Oleh : Fauzan Azima*
KEDAULATAN adalah hak yang diberikan Allah kepada manusia. Berasal dari bahasa Arab yang diserap mentah-mentah ke dalam bahasa Indonesia; daulat. Dalam bahasa latin, kedaulatan disebut dengan superanus yang berarti teratas. Lantas kata ini diadopsi diadopsi ke dalam bahasa Inggris, sovereignty.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, daulat berarti kekuasaan, pemerintahan. Berdaulat artinya mempunyai kekuasaan tertinggi atas suatu pemerintahan negara atau daerah. Dalam terminologi Aceh Merdeka yang dimaksud wilayah berdaulat adalah berjalannya pemerintahan dan peraturan Aceh Merdeka, yaitu ditandai dengan berjalannya struktur dari pusat sampai kampung. Anasir Pemerintahan Indonesia harus tunduk atau setidaknya berkoordinasi dengan pemerintahan di wilayah tersebut.
Di Aceh, tingkat wilayah kedaulatan Gerakan Aceh Merdeka adalah wilayah Samudera Pasai, Pidie, Bateilek dan Peureulak. Setiap proyek atau kegiatan pemerintahan, apapun jenisnya, harus dikoordinasikan dengan anasir GAM. Meski pelaksana proyek adalah personil TNI/Polri, mereka tetap harus setor fee-nya kepada GAM. Pada masa konflik itu berlaku. Perang jalan terus, berbagi rizki juga menjadi keharusan.
Saat itu Gayo Lues belum mencapai tingkatan kedaulatan seperti Pidie, Pasai, Bateilek dan Peureulak. Di kampung-kampung yang bersisian dengan hutan, dan kebanyakan masyarakatnya bekerja dalam kawasan hutan, warga tetap berkoordinasi dengan GAM. Hubungan antara GAM dengan masyarakat tergolong unik. Mereka terhubung dalam struktur yang tidak sempurna. Namun hubungan ini menjaga gerak pasukan lebih leluasa dari kampung ke kampung.
Saat Wilayah Gayo Lues berdaulat, pasukan GAM yang berada di wilayah sekitar Gayo Lues menjadikan daerah itu sebagai destinasi gerilya terakhir. Di antaranya tercatat Wilayah Linge, Wilayah Blang Pidie dan Wilayah Peureulak menjadikan Gayo Lues sebagai tempat berlindung dari kejaran musuh.
Hal lain yang menjadikan Gayo Lues sebagai perlindungan terakhir adalah letak wilayah yang relatif mudah ditembus. Para gerilyawan GAM memanfaatkan koridor satwa sebagai akses masuk dan keluar Gayo Lues. Hutan daerah itu masih sangat perawan dengan tutupan yang luas.
Saat perang berkecamuk, GAM seperti mendapatkan keuntungan sebagai “tuan rumah”. Alam memberikan dukungan yang dibutuhkan seluruh pasukan untuk bertahan. Dengan memanfaatkan koridor satwa, kecil kemungkinan terjadi kontak tembak dengan musuh. Pasukan yang terlalu jauh menghindar dari musuh disindir sebagai pasukan yang trauma; kalau tidak ingin sebagai pasukan penakut.
Berdaulat juga bisa diartikan sebagai “mengetahui gerak musuh”. Bahkan sejak musuh berangkat dari markasnya dan arahnya ke mana serta jumlahnya berapa? pasukan GAM sudah mengetahuinya. Sehingga mereka tidak perlu lari jauh. Cukup bergeser saja sesaat agar tidak bersinggungan.
Penting bagi pasukan mengetahui informasi konkret tentang jumlah musuh yang beroperasi. Di Wilayah Pasai, TNI sering berangkat ke lapangan dengan kekuatan 100 personil. Jangan heran jika jumlah anggota pasukan yang kembali ke markas hanya 70 orang. Sisanya mengendap untuk melakukan antigerilya. Pasukan Gayo Lues mendapat informasi yang akurat tentang hal ini.
Ketika berlaku Darurat Militer, Pasukan Pang Suya dan Pang Genancing serta lainnya, dari jarak 1 kilometer, masih bisa menonton helikopter yang membawa Penguasa Darurat Militer, Mayjen TNI Endang Suwarya, yang turun di Kompi Senapan C/112 Blangkejeren di Kampung Sangir. Seandainya pada masa itu GAM melengkapi diri dengan senjata sniper, tentu dengan mudah pasukan GAM menyasar sang penguasa.
Sesusah apapun pasukan GAM pada suatu daerah, bahkan dalam keadaan terkepung, komunikasi harus tetap terjalin dengan pasukan lain dan masyarakat. Hal ini penting sebagai sinyal kepada pasukan dan masyarakat bahwa mereka masih berdaulat atas daerahnya. Ini menjadi penambah semangat dalam perjuangan.
Komunikasi ini dilakukan dengan berbagai cara. Saat itu tidak semua kelompok dalam GAM dilengkapi dengan handy talky (HT) dan telepon seluler. Cara yang dilakukan untuk tetap berkomunikasi adalah lewat surat. Pada setiap penutup surat, dituliskan nama daerah sebagai wilayah berdaulat, waktu surat dibuat. Tulisan Wilayah berdaulat juga berarti tempat rahasia.
Dalam peraturan Aceh Merdeka yang tidak tertulis, terdapat dua hal yang tidak boleh ditanyakan. Andaipun ditanyakan, maka pertanyaan itu harus dijawab dengan tidak mengungkapkan hal sebenarnya. Pertama, posisi. Kedua jumlah senjata. Kalau ada yang bertanya tentang dua hal itu, walau berasal dari kalangan GAM atau masyarakat, maka patut dicurigai bahwa yang bersangkutan telah berbalik gagang dan membelot ke pihak musuh. Dalam kata lain, yang bersangkutan sudah tidak berdaulat.
(Raklunung, Juni 23, 2023)
Baca Juga : Catatan Masa Konflik (Bag. 6) : Pasukan GAM Gayo Lues Mabuk Asap Kayu Medang Gatal