Perang Gerilya Masa Lalu di Gayo

oleh
Tengku Said Abdullah atau populer dengan panggilan Aman Nyerang (gambar lukisan sumbangan Aidilan Helmy “pelukis spiritual” tinggal di Sabang)

Oleh : Fauzan Azima*

PADA 1873, Belanda mengumumkan maklumat perang terhadap Aceh. Sultan Aceh menghadapi maklumat itu dengan perang terbuka, tetapi setelah Istana Darud Dunya jatuh ketangan penjajah, sultan dan para pengikutnya mundur ke hutan untuk melakukan perlawanan dengan taktik gerilya. Seperti yang lumrah kita ketahui, tujuan Sultan Aceh dan pengikutnya melakukan perang gerilya adalah menolak takluk kepada penjajah yang menerapkan ideologi kolonialisme dan imperialisme demi menjalankan misi 3G (Gold, Glory, dan Gospel).

Sebagaimana lazimnya taktik gerilya, mereka bergerak dalam kelompok-kelompok kecil yang umumnya bersenjata pedang dan rencong. Gerilyawan menyerang markas-markas Belanda, mengadang patroli marsoses dan apabila muncul kesempatan, mereka membunuh para pejabat militer dan sipil Belanda.

Daerah yang pegunungan dan lembah, dengan pohon-pohon besar, menjadi peluang gerilyawan dan tentu saja menjadi hambatan dan tantangan bagi penjajah Belanda.

Gerilyawan berjuang berdasarkan keyakinan terhadap agama, harta, harga diri, keluarga dan nasab, dengan memegang teguh prinsip habluminallah, habluminannas, dan hablumfilalam dalam berjuang. Konon para gerilyawan bekerja sama tidak hanya dengan dengan makhluk lahir, mereka juga berhubungan dengan makhluk gaib.

Dalam Perang Gayo Alas Melawan Koloniaslis Belanda yang disusun oleh M Hasan Gayo, terbitan PN Balai Pustaka, disebutkan bahwa pada 1902, dari arah Medan, pasukan Belanda yang dipimpin H Colijn berencana masuk ke daerah Linge untuk mengejar Sultan Aceh yang berada di Tanah Gayo. Sampai di Bur Intim-Intim, mereka diadang dan digempur oleh para gerilyawan Gayo. Pasukan Colijn mengalami kekalahan besar dan mundur meninggalkan jasad pasukan yang tewas.

Dia datang lagi. Kali ini dengan jumlah pasukan yang lebih besar. Mereka lebih siap dan lebih siaga. Pada pengadangan itu, 17 pejuang Gayo syahiddan beberapa pucuk senjata dirampas. Sedangkan korban dan kerugian dari pihak Belanda tidak pernah disebutkan jumlahnya.

Belanda berhasil masuk ke wilayah Linge, tetapi Raja Linge yang bernama Reje Item memilih masuk hutan untuk bergerilya. Dia adalah salah seorang raja di Gayo yang sangat anti dan menentang Belanda. Ketika Van Daalen melakukan operasi di daerah Linge, Reje Item tidak sudi untuk menyerah pada Belanda.

Dia tetap bergerilya sampai mangkat. Jasadnya tidak pernah ditemukan. Reje Item di Linge, Pang Aman Loha dari Jamat juga bangkit melawan Belanda meski pada akhirnya mereka ditangkap dan ditahan pada 1917.

Begitu juga Said Abdullah atau Aman Nyerang yang bergerilya selama 21 tahun dengan menghadapi segala macam perang dengan Belanda. Namun baru pada 3 Oktober 1922, saat dia bersama Aman Rasum diburu oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Jordans, syahid tertembak di hulu Sungai Serbejadi.

Pada 1904 Belanda menguasai daerah Gayo Linge dan Gayo Lut. Akan tetapi para pang, para raja, para ulama, dan rakyat, menolak takluk pada penjajah. Mereka mengundurkan diri ke gunung-gunung dan menyusun rencana untuk menyerang Belanda dengan cara bergerilya.

