Oleh : Fauzan Azima*
TAHUN 2000, pada masa konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia, saya bersama Tengku Amri alias Tengku Burak Antara hendak bersilaturahmi ke Wilayah Samudera Pase. Selama masa pergerakan itu, saya bertahan di wilayah Linge (daerah Gayo) dengan kelembaban udara tinggi.
Kondisi itu menyebabkan kulit saya menjadi lebih gelap. Ciri-ciri yang paling khas tentu saja terlihat pada banyak perempuan Gayo. Gadis Gayo yang datang ke daerah pesisir gampang ditandai karena muka mereka memerah seperti tomat matang. Saya berpikir, mendatangi daerah dengan cuaca hangat di kawasan pesisir bakal memberikan sedikit perbedaan dan mengubah mood.
Kami mengendarai motor Honda CB. Tangki motor itu dicat dengan kelir hijau. Hari itu cukup cerah. Perjalanan sepertinya terlihat lancar sampai kami tiba di Gunung Salak. Dari situ, saya terpaksa turun dari motor dan berjalan kaki karena jalan terlalu rusak, motor itu pasti tak sanggup.
Jarak saya dan Tengku Burak cukup jauh. Panas mulai menembus pakaian dan membakar kulit. Keringat bercucuran. Napas ngos-ngosan. Saat itu, berat badan saya lebih dari 0,1 ton lebih. Saat itu, semua terasa berat. Saya tidak bisa melangkah lebih cepat lagi. Tengku Amri menunggu saya di pematang. Dia memandangi saya lantas tersenyum melihat saya hampir tidak berdaya melintasi jalan menanjak. Belum sampai di Pematang, Tengku Burak berkata, “Sandimu Tengku Gajah Putih.”
Sejak itu, Tengku Amri memperkenalkan saya kepada pasukan dengan sebutan Tengku Gajah Putih atau populer dengan panggilan “Ama Gajah.” Nama alias itu lebih populer di ketimbang nama asli saya, Fauzan Azima. Saya senang dengan sebutan itu. Banyak orang membuat nama sandi dengan nama daerah. Akibatnya, saat pasukan TNI/Polri melakukan pemeriksaan, mereka sering bermasalah.
Enam tahun saya bergerilya, Alhamdulilah masih dapat menulis tulisan ini. Kini di usia ke-51. Saya terkena serangan stroke sebab dalam istilah medis darah tinggi dan kolesterol, tapi sebenarnya hukuman untuk saya sekarang ini sebab terlalu jauh dari berlaku benar, eling (kesadaran) dan jujur (BEJ). Sehingga “kesaktian” saya hilang.
Seperti tubuh, negara atau lembaga juga bakal sakit jika penghuninya, pengurusnya, orang-orang di dalamnya, terlalu banyak berbuat salah; salah berjamaah. Demikian juga yang terjadi pada Universitas Gajah Putih (UGP), yang dikelola oleh Yayasan Gajah Putih Takengon dengan Akte Notaris Hajjah Zahara Pohan, SH Banda Aceh Nomor : 37 Tahun 1986 Tanggal 25 Februari 1986 dan Akte Notaris Usman, SH di Banda Aceh Nomor : 155 Tanggal 24 Juli 1990, Tentang pendirian Yayasan Gajah Putih selaku Penyelenggara Perguruan Tinggi/Universitas Gajah Putih di Takengon.
30 tahun berdiri, UGP berjalan dengan baik sampai kepemimpinan dipegang ole Rektor Eliyin. Satu per satu masalah mencuat dan seperti tidak bisa diatasi. Bahkan saat ini, 75 dosen di kampus itu belum menerima gaji. Mereka memutuskan untuk tidak lagi terlibat dalam proses belajar mengajar.
Saya memantau kondisi ini sejak lama. Gunjang-ganjing ketidakberesan manajemen UGP kerap terdengar, komunitas UGP, sadar atau tidak, terlalu jauh dari bersikap benar, eling (sadar) dan jujur (BEJ). Saya merasa ada kesamaan antara kami, saya dan orang-orang di UGP.
Sebagai individu, seharusnya kita sama-sama menjaga kehormatan diri. Tidak ada perselingkuhan bagi kita yang berkeluarga. Sementara untuk anak gadis atau bujang sama-sama menjaga kemaluan mereka dari hasrat yang menggelora.
Kita (saya dan kampus UGP) sama-sama sakit. Penyebabnya pun sudah sama-sama kita tahu. Obatnya tiada lain harus kembali kepada BEJ agar kita sama-sama sehat, kuat dan menjadi orang yang didambakan zaman ini.
(Mendale, April 10, 2023)