Siloka Mencari Istri, Seperti Mencari Burung Gagak Putih

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Kamu adalah mahkota yang berada di dalam peti besi pada sebuah rumah megah yang dikelilingi tembok tinggi dan tebal.

Aku yang pejejik lagu tersik dan pesesuk lagu tolong seperti kucing yang berharap ikan sarden yang terbungkus rapi dalam kaleng yang diletakkan dalam kotak dan ditutupi tudung saji.

Belum lagi pengawasan melekat dari tuan rumah. Sisi mana lagi yang bisa aku tembus? Sungguh mustahil! Seperti isarat doa perlindungan, “Aku duduk dalam kanang kanung kalimat Lailaillallah.”

Terlalu rumit dan banyak tahapan yang harus aku lalui. Aku harus mengusahakan tangga untuk melewati tembokmu, lalu aku harus mencari kunci untuk membuka rumahmu, kemudian aku juga harus mencari di ruang manakah kamu disembunyikan?

Selanjutnya aku harus membongkar peti besi dengan linggis, baru aku menemukan dirimu. Begitupun, belum ada kepastian dari sang pemilik hati. Sungguh aku terlalu tua untuk mendobrak semua itu.

Mundur teratur adalah pilihan buruk. Ksatria tidak boleh menyerah. Meskipun setidaknya sekali seumur hidup harus merasakan kalah agar kelak kita tetap menghargai kemenangan sebagai bagian dari kesempurnaan hidup.

Hidup harus dinamis dan lebih berwarna. Bahkan ada yang berpendapat ekstrem; “Hidup tidak sempurna kalau tidak pernah berperang dan dipenjara.”

Terhina adalah resiko bagi siapapun yang mundur dan kalah dari peperangan. Bahkan bisa didakwa sebagai “penjahat perang” yang harus membayar kerugian selama perang berlangsung.

Resiko yang demikian itu, sehingga ada yang dengan tegas menyatakan sikap, “Lebih baik berputih tulang di dalam rimba Tuhan daripada harus menyerah.”

Tidak ada lagi yang harus aku perbuat dengan mundur dan kalah berarti harus berdamai dengan kenyataan pahit itu.

Mengubur rindu bukanlah pekerjaan mudah, tidak semudah merapalkan mantra, “tujuh kun, tujuh kuala, tujuh pintu terbuka,”

menghapus bayang senyum di bibirmu jauh lebih sulit dari ganasnya perang di Vietnam, Libya, bahkan Cot Trieng sekalipun.

Inilah makna yang tersirat dari, “Kita telah kembali dari perang yang kecil menuju perang yang besar.”

Benarlah kata nenek moyang kita yang pelaut itu, “dunia tidak selebar daun kelor,” dan benar pula, kata seorang sahabat, hanya diri yang bisa membahagiakan diri, “Jangan pernah berharap orang lain yang membahagiakan diri kita.”

Nasehat sahabat lainnya, “Gapailah cita-citamu dalam mencari istri seperti mencari burung gagak putih. Itu hanya ada dalam dongeng atau siloka. Tidak lain bermakna adalah menyucikan hatimu.”

(Raklunung, Juni 15, 2023)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.