Di daerah Pegasing, Reje Putih juga masih gigih berjuang bersama para pengikut yang setia. Beberapa di antara mereka adalah Tengku Imem Blanggele, Reje Aceh adik dari Reje Pegasing, Awan Beramat, Pengulu Mude, dan Tengku Reje AwanDulah. Mereka sering beroperasi di daerah Celala, Kute Muslimin,Pepayungan, Angkup, Kuyun, Rutih, dan Wihni Durin. Mereka mendirikan markas. Dalam bahasa Gayo disebut bem.

Berdasarkan informasi dari pengkhianat, Belanda pernah menyerang pasukan Reje Putih yang menyebabkan banyak gerilyawan syahid. Di antaranya Tengku Haji Empun Seri Kuli dan Reje Aceh yang saat itu berstatus pengantin baru, Pengulu Gayo, Pengulu Garang, Beramat beserta istri dan anak-anaknya. Mereka berasal dari Kampung Kung.

Pada 1913, daerah di sekitar Angkup sering jadi sasaran serang marsose. Pada penyerangan itu syahid juga para pejuang seperti Pengulu Mude, Awan Tengku Serampak, dan lainnya. Sedangkan Reje Putih selalu bisa meloloskan diri. Baru pada 1915 Reje Putih berhasil ditembak oleh Belanda di daerah Semelit, di sekitar Beruksah, yang berjarak 45 kilometer di utara Takengon.

Selain Reje Putih, di Pegasing juga terkenal seorang pejuang bernama Pang Pren yang berasal dari kampung Kung. Beliau adalah orang yang diperintahkan Tengku Tapa Bur Kul untuk memimpin gerilya di Bebesen dan Pegasing. Sedangkan Pang Ramung diperintahkan bergerilya di daerah Bukit, Takengon. Pang Pren sering bolak balik Aceh Timur, Aceh Utara, mendampingi Tengku Tapa dalam berperang. Pang Pren syahid di Sekuwel yang kini berada di sekitar Batu Lintang.

Selain itu di Pegasing ada juga seorang pejuang yang terkenal dengan nama Pang Jama. Setelah serangan Belanda 1904, dia melarikan diri ke Blangkejeren dan bergabung dengan gerilyawan di sana. Pada 1905, dia kembali lagi ke Takengon. Dia tetapi disergap Belanda saat pergi dari Kampung Kung ke Blang Bebangka. Ia sempat melawan dan membunuh beberapa pasukan Belanda.

Pada 1910, gerilyawan Gayo pimpinan Pang Bedul Mampak menyerang markas Belanda di Wih Pecampuren, jalan ke Samarkilang. Mereka berhasil menghancurkan markas itu danmenewaskan banyak serdadu Belanda. Pang Bedul Mampak, yang berasaldari Kebayakan, merupakan anggota dari pasukan Pang Ramung.

Penyerangan itu bermula dari informasi seorang tahanan Belanda dari Jawa bernama Lek Sul. Dia melarikan diri setelah ditawan oleh Belanda, kemudian bergabung dengan pasukan gerilya. Lek Sul inilah yang memberikan keterangan kepada gerilyawan mengenai keberadaan markas militer Belanda. Atas petunjuk Lek Sul, dua brigade Belanda itu bisa dihancurkan dan seluruh senjata mereka dirampas kaum gerilyawan. Dalam penyerangan itu, hanya satu orang yang selamat, seorang Ambon bernama Muskita yang akhirnya melaporkan kejadian penyerangan itu kepada penguasa militer Belanda di Takengon.

Gayo tidak pernah habis dengan tokoh gerilyawan. Mereka bukan hanya tidak mau menyerah kepada Belanda, mereka juga tidak mengakui Indonesia sebagai satu negara. Sebagaimanayang disebutkan sebelumnya, mereka adalah Pang Akub, Pang Latih, Pang Bedel, Pang Ben, dan Pang Cik. Mereka inilah yang menginspirasi Tengku Ilyas Leube untuk bergerilya kembali bersama Tengku Hasan Muhammad di Tiro.

