Oleh : Fauzan Azima*
KETIKA Bujang Pane bersekolah di madrasah tsanawiyah (setingkat SMP), dia sering merasa heran. Terutama saat kawan-kawannya bersemangat di tengah malam buta mencari daun sirih.
Belakangan dia baru tahu bahwa daun itu digunakan sebagai media mantra cinta untuk mendapatkan pujaan hati. Itupun bukan perkara mudah. Karena pemetikan harus dilakukan tepat pada pukul 00:00 WIB.
Tulang kanan dan kirim daun sirih pun harus pula simetris. Dalam bahasa Gayo, daun model ini disebut belo tamung gagang. Lantas, atas nama solidaritas, Bujang Pane terpaksa berpartisipasi; melakukan niat tidak terpuji kawan-kawan.
Sesampai di rumah seorang kawan, tempat mereka menumpang tidur malam itu, mereka bergagas menyiapan daun-daun yang baru dipetik. Mereka membersihkan dan mengeringkan daun-daun sirih itu.
Bujang Pane memperhatikan semua tindak tanduk kawan-kawannya. Mereka menulis di atas dua daun sirih kata-kata berbahasa Arab dengan tinta berwarna merah. “Fakubkibu…” Pada satu sirih dituliskan nama si laki-laki dan pada sirih lainnya dituliskan nama perempuan yang ditaksir.
“Oh begitu,” Bujang Pane mulai memahami cara kerja ajian itu. “Siapakah sasaran saya?”
Bujang Pane memang tidak memiliki nama kandidat untuk dituliskan bersama namanya di atas daun sirih. Sama sekali tidak punya bayangan, entah itu teman bermain atau teman di sekolah.
Tidak juga anak-anak yang tinggal di dekat rumahnya. Mohon dimaklumi. Bujang Pane mendakwa dirinya untuk fokus belajar, menjadi juara umum, agar kelak bisa berguna bagi nusa dan bangsa.
Tiba-tiba di tengah lamunannya, seorang dara melintas di hadapannya. Dia kaget bukan kepalang. Sang dara tengah menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu sebelum melaksanakan salat tahajud. Bujang Pane tercekat sambil memegang daun sirih itu.
Bujang Pane sangat mengenal gadis itu. Aila namanya. Dia adalah adek kelas Bujang Pane. Lantas iblis berbisik ke hati Bujang Pane. Tiba-tiba Bujang Pane memiliki satu nama untuk ditulis di atas dua daun sirih bersama namanya: Aila. “Fakubkibu..” Lantas dua daun sirih bertuliskan dua nama itu disatukan dan diletakkan di bawah bantal tidur.
Pagi menjelang. Di sekolah, Bujang Pane mendengar teman-teman yang terlibat dalam aksi malam itu saling mengungkapkan rahasia tadi malam lantas tertawa puas. Ajian pengasihan itu sukses dirapal.
Mereka juga ingin tahu cerita Bujang Pane. Saat ditanya, Bujang Pane berkilah dan pura-pura tidak berminat, “saya tidak jadi memasangnya.”
Padahal hati Bujang Pane saat itu sedang berbunga-bunga karena Aila baru saja menyapanya dengan penuh senyum.
Tentu saja itu cerita dulu, tahun 1980-an. Sebagaimana ilmu kesaktian lain, mantra cinta lewat berbagai media mulai kadaluarsa dan ditinggalkan karena tidak lagi punya khasiat. Mantra cinta tidak lagi ditulis di atas daun sirih. Mantra cinta saat ini beroda dengan logo Alphard atawa Mercedez Benz.
“Akulah kubah Masjidil Aqsa.” Demikian mantra cinta terbaru yang baru saja dirilis. Tentu saja mantra itu tidak sekedar ucapan. Si lelaki harus mengumpulkan emas sebanyak-banyaknya. Sulit membayangkan seorang perempuan menolak jampi-jampi mahar emas sebesar kubah Masjid Al Aqsa. Setidaknya untuk saat-saat sekarang ini.
(Mendale, Agustus 10, 2023)