Oleh: Ihsanuddin, S.Ag*
Islam mengajarkan kepada umatnya agar dalam menjalani hidup ini selalu berusaha meraih derajat atau martabat yang tinggi. Konsep-konsep tentang orang yang berderajat tinggi diajarkan dalam Islam, misalnya muttaqin, mukminin, ulul albab, dan seterusnya. Orang-orang yang meraih gelar terhormat tersebut adalah biasanya lantaran sukses di dalam menjaga harga diri dan rasa malu.
Keharusan mempertahankan harga diri dan rasa malu akan menjadikan manusia itu semakin berkualitas. Dalam ajaran Islam, bahwa berbagai hal, yaitu : agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal, harus selalu dijaga. Bahkan untuk mempertahankan harga diri atau jiwa, termasuk rasa malu, disebut sebagai bagian dari iman. Dikatakan dalam hadits nabi bahwa, malu adalah bagian dari iman.
Sering kita mendengar kata-kata motivasi yang terangkai dalam kalimat introspeksi. Bahwa manusia yang berkualitas adalah yang mampu menempatkan hidup di atas harga diri, menempatkan harga diri di atas harga materi. Jadilah orang yang bermanfaat walaupun masih sebatas niat. Niat yang baik akan mempermudah berbuat baik.
Selain itu, ada lagi renungan yang pernah diucapkan oleh ahli hikmah bahwa “Bila manusia suka menganggap kecil orang lain, maka semakin tampak besar kesombongan pada diri manusia itu sendiri. Bila orang suka meremehkan orang lain, maka semakin tampak besar keangkuhan pada dirinya sendiri.”
Mawas diri dalam rangka introspeksi sebagai upaya menjaga harga diri, manusia harus berhati-hati dalam menjalani hidupnya. Dalam hubungan sosial masyarakat hendaknya tidak mudah terjebak dengan yang kasat mata. Sebagai ungkapan: jangan tertipu oleh terangnya bulan, karena di balik itu ada sisi gelapnya. Jangan menghina kelamnya malam, karena di balik itu mungin masih ada setitik cahaya.
Jangan terlalu cepat menilai orang lain dari penampilan, karena belum tentu mencerminkan kepribadian. Jangan pula menghina yang tampak kesederhanaan, karena bisa jadi di balik itu tersembunyi sesuatu yang mempesona. Di saat kita susah sangat sulit orang mengakui kita sebagai keluarga. Walaupun mereka keluarga sendiri. Tapi suatu saat, orang-orang yang tidak kita kenalpun kan mudah mengakui keluarga.
Tidak usah kita berusaha disukai orang, itu tidaklah perlu itu. Berusahalah disukai Allah Swt. Dan kita tidak perlu berusaha keras dicintai orang. Karena yang membolak balikkan hati itu adalah Allah Swt. Lepang saja, lepang saja lakukan yang terbaik dengan ikhlas, tulus. Mungkin orang suka, mungkin tidak suka. mungkin biasa-biasa saja, mungkin dicemooh. Tidak apa-apa.
Selalulah bermuhasabah, memperbaiki diri. Kita yakin bahwa Allah memberikan kepada setiap orang kelebihan dan kekurangan. Bukan tanpa maksud. Allah menganugerahkan itu semua agar manusia jauh dari kesombongan. Karena kesombongan itu takkan mengantarkan seseorang menuju ke tempat yang lebih baik.
Di sadari bahwa ada orang yang punya rentetan gelar begitu banyak, punya jabatan yang tinggi, namun sayangnya ibadahnya tidak beres. Ilmu agamanya masih sangat minim. Ditambah lagi tak punya keinginan untuk menambah ilmu akhirat, beda dengan ilmu dunianya yang terus ia kejar.
Terkait dengan introspeksi diri atau dalam istilah Islam dikenal dengan istilah muhasabah, dalam surah Al-Hasyr ayat 18 Allah Swt berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Dalam ayat tersebut di atas, Allah Swt memerintahkan kepada orang beriman untuk bertakwa dan berinstrospeksi diri. Masing-masing dari kita hendaknya selalu berpikir dan mencermati apa yang telah dipersiapkan untuk akhiratnya kelak. Jika telah berbuat baik dan beramal shalih, maka hendaknya kita memuji Allah subhanahu wa ta’ala atas kemurahan-Nya, dan tetap istiqamah (konsisten) dalam kebaikan itu sepanjang hidup kita.
Namun jika kita masih berbuat maksiat, maka hendaknya kita tinggalkan semua maksiat, beristighfar (memohon ampun), dan memperbaiki hati, karena di akhirat kelak tidaklah bermanfaat harta dan keturunan serta apa pun jua kecuali orang-orang yang memasuki kehidupan akhirat dengan hati yang bersih.
Di akhirat kelak, seseorang akan dihisab dan dimintai pertanggungjawaban atas pendengaran, penglihatan dan hatinya, sebagaimana ia akan dihisab atas apa yang dilakukan oleh seluruh anggota badannya. Oleh karena hati adalah pemimpin anggota badan, maka perbuatan-perbuatan anggota badan sejatinya mencerminkan apa yang ada dalam hati. Jika hati baik, maka anggota badan menjadi baik. Dan jika hati rusak, maka rusaklah anggota badan.
Allah membenci 6 (enam) sifat yang kerap dilakukan hamba-Nya. Keenam sifat ini yakni sombong, rakus, banyak omong yang tidak peduli apakah omongannya halal atau haram, menjadi bangkai di malam hari, menjadi keledai di siang hari, dan mengetahui perkara dunia namun bodoh mengenai perkara akhirat.
Enam sifat yang sangat dibenci oleh Allah Swt tersebut dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, sebagai berikut:
“Allah sangat membenci orang ja’dzari (orang sombong), Jawwadz (rakus lagi pelit), suka teriak di pasar (bertengkar berebut hak), bangkai di malam hari (tidur sampai pagi), keledai di siang hari (karena yang dipikir hanya makan), pintar masalah dunia, namun bodoh masalah akhirat.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya 72 – Al-Ihsan)
Demikianlah, semoga dengan memahami pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah, sebagaimana tersebut dalam surah Al-Hasyr ayat 18 dan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban di atas, kita kan semakin menyadari tentang pentingnya introspeksi diri dalam kehidupan kita sehari-hari.
Manusia yang dalam menjalani kehidupannya selalu menjaga harga diri dengan selalu melakukan introspeksi, muhasabah dan perbaikan-perbaikan diri, terutama dalam amal ibadahnya. Habluminallah dan hambluminannasnya, Insya Alah akan semakin menjadi manusia yang berkualitas.
*Kepala Sub Bagian Tata Usaha Kankemenag Kab. Aceh Tengah