Oleh : Fauzan Azima*
SYAHDAN, Mayor Jenderal Soeharto bersama Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dan Batalion 328/Para Divisi Siliwangi mulai melakukan operasi penumpasan G30S/PKI. Tentu saja anasir Partai Komunis Indonesia pada waktu itu menjadi sasaran; banyak dari mereka ditangkap dan dieksekusi mati.
Pada masa itu, tidak sedikit masyarakat yang tidak faham PKI menjadi sasaran pembunuhan. Banyak di antara mereka yang menjadi korban “tilok upuh kerung”. Kalau dilabeli tiga huruf: PKI, maka kematian pun membayangi mereka. Kalau sudah dicap tiga huruf, perasaan malaikat maut sudah nongkrong di pangkal jantung.
Bertahun-tahun kemudian, Pemerintah Indonesia juga melakukan hal yang sama. Tapi kali ini yang disasar adalah tiga huruf yang berbeda: GAM. Akronim dari Gerakan Aceh Merdeka. Setelah menerapkan Daerah Operasi Militer (DOM) untuk memburu pejuang-pejuang GAM, yang dicap pemerintah sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Orang Aceh yang dituduh tiga huruf terpaksa lari dari kampung kalau tidak mau akan ditangkap atau diculik oleh aparat militer.
Di Aceh Tengah beberapa kampung dicap sebagai kampung “dawat ilang” atau tinta merah. Label ini diberikan pada daerah yang dihuni banyak pejuang GAM. Di antaranya Kampung Kenawat Lut. Sehingga banyak orang memplesetkan GPK sebagai Gerakan Pemuda Kenawat.
Pada tahun-tahun 90-an, banyak pemuda Kenawat pergi meninggalkan kampung halaman ke Pulau Jawa agar tidak jadi bulan-bulanan. Saking banyaknya pemuda- pemuda Kenawat di Jawa, sampai ada Gang Kenawat di Pondok Ranji, Tangerang Selatan. Tempat itu sering menjadi persinggahan pejuang GAM eks Libya.
Pulau Bali juga menjadi tujuan pemuda Kenawat. Mereka bertahan hidup dengan berdagang. Baru pada serangkaian pengeboman yang terjadi di Bali pada 1 Oktober 2005 mereka kembali ke Aceh. Apalagi situasi Aceh saat itu lebih aman karena GAM dan Pemerintah Indonesia sudah menandatangani Perjanjian Damai Helsinki. Ditambah lagi ekonomi Bali yang jatuh karena tak banyak lagi wisatawan asing.
Pada 2002, Pemerintah Indonesia mendirikan KPK RI atau Komisi Pemberantasan Korupsi. Satu lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan untuk memberantas korupsi di kalangan pejabat yang tidak bisa ditangani kepolisian dan kejaksaan.
Di Bener Meriah, kabupaten tetangga Aceh Tengah, KPK menangkap dan menahan dua bupati. Syukur di Aceh Tengah belum ada. Tapi ini bukan berarti tidak ada. Belum bukan berarti tidak. Melihat besar dugaan korupsi di daerah ini, pejabat kita seperti mengundang resmi lembaga antirasuah itu masuk ke Aceh Tengah. Ingat kita dihukum karena perbuatan kita. Jangan nanti setelah tertangkap menyalahkan Tuhan.
Beberapa pejabat berusaha mengantisipasi andai yang tiga huruf hijaiyyah; Kaf-fa-kaf itu datang tiba-tiba. Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kasus korupsi disimpan rapi dan sangat tertutup, atau mungkin telah dimusnahkan.
Beredar kabar dana-dana hasil korupsi banyak yang sudah dikonversi dengan logam mulia (emas) yang disimpan pada dinding-dinding rumah yang dicor sangat rapi. Dalam hal ini KPK perlu membawa gold detector yang bisa menembus dinding semen.
Dari masa ke masa ada saja tiga huruf menjadi momok yang menakutkan. Tapi sejujurnya semua kita tidak perlu takut, asal saja dengan konsisten mengamalkan “kitab bako” atau kitab jalan-jalan. Inti ajaran dalam kitab itu adalah hidup harus jujur.
(Mendale, Agustus 29, 2023)





