Oleh : Fauzan Azima*
“PAKEUN panglima hana mat beudei? (Mengapa panglima tidak memegang senjata?)” Muallim Muzakkir Manaf bertanya dengan nada tinggi ketika kami selesai membangun bivak sederhana di Bukit Rebol. Kecamatan Bandar, Bener Meriah.
Kami membangun bivak di sebuah lokasi yang berjarak sekitar satu jam berjalan kaki dari Kampung Bathin Atas, kampung terdekat. Lokasi itu sengaja dipilih karena terdapat sinyal telepon genggam dan memudahkan kami mendapatkan logistik. Di sana juga banyak kaki tangan kami. Keberadaan mereka sangat penting untuk memantau pergerakan musuh.
Saya tidak menduga pertanyaan itu dari Muallim. Belum sempat saya menjawab, pengawal Muallim, yaitu Husaini Pranco, menimpali.
“Menyoe keunong drop hana pat meulawan. Menyoe na senjata hana sembarangan awak nyan drop (Kalau ditangkap kita tidak sempat melawan, tetapi kalau ada senjata tidak sembarangan mereka menangkap kita),” kata Husaini Pranco yang membelot dari anggota Polri.
Saya sadar kekhawatiran Muallim dan Husaini Pranco. Panglima harus “lengkap baret”. seorang panglima harus lebih segalanya dari pasukan biasa. Mulai dari seragam, pistol, senjata laras panjang, dan telepon satelit, semua harus melekat pada seorang panglima. Tujuannya untuk kewibawaan. Baik di tengah pasukan maupun saat bertemu dengan masyarakat.
Tapi saya punya alasan untuk tidak bersenjata. Pertama, jumlah pasukan saya lebih banyak dari senjata. Kedua, saya adalah seorang panglima. Meski tanpa senjata, pasukan saya tahu dan bahwa saya adalah panglima. Kalau untuk berbangga dibutuhkan segala atribut, cukuplah jabatan sebagai panglima yang menjadi atribut kebanggaan saya.
Ketiga, saya menyerahkan senjata saya kepada pasukan sebagai kebanggaan bagi mereka dan kehormatan bagi pasukan. Keempat, saya sama sekali tidak ingin pasukan segan atau takut kepada saya. Saya bersama pasukan seperti ayah dengan anak. Seorang ayah akan lebih mementingkan kebutuhan anak ketimbang hasrat diri sendiri.
Pasukan meninggalkan keluarga demi perjuangan. Lebih bijaksana jika saya memuliakan mereka dengan memberikan apa yang ada pada kita, sebagai bentuk empati dan tanggung jawab kepada pasukan. Sehingga kalau ada pakaian, makanan, dan peralatan, yang membuat mereka bangga dan senang, saya akan serahkan itu kepada mereka.
“Situasi hana dalam perang, Muallim, hana peu pasukan mat beudei bak pinto tamong (situasi tidak dalam perang, Muallim, tidak apa, pasukan di pintu masuk yang pegang senjata)” jawab saya. Tampak Muallim tidak puas dengan jawaban saya, tetapi beliau maklum.
“Meski aman harus mat beudei cit, karna lam masa prang mandum jeut terjadi, menyoe hana dari musuh, dari rakan droe, (walaupun aman harus pegang senjata juga, dalam masa perang, apapun bisa terjadi, kalau tidak dari musuh, bisa juga kawan sendiri)” kata Muallim.
“Yang penting bek didrop musuh lage drop manok. Menyoe na beudei pasti hana sembarangan drop atau jitimbak dan syahid (yang penting jangan sampai musuh menangkap kita, seperti menangkap ayam, kalau ada senjata, musuh tidak sembarangan menangkap kita atau ditembak dan syahid),” timpal Husaini Pranco, kemudian dia tertawa.
Kami berdiskusi lama tentang senjata sampai waktu salat magrib tiba. Diskusi itu bubar. Kami berwudhu masing-masing di tempat yang cukup jauh, turun ke sungai kecil melewati jalan terjal dan licin.
Pengalaman berperang tanpa senjata ini sejatinya mengingatkan saya pada salah seorang tentara sekutu pada era Perang Dunia II, Desmond Doss. Bedanya, dia adalah seorang tentara yang menolak untuk memegang senjata karena tidak ingin membunuh. Jadi selama perang berlangsung, dia hanya membantu para tentara yang terluka. Bahkan dalam satu kesempatan dia malah membantu pasukan musuh.
Selain tidak ingin membunuh, saya menolak memegang senjata untuk menghormati teman-teman saya dengan menyerahkan senjata saya kepada mereka. Meskipun saya adalah seorang panglima wilayah.
(Dikutip dari buku “Sang Gerilyawan” terbitan Kosa Kata Kita, hal. 325)