Pacuan kuda Gayo, dalam rangka memeriahkan HUT ke-446 Kota Takengon, sudah usai digelar. Pacuan kuda, bagi masyarakat sudah menjadi budaya, dan merupakan event terakbar yang mampu menghadirkan puluhan ribu orang dalam satu tempat.
Namun, siapa sangka event pacuan kuda tahun ini, dirasa cukup berbeda bagi kebanyakan masyarakat.
Yah, memang pacuan kuda diklaim sebagai event yang mampu menjadi roda perputaran ekonomi daerah. Namun, disatu sisi jika dicermati secara detail, event kali ini menimbulkan permasalahan baru, yang secara kasat mata memang tak pernah tampak.
Disudut tribun pacuan, pemandu dan penonton bersorak riang. Sesekali, terdengar suara panggilan pemilik kuda dari pengeras suara. Bagi, mereka (pemilik kuda) panggilan ini menjadi kebanggaan tersendiri. Dan tak jarang, para politikus baru juga nebeng, agar dikenal masyarakat.
Tak segan, mereka merogoh kocek besar, demi namanya terus disebut di pengeras suara. Maklum, tahun politik sudah tiba.
Namun, disisi lain, masyarakat Gayo yang kini dihadapkan dengan masa-masa sulit. Ekonomi, sedang tidak baik-baik saja.
Dalam perhelatan akbar tersebut, LintasGAYO.co mencoba berkeliling lapangan H. M. Hasan Gayo, Blang Bebangka.
Dihari terakhir pacuan, banyak pedagang yang mengeluh, barang dagangannya tak selaris tahun-tahun sebelumnya.
“Yang datang banyak bang, tapi banyak yang hanya lihat-lihat, jarang yang beli,” kata seorang pedagang asal Medan, Sumatera Utara yang mengaku sudah sejak 8 tahun lalu berdagang jika ada event pacuan kuda.
Begitu juga seperti yang diutarakan oleh seorang pedagang makanan. Ia berujar, banyak masyarakat yang hadir ke lapangan bersama keluarganya membawa bekal dari rumah, dari pada membeli di lapangan.
“Yah meski, membawa bekal dari rumah sudah menjadi tradisi pacuan kuda dari dulu, tapi tahun ini berbeda. Lebih banyak pedagangnya dari pada yang beli,” sebut pedagang tersebut.
LintasGAYO.co juga sempat mewawancarai beberapa pengunjung pacuan kuda. Adi minsalnya, yang datang menonton pacuan kuda bersama keluarga besarnya.
Ia mengaku, datang ke pacuan kuda memang khusus menonton. Bukan untuk berbelanja. “Ekonomi, sedang sulit saat ini bang. Kami bawa bekal dari rumah, dan hanya mengantar anak-anak untuk sekedar menonton,” katanya.
Jika pun ingin membeli barang-barang untuk anak-anaknya, Adi mengaku memilih yang termurah. “Kan di lapangan banyak yang jual murah, kita cari yang murah saja,” katanya.
Ia pun mengaku, menyimpan uangnya untuk keperluan mendesak saja. “Kopi belum panen, sebentar lagi puasa, dan endak lama dari situ sudah ajaran baru, anak-anak ada yang masuk ke sekolah. Jadi kita berhemat saja bang,” terang Adi.
Jika dicermati, pengakuan dari pedagang dan pengunjung tersebut, daya beli masyarakat, memang sedang menurun. Bayang-bayang resesi nampaknya tengah menghampiri dataran tinggi Gayo.
Masyarakat, kini lebih menghemat pengeluarannya untuk hal-hal yang tidak urgent.
Secara umum, pemerintah Indonesia memang sudah memberitahu, bayang-bayang resesi kemungkinan akan terjadi di Indonesia.
Di Eropa, resesi juga telah terjadi. Daya beli masyarakat yang menurun, menjadi salah satu dampak dari resesi tersebut, lain itu PHK massal juga sudah terjadi.
Mengutip dari Bisnis.com, Resesi adalah dimana kondisi ekonomi negara sedang memburuk. Hal itu terlihat dari Produk Domestik Bruto (PDB) negative, pengangguran meningkat, hingga pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Resesi terjadi saat aktivitas ekonomi mengalami penurunan yang signifikan dalam waktu stagnan dan lama, mulai dari berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Keadaan itu terus menimbulkan dampak dalam kehidupan masyarakat.
Efek, Pandemi Covid-19 juga turun menjadi guncangan ekonomi dunia saat ini. Hal itu, ditandai dengan lemahnya daya beli masyarakat akan kesulitan ekonomi.
Dilihat dari hal lain, produksi dan konsumsi yang tidak seimbang. Hal ini, dapat berakibat dengan PHK pegawai di perusahaan dan lainnya.
Kembali, ke daerah Aceh Tengah, saat ini defisit anggaran 65 M, juga menjadi penyebab masyarakat mengalami kesulitan ekonomi.
Kita ketahui, saat ini ekonomi Aceh Tengah digerakkan paling besar dari belanja pemerintah dan sektor pertanian terutama kopi.
Saat anggaran pemerintah tidak berputar, maka bisa dipastikan ekonomi masyarakat Gayo akan terganggu.
Memang, saat ini sektor ekonomi baru di Aceh Tengah perlahan tumbuh. Pariwisata minsalnya, namun sektor ini belum dapat menyokong ekonomi sebagian besar masyarakatnya.
Mengatasi kondisi ini, pemerintah kabupaten harus memutar otak, dengan mengoptimalkan anggaran yang tersedia untuk kepentingan rakyat.
Tips menghadapi resesi
Menghadapi ancaman resesi, masyarakat harus berupaya mengoptimalkan pengeluarannya.
Dikutip dari berbagai sumber, berikut tips menghadapi resesi :
- Menambah pos simpanan pada dana darurat.
- Lunasi hutang konsumtif berbunga tinggi.
- Memanfaatkan peluang dengan baik.
- Susun ulang daftar pengeluaran.
- Mencari pekerjaan sampingan.
- Mempertahankan pekerjaan yang dibutuhkan saat resesi.
Meski secara teori, daerah Gayo yang umumnya didominasi dunia pertanian, mampu survive (bertahan) dalam resesi.
Meski begitu, dampak resesi bisa saja terjadi lebih buruk, jika kita tidak bisa mengelola dan memanfaatkan situasi.
Harapan kita semua masyarakat Gayo, resesi tidak terlalu berdampak kepada daerah ini. Semoga kita semua, masih dalam lindungan Allah SWT, dan daerah kita jauh dari bencana serta selalu menjadi daerah yang dirahmati, baldatunbaldatun thayyibatun.
[Darmawan Masri]