Oleh : Fauzan Azima*
Menjalani hari-hari bagi penderita stroke, seperti duduk di atas tungku panas. Waktu terasa berjalan lambat. Selama kita menderita stroke, selama itu kita mengalami masa kritis. Sewaktu-waktu kolesterol, darah tinggi, asam urat dan sakit jantung bisa datang tiba-tiba datang menghantui.
Tiada kata dan nasehat bagi keluarga dan penderita stroke, kecuali bersabar. Tapi bukan berarti pasrah dengan keadaan, sembari berusaha dan berusaha sembuh dengan Fisioterapi, kusuk, berobat tradisional maupun ke dokter, juga do’a sebagai senjata mukmin harus tetap kita panjatkan dengan berharap keajaiban.
Dalam keadaan sakit kita diuji, tapi sesungguhnya kita pun sedang menguji orang-orang di sekitar kita. Kadang orang yang kita kenal biasa-biasa saja, tapi punya rasa empati yang sangat tinggi. Sebaliknya orang yang selama ini serasa sehidup semati, tidak menganggap sama sekali. Ajaibnya justru dulu sebagai musuh, pada saat kita menderita, mereka yang menawarkan bantuan. Benarlah Kadang uang tidak begitu penting dibandingkan bantuan.
Kalau kita urut sejarah hidup yang sudah kita nikmati puluhan tahun, lalu sakit beberapa bulan sebenarnya hal yang biasa. Itu bisa diibaratkan Seperti hutan yang terlalu lebat, sedikit kebakaran tidak menjadi soal. Mudah-mudahan sakit dan duka yang kita rasakan sebagai pelebur kesalahan dan dosa karena sakit bukan sesuatu yang berdiri sendiri.
Sakit dan kematian bukan saja diderita oleh pribadi manusia, tapi itu juga dirasakan oleh satu suku dan bangsa. Sejujurnya Gayo juga sedang sakit dan pelan-pelan tidak mustahil akan menuju kepunahan. Menurut para ahli, kurang dari sejuta penutur bahasa ibu, maka suku itu akan punah.
Jangan anggap remeh masalah ini. Sekali lagi pasti, skenario ini tidak berdiri sendiri dan itu pasti berkaitan dengan manusia yang ada di atas bumi dan di kolong langit Gayo. Jangan-jangan wujudnya manusia, tapi isinya mungkin siluman atau berwajah manusia, tapi jauh dari kemanusiaan.
Pada zaman nenek moyang Adam dan Hawa hanya ada Iblis yang menjadi musuh, kemudian pada masa Nabi Sulaiman sudah ada jin, kemudian jin yang jahat menjadi setan. Pada zaman srkarang sudah banyak namanya; gondoruo, kuntilanak, pocong, tuyul, apah konot. Artinya kita sendiri yang “menjadikannya”. Saat ini semua “bikinan” kita itu telah berganti baju kepada manusia. Jadi wajar kalau ada yang berkata hanya 3 persen dari seluruh manusia di dunia ini yang benar-benar manusia. Selain itu wujudnya manusia, tapi isinya makhluk selain manusia.
Soal kedaulatan atas tanah; manakah tanah milik orang Gayo? Walaupun yang tampak di mata berada pada wilayah administrasi Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Kita tahu hanya tanah rumah dan kebun kopinya yang menjadi hak milik. Bukankah, selain itu kewenangan Banda Aceh dan Jakarta. Buktinya, menebang sembarangan di kawasan hutan, tidak diselesaikan dengan hukum adat setempat.
Kita merasa posisi terjepit oleh suku yang datang dari dari pesisir maupun dari seberang lautan. Itu hanya alasan psikologis orang yang kalah atau tidak mampu yang cenderung menyalahkan orang lain. Prof. Ali Yasa, Prof. Abdi Wahab, Ir. Nova Iriansyah, MT, Drs. Alhudri, MM adalah beberapa sosok inspiratif yang bisa bertahan dan melesat jauh menjadi pemimpin di bidangnya. Sekali lagi jangan kita hidup pada zona nyaman dengan menjadi seolah-olah korban.
Anak-anak muda harus membuat rencana strategis untuk bisa bertahan di masa depan dengan mengawali diri, yakni merubah fikiran lahir dan bathin bahwa dunia tidak selebar daun kelor. Percayalah hidup ini tidak terlalu berat. Hanya perlu jujur, berani dan cerdas adalah modal yang tidak sekedar bertahan hidup, tetapi berpeluang besar menjadi pemimpin di belahan bumi manapun.
Alam kita yang ekstrem; bergunung dan berlembah adalah cermin dari sifat jujur, berani dan cerdas. Hanya sedikit perlu perenungan dan aksi “jadilah barang itu.” Gayo adalah manusia yang paling beruntung karena punya petunjuk alam yang sangat dekat untuk mengolah akal, fikiran, rasa dan perasaannya.
Di Gayo sendiri 30 tahun terakhir sesamanya telah terjadi pembunuhan karakter sesamanya. Hampir tidak ada pengusaha, birokrat dan politisi yang sukses atas dukungan penguasa dan orang-orang sekitarnya. Orang yang berkuasa cenderung meneruskan balas dendam dari cerita di masa lalu.Sehingga orang banyak yang “mati pucuk” dan akhirnya keluar sebagai orang kalah dan orang-orang lain akan menghinakannya.
Salah satu cara untuk menghindari “penyakit” tidak terpuji itu, maka pemuda-pemuda harus merantau. Seperti yang dilakukan oleh orang-orang Madura yang pada zaman dahulu sering saling bunuh dan mewariskan dendam. Sekarang dengan banyaknya mereka merantau pelan-pelan budaya balas dendam itu tergerus. Begitupun orang Pidie, mereka merantau bukan saja karena pembatasan terhadap lahan, memhindari dendam, tentu juga dengan tujuan lain untuk mencari kesejahteraan.
Jangan takut tidak makan saat merantau. Kata kawan waktu di gunung dulu; kalau tidak makan minum selama 21 hari baru kita akan mati. Berarti kalau kita tidak makan dan minum selama seminggu penuh kita tidak akan mati. Lagi pula dengan membawa sifat jujur, berani dan cerdas jangankan sekedar makan; anak-anak gadisnya orang pun akan dinikahkan dengan kita.
Begitulah perjalanan diri dan satunsuku bangsa. Kadang harus harus jatuh terjerembab terlebih dahulu dalam hidup dan kehidupan ini, lalu mengambil hikmah untuk bangkit kembali. Pertanyaannya,“Mengapa kita jatuh?” tentu saja jawabnya, “Bukankah untuk kembali bangkit.”
(Mendale, Maret 31, 2023)