Di Gayo Lues, meskipun Van Daalen menghancurkan tujuh benteng pertahanan dan tiga pertahanan rakyat Alas, masih banyak pejuang dari sana yang tidak mau menyerah pada Belanda. Di antara tokoh Gayo Lues yang menentang Belanda adalah Raja Bukit atau Aman Linting. Setelah bentengnya hancur, dia mundur ke gunung dan menyusun pasukan baruuntuk bergerilya. Baru pada 1908 Aman Linting disergap dan ditembak Belanda di daerah Blangkejeren. Kepalanya dipenggal dan dipertontonkan kepada rakyat.

Tokoh terkenal lain di Gayo Lues adalah Muhammad Din. Ketika Belanda membuka sekolah rakyat di Blangkejeren, dia bekerja sebagai guru. Dia tetap melanjutkan perjuangan di bawah tangan untuk menggulingkan kekuasaan Belanda. Pada 1925 dan 1926, Muhammad Din, yang dibantu oleh Pang Bahren dan Pang Jalim, nekat menyerang tangsi Belanda di Blangkejeren.

Serangan itu gagal karena informasi dari seorang pengkhianat yang dibocorkan kepada Belanda. Mereka ditangkap dan dibuang ke Digul, Tanah Merah. Setelah bebas, mereka kembali lagi ke Blangkejeren dan berjuang mempengaruhi para cendekiawan untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Ada pun pejuang di daerah Lokop Serbejadi yang cukup dikenal adalah Inen Mayak Teri. Dia punya dendam membara kepada tentara Belanda karena menyiksa dan membunuh suaminya dengan keji.

Akhirnya Inen Mayak Teri bertapa di tengah hutan untuk mendapatkan kesaktian. Pada 1916, Inen Mayak Teridan pasukannya mengobrak- abrik tangsi Belanda di daerah Lokop. Pada saat itu pasukan Belanda tertidur nyenyak. Pasukan Inen Mayak Teri membuat Belanda lingkang pukang. Inen Mayak Teri berhasil membunuh kontlir Belanda, sebelum pada akhirnya memutuskanuntuk kembali masuk ke hutan. Banyak pasukan Belanda yang mati. Pasukan Inen Mayak Teri hanya mendapat luka-luka ringan.

Inen Mayak Teri bukan satu-satunya gerilyawan perempuan. Selain dia, tercatat nama Datu Cari yang memang terkenal sebagai perempuan luar biasa. Dia bahkandisebut sebagai perempuan petempur terakhir dalam perlawanan terhadap Belanda.

Beliau juga ikut menyerang markas Belanda di Delung, di bawah pimpinan Inen Mayak Teri, Reje Cik, dan Reje Mude. Penyerangan itu berhasil menewaskan 60 pasukan Belanda. Pada masa itu, Belanda merasa perlu menempatkan pasukan di Kampung Delung. Kampung ini dianggap sebagai pintu gerbang pasukan gerilyawan untuk keluar masuk ke daerah Jamat, Linge, hingga ke Takengon.

Kampung Jamat berada sekitar dua kilometer sebelum masukke Kampung Delung. Di sana, Belanda membuat tangsi atau markas besar dengan menempatkan sekitar 300 pasukan. Pasukan Belanda masuk ke wilayah Jamat seraya melakukan shock therapy dengan menembak mati tiga orang kampung yang tidak bersalah.

Mengetahui kejadian tersebut, Reje Cik dan Reje Mude memilih bergerilya menjadi “pasukan muslimin” ke tengah hutan belantara bersama rakyat dengan meninggalkan seluruh harta benda dan sampai akhir hayat tetap menolak tunduk kepada Belanda.

(Dikutip dari buku “Sang Gerilyawan”)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.