Ramadhan, Bulan Bahagia

oleh

Oleh : Zarkasyi Yusuf*

“Orang yang diikat dunia memperkaya badan kasarnya, bersolek, sombong, memuliakan diri dari orang lain. Tetapi orang yang percaya bahwa dia hanya singgah di dunia, berusaha memperindah batin, budi dan jiwanya”.

Ini salah satu kalam hikmah Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Pelajarannya, orang yang yakin akan perjalanan jauh (akhirat), pasti orientasinya memperbaiki batin, budi dan jiwanya. Target bahagia mereka pun tidak semu dan hanya pada persoalan memperbanyak harta dan gelamornya kehidupan dunia.

Jika dikaitkan dengan kehadiran ramadhan, kehadirannya harus disambut suka cita. Sebab, ramadhan adalah hadiah terindah dan istimewa dari Allah untuk ummat Nabi Muhammad SAW. Disamping itu, dalam ramadhan dianugerahkan oleh Allah beragama kelebihan, satu diantaranya adalah lailatul qadar.

Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dan Imam Ahmad Rasulullah bersabda, “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan pada mu berpuasa di bulan itu. Dalam bulan itu dibukalah pintu pintu langit dan ditutuplah pintu pintu neraka dan syaitan syaitan dibelenggu. Pada malam itu terdapat satu malam yang nilainya lebih dari seribu bulan. Siapa yang tidak memperoleh kebajikan di malam itu, maka ia tidak memperoleh kebaikan apapun.“

Ramadhan menjadi media yang dapat dimamfaatkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kuantitas dan kualitas amal kebaikan, karena dengan kebaikanlah batin akan selalu bahagia. Manusia waras pasti senang dan bahagia mendapatkan hadiah istimewa.

Berbicara tentang kebahagian, pertanyaan yang sering muncul adalah apa arti bahagia, dan dimana kebahagian itu diperoleh? Jawaban pertanyaan ini sangatlah beragama. Mereka yang bersemangat mencari harta, menyakini dengan harta kebahagian akan diperoleh, harta menjadi instrumen untuk mengapai bahagia.

Orang yang bersemangat mencari pangkat dan jabatan meyakini bahwa pangkat dan jabatan yang disandang akan mengantarkan kebahagiaan baginya, apalagi dengan tunjangan dan dukungan fasilitas yang melimpah. Mereka yang gemar mencari ketenaran meyakini popularitas akan mengantarkan mereka meraih bahagia.

Begitu abstraknya bahagia, semua orang fokus mencari kebahagian dengan cara yang diyakini mampu mewujudkan bahagia yang diimpikannya. Kadang tidak disadari, mengejar kebahagiaan dengan menempuh jalan tidak bahagia, malah berakhir dengan derita. Tetapi, bahagia adalah tujuan utama, dampaknya pasti akan diabaikan oleh mereka yang bersemangat mencari kebahagiaan.

Kita abaikan dinamika orang orang memahami makna dan cara meraih bahagia, biarkan saja berjalan pada pada jalur yang dipahami masing masing. Sebab, akhirnya pasti akan disadari jalur mana yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan yang sebenarnya.

Dalam kajian tasawuf modern, Buya HAMKA membuat daftar kaidah bahagia. Menurutnya, orang fakir mengatakan bahagia pada kekayaan, orang sakit mengatakan bahagia pada kesehatan, orang yang terjerumus dalam dosa mengatakan bahwa berhenti dari dosa adalah kebahagiaan, orang yang sedang jatuh cinta mengatakan bertemu dengan kekasihnya adalah bahagia.

Bagi pemimpin rakyat, kemerdekaan dan kecerdasan umat bangsa yang dipimpinya itulah bahagia baginya. Pengarang syair merasa bahagia jika syairnya dihafal orang lain, wartawan dan penulis akan bahagia jika berita dan tulisannya dibaca dan dipahami orang.

Sejatinya, kebahagiaan itu harus mampu dimaknai dalam makna yang sederhana, sehingga tidak perlu modal besar meraihnya, tidak perlu jabatan untuk menundukkannya serta tidak perlu bergelimang harta memperolehnya. Kyai Bahauddin Nur Salim (Gus Baha) dalam ceramahnya pernah mengatakan “senyuman adalah cara sederhana untuk bahagia“.

Makna ini sejalan dengan makna bahagia yang disampaikan imam al-Ghazali yang menyebutkan bahwa kebahagiaan itu terletak pada kemenangan memerangi hawa nafsu dan menahan kehendaknya yang berlebihan. Orang mukmin dapat meraih kebahagiaan dengan cara sederhana.

