Kajian Polemik Ungkapan: Anakni Reje Mera Mujadi “Kude,” Anakni Tengku Mera Mujadi “Asu”

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

PADA awal 2001, waktu itu masih terjadi konflik antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, saya bertandang ke rumah orang tua Tengku Amri Aman Sehan. Dia tinggal di Kampung Veteran yang berbatasan dengan hutan Bener Meriah. Daerah itu banyak babi. Masyarakat menganggap hewan itu sebagai hama.

Namun tidak bagi Tengku Amri. Jagung, ubi kayu dan ubi rambat milik Ama Amri–demikian kami memanggilnya–aman-aman saja. Tumbuh subur dan hampir menutupi lahan seluas lebih dari satu hektare.

“Apa ilmunya sehingga tanaman di sini tidak diganggu hama babi?” saya bertanya penasaran.

Lantas Ama Amri membuka balutan kertas yang digantung pada salah satu batang jagung. Kertas itu bertuliskan “amanah”. Saya menatap wajah Ama Amri dan kertas itu dengan pandangan ganjil.

Tapi terbukti tanamannya aman. Padahal sulit bagi babi untuk mengalihkan pandangan dari isi kebun Ama Amri. Secarik kertas yang ditunjukkan Ama Amri benar-benar tidak masuk akal. Namun ternyata ada tulisan lain di atas kertas itu. Saya membaca tulisan itu dan tersenyum.

“Woy Tengku, enti ganggu ko senuwen ni kami, ike nge berhasil, kami osah ni Tengku tikik (Wahai Tengku, jangan ganggu usaha tanaman kami, kalau sudah panen akan kami bagi untuk Tengku sedikit),” demikian isi lengkap “amanah” itu.

Pikiran saya mulai bermain-main dengan pertanyaan-pertanyaan. Siapa sih yang berhak memakai gelar “Tengku”? Apakah gelar itu hanya untuk manusia, karena setahu saya banyak pula hewan di Aceh yang dipanggil dengan sebutan “tengku”. Gajah biasa disebut dengan “Tengku Bener Merie” yang diyakini hal itu berkaitan dengan sejarah Gajah Putih pada masa Sultan Ali Mughayatsyah berkuasa di Kute Reje serta hewan berkaki seribu dengan sebutan tengku-lang.

Belum sampai pada tahap kesimpulan, Ama Amri seperti membaca isi kepala saya. Dia lantas menjelaskan ihwal tertulisan itu. Seterusnya agar tanaman tetap aman dari hama babi, kata Ama Amri, tanaman tidak boleh dipanen sebelum waktunya. Tapi begitu tiba musim panen, pemilik kebun harus segera menunaikan janjinya dengan memberikan sedikit hasil panennya kepada yang siapapun yang dijanjikan, termasuk kepada satwa babi. Sebagaimana adat orang-orang tua kita dahulu, “Awal janyi, akhir janyi (tidak mengubah janji dari awal sampai akhir).”

Sepengetahuan saya, selain untuk tujuan tertentu, pada babi juga disematkan “mantra” dengan sebutan “dimuliakan” dengan sapaan “syeh bleom.” Tentu saja hubungan penghormatan itu sesuai porsinya masing-masing. Yaitu, hablum min Allah, hablum min annas dan hablum fil alam. Penyebutan kepada satwa termasuk ke dalam kategori hablum fil alam atau hubungan manusia dengan alam.

Beberapa waktu lalu, seorang pemilik akun facebook pernah diancam bakal dilaporkan kepada polisi di Bener Meriah karena menulis “Anakni reje mera mujadi kude, anakni Tengku mera mujadi asu.” Hanya itu. Tidak ada keterangan lain. Permasalah tersebut bisa diselesaikan dengan musyawarah dan kekeluargaan serta berakhir dengan saling memaafkan.

Kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari peristiwa tersebut bahwa sesuatu yang sensitif harus disertai dengan keterangan agar tidak ada ketersinggungan di dalam masyarakat, serta disertai dengan niat tulus untuk berbagi ilmu pengetahuan.

Terlepas dari kasus di atas, siapapun orang pertama yang mengungkapkan kalimat sarkasme itu pasti punya dasar. Ungkapan itu memaksa orang yang membaca, atau mendengar, untuk memutar otak mencari makna di balik ungkapan itu. Yang jelas, dia pasti bukan orang sembarangan. Dapat dipastikan pula bahwa dia tidak memiliki kebencian kepada raja maupun tengku saat mengeluarkan pernyataan itu, walaupun dalam perjalanan waktu, akhirnya ungkapan itu menjadi kinayah.

Pada kenyataannya anak raja yang santun tidak selamanya mewariskan gen bijaksana. Begitupun tidak setiap anak tengku meneruskan kemuliaan akhlak orang tuanya. Satu-dua anak keturunannya ada yang menyimpang. Itu hal lumrah. Akan tetapi pergeseran itu bukan sebagai suatu sifat dominan, maka disertakan kata “mera” yang berarti “bisa”. Penyebutan “kude” dan “asu” sebagai kecenderungan sifat hewani yang jauh dari kesempurnaan manusia yang berakal budi.

Dalam sejarah Gayo banyak ungkapan dan cerita yang disamarkan sebagai suatu perumpamaan. Seperti cerita Geluni Item yang konon terjadi di daerah Waq yang penduduknya hidup abadi karena menanak nasi dengan kayu Geluni Item. Sampai pada satu saat mereka bosan hidup terlalu lama dan membeli mayat dari daerah Tenamak. Setelah itulah, seolah-olah kematian mengejar mereka. Akhirnya mereka harus keluar dari daerah Waq agar terhindar dari kematian.

Sebenarnya orang-orang tua zaman dahulu berpesan kepada anak cucu lewat cerita. Banyak versi yang dimaksud dengan cerita Geluni Item. Tetapi yang dimaksud abadi itu adalah energi yang bersumber dari logam thorium dengan unsur kimia yang memiliki lambang “Th”.

Logam thorium adalah bahan bakar nuklir alternatif untuk pembangkit tenaga listrik yang paling aman dibandingkan dengan uranium. Logam thorium yang disamarkan dengan cerita Geluni Item diperkirakan banyak terpendam di Gayo, terutama di daerah tandus, Linge dan sekitarnya. Bahkan bawar atau tanda kerajaan, salah satu bahan dasar pembuatannya, adalah logam thorium.

Demikian juga dengan ungkapan “anakni reje mera mujadi kude, anakni tengku mera mujadi asu”. Ini adalah perumpamaan sebagai peringatan aktualisasi akhlak yang secara berkesinambungan harus diteruskan dari generasi ke generasi agar tidak terjadi pergeseran nilai dalam silsilah keturunan, bukan saja bagi raja ataupun tengku. Ini juga berlaku bagi anak manusia yang lain.

Pada kajian lainnya, disebutkan pula tentang proses kelahiran manusia ada tiga; pertama secara syariat, seorang anak terlahir dari perkawinan antara seorang pria dan wanita. Kedua, tetapi anak yang dilahirkan belum tentu anak sejatinya atau disebut sebagai anak terlahir. Sebagaimana kisah Siti Maryam dan anaknya Nabi Isa as dengan takdir lahir tanpa pembuahan. Ketiga adalah kopian, seperti lahir kembar yang tidak seayah maupun seibu. Andai kita bertemu dengan orang yang mirip dengan kita, maka salah satu diantaranya harus bersedekah dengan tujuan memperpanjang umur.

Soal proses kelahiran itu dimaksudkan agar kita berpikir dan mengambil pelajaran bahwa tidak semua yang tersurat itu yang tersirat untuk menguji keimanan kita.

(Mendale, Maret 28, 2023)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.