kekuatan lain yang menghalangi saya.
Saya turun dari tempat tidur menuju kamar mandi untuk berwudhu, lalu salat malam dua rakaat. Pada sujud terakhir saya berdoa, “ya Allah, hamba yang hina ini berharap mimpi buruk malam ini tidak menjadi kenyataan.”
(Mendale, Oktober 5, 2023)