Syekh Nawawi al-Bantani dalam Nashaihul Ibad menjelaskan tiga orang yang sangat bahagia, pertama orang yang selalu merasa bahwa Allah selalu bersamanya dimana pun ia berada. Ada kisah menarik ketika Rasulullah menenangkan kegalauan Umar bin Khattab, beliau berkata “Saya ini hamba Allah, Allah tidak pernah mengecewakan saya“.

Dalam perjalanan hidup Rasulullah, Beliau sering berpuasa karena tidak ada makanan yang dimakan, kadang hampir sebulan dapurnya tidak berasap. Namun, Rasulullah tidak pernah mengeluh, bahkan untuk mengurangi rasa lapar batu dililitkan pada perut mulia Beliau.

Kedua, Orang yang bertahan atau bersabar dalam menjalankan ibadah dan tahan dalam menanggung musibah. Dalam menjalankan ibadah pasti banyak halang rintang dan godaan, bersabar dalam menjalankan ibadah akan mengantarkan manusia menggapai istiqamah dalam ketaatan.

Istiqamah dalam ketaatan memotivasi manusia untuk sabar dan bertahan menghadapi ujian (musibah) dari Allah. Sebab, mereka yakin bahwa Allah tidak akan mengecewakan hambanya yang taat.

Ketiga, Orang yang rela dengan rezeki pemberian Allah yang ada di tangannya dan merasa tenteram ketika tidak bergelimang harta. Suatu ketika Dzun Nun al-Mishri musafir menuju sebuah kota, dalam perjalanan beliau sempat tertidur di pinggir jalan. Saat terbangun, beliau melihat seekor burung yang jatuh dari sangkarnya, tiba tiba tanah terbuka dan mengeluarkan dua wadah, satu terbuat dari emas dan berisi biji bijian simsim, wadah satunya lagi terbuat dari perak yang berisi air.

Dari wadah itulah burung kecil itu bisa makan dan minum. Melihat kelakuan burung kecil itu, mengantarkan Dzun nun al-Mishri bertaubat kepada Allah dan menambah keyakinan beliau bahwa Allah adalah Maha Pemberi rezeki.
Imam al-Qurtubi menjelaskan tanda tanda hidup bahagia dalam Tafsir al-Qurtubi (Juz 10 halaman 174). Pertama, rezeki yang halal.

Rezeki yang halal membuat hidup menjadi bahagia dan berkah, segala urusan menjadi mudah, keluarga penuh sakinah, mawaddah dan penuh rahmah. Kedua, qanaah dengan segala pemberian Allah. Seseorang yang memiliki uang banyak, jabatan yang tinggi, harta yang melimpah ruah, namun tidak memiliki sifat qanaah, ia akan selalu merasa kurang, serakah, rakus, tentunya hidupnya tidak bahagia.

Dalam hadist Rasulullah mengingatkan, “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi kecukupan rezeki, dan diberikan qanaah oleh Allah atas apa yang diberikan kepadanya. Bagaimana agar kita bisa qanaah? Lihatlah orang yang ada di bawah kalian, jangan melihat seseorang yang ada di atas kalian, hal tersebut agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah kepada kalian (HR. Muslim, Shahih Muslim juz 2 halaman 730).

Ketiga, mendapatkan pertolongan Allah untuk melakukan kebaikan, ibadah, dan taat. Menurut Imam Ath-Thabari dalam Tafsir Jami‘ul Bayan juz 21 halaman 191, Allah akan menolong orang yang beramal sesuai dengan apa yang dicintai dan diridhai Allah swt, yaitu orang yang berjuang di jalan Allah.

Seperti orang yang menuntut ilmu, mengajar di lembaga keilmuan, orang yang memakmurkan masjid, dan sesamanya. Merekalah orang yang akan mendapatkan pertolongan Allah dan hidupnya akan diwarnai dengan kebahagiaan. Keempat, merasakan manisnya ibadah dan taat kepada Allah swt.

Dalam sebuah hadist Rasulullah mengingatkan bahwa ada tiga orang yang dapat menemukan manisnya keimanan, yaitu orang yang lebih mencintai Allah dan Rasul dibanding selainnya, orang yang mencintai seseorang karena Allah, dan orang yang membenci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci dimasukkan ke dalam neraka.

Perlu diingat, jangan pernah memilih jalan yang salah meraih bahagia, pasti tidak akan pernah sampai tujuan dan berhasil. Bahagia itu sederhana, mamfaatkan ramadhan untuk memperbanyak amal dan ketaqwaan, pasti hati akan selalu senang dan tenang, karena dari hatilah kebahagian itu bermula. Jangan lupa bahagia!

*ASN Pada Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh Mahasiswa Pasca Sarjana IKHAC Jawa Timur.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.