Berhentilah Menangis

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

BERPISAH pada saat cinta menggelayut di dada sungguh menyakitkan. Terlebih-lebih di saat terlalu banyak kenangan indah yang tidak bisa pupus dari ingatan. Mungkin takdir sahabat itu tidak berjodoh sehingga terpaksa berpisah kala bunga cinta sedang mekar-mekarnya.

“Mengenang itu rasanya aku tidak sanggup lagi hidup di dunia ini,” kata seorang sahabat mengungkapkan perasaannya kepadaku.

Aku hanya bisa diam sambil memilih kata-kata yang tepat untuk kusampaikan. “Dari mana aku mulai menenangkannya?” “Ah, sebaiknya aku biarkan saja dulu sahabat itu menceritakan semua masalahnya. Barangkali dengan menumpahkan isi hatinya; biar plong.”

Ternyata sahabat itu pernah menikah siri dengan lelaki pujaan hatinya. Tapi kali ini berbeda. Tidak seperti saat berpisah dengan suami pertama karena tidak ada lagi rasa cinta. Ketika si mantan suami pergi, sahabat itu merasa lega.

Satu-satunya yang membuat sahabat itu harus berbaik-baik dengan mantan suaminya itu adalah anak-anak. Mereka masih butuh sosok ayah. Walau mereka berpisah, sahabat itu tetap berusaha mempertahankan komunikasi tetap lancar untuk menunjukkan kepada anak-anak seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Sahabat itu nekat menikah “di bawah tangan” atas dasar cinta dan restu orang tua serta khawatir jatuh pada perbuatan dosa. Kerelaannya dimadu dengan durasi bertemu sekali sepekan tidak masalah baginya.

Dia menjadikan itu sebagai bumbu penyedap percintaan; semakin lama tidak bertemu, semakin kuat rasa rindu. Anggap saja itu sebagai metode “pacaran halal”.

Tapi sepandai-pandai menyimpan istri muda, akhirnya diketahui yang tua juga. Entah bagaimana jalannya, hubungannya dengan sang suami simpanan diketahui oleh istri tua yang belum tua-tua amat.

Tidak hanya tekanan dari keluarga besar, di tempat kerja, pernikahan itu juga mengancam pekerjaannya. Status sebagai istri siri cukup baginya untuk menerima ancaman diberhentikan dari pekerjaan. Padahal dari pekerjaan inilah dia mencukupi kebutuhan hidup anak-anaknya agar tetap bersekolah.

Ada banyak aturan yang dilanggarnya. Satu di antaranya adalah pasal 551 KUHP: melompati pagar rumah tetangga tanpa izin terancam sanksi dan penjara. Ada pula Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.

Terlepas dari kejamnya pasal itu, barangkali bisa menjadi obat bagi para pencemburu yang khawatir kepada pasangannya lompat pagar. Bagi sahabat tadi, tidak ada pilihan lain. Dia adalah satu-satunya pihak yang dituntut untuk bertindak untuk kebaikan semua pihak.

Perpisahan pun terjadi. Kedua pasangan itu, dengan berat hati, harus berpisah dengan dibuktikan lewat surat cerai yang ditandatangani di atas materai Rp. 10 ribu. Masalahnya cinta soal hati, bukan harga materai.

Saya mencoba menganalisa dengan kepala dingin. Surat itu hanya tertulis “menceraikan” pilan binti polan. Ternyata bapak yang berbahagia itu cerdas juga, dia menuliskannya bercerai, seharusnya talak tiga. Tampaknya. soal kata cerai dan talak tiga perlu telaahan khusus.

Percayalah, peluang rujuk kembali terbuka lebar. Tinggal yang menjalani, apakah berupaya memanfaatkan atau tidak. Karenanya, sahabat berhentilah menangis dan hapuslah air matamu segera. Anggaplah air mata garam kehidupan, tapi jangan larut dalam kesedihan.

(Mendale, Agustus 21, 2023)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.