Oleh : Fauzan Azima*
Maaf…beribu maaf…saya mintakan kepada keluarga penyandang sakit saraf, atau gangguan kejiwaan, yang ada di Aceh Tengah. Tulisan ini bukan untuk mengungkit luka lama. Ini sekadar pengingat bagi kita yang masih diberi kewarasan untuk mengambil hikmah dari setiap kejadian, memahami batas dari setiap keadaan.
Sesungguhnya petunjuk itu sangat dekat. Mengintai di sekitar kita. Bahkan pesan itu dibawa oleh orang-orang dengan gangguan kejiwaan–saya tidak tega menyebut mereka orang gila–yang keberadaan mereka sering kali kita acuhkan.
Beberapa penyandang sakit saraf ini bisa menjadi wali ghaus (gaul) yang ucapan dan tingkah lakunya, kalau dicerna, menjadi pengetahuan. Karena itu, kita jangan terburu nafsu mengumbar aib mereka. Jangankan mereka, aib pelaku bom bunuh diri pun tidak boleh kita umbar.
Saya akan menyebutkan beberapa nama. Jika mengenali mereka, besar kemungkinan Anda memasuki usia lanjut. Pulsa kehidupan semakin menipis dan Anda perlu segera menyiapkan “masa depan” menjadi lebih baik.
Pertama, “Si Cerlekedek Wew” alias Nur Lapan. Dia memiliki “daerah kekuasaan” antara Simpang Wariji, terminal sampai lapangan pacuan kuda, Blang Kolak. Nur Lapan punya adik kandung, Khaidir juga sakit saraf.
Nama berikutnya adalah Rebana. Tidak bisa melihat perempuan bercelana panjang. Beliau tidak suka dan langsung mengejarnya. Pak Rebana rajin shalat. Daerah “kekuasaannya” Mersah Padang, Pasar Bawah dan Simpang Lima.
Lanjut…Buding bermain Kampung Cine dan Padar Bawah dan Simpang Lima. Buding akan marah kalau dipanggil dengan kukur banan. Ketika Bang Buding meninggal di daerah simpang IV seperti ada keanehan karena dia tidak lazim melanggar batas perjalanannya.
“Si pinter” Guna pengelana yang biasa membawa anjing kecil berjalan sepanjang jalan Takengon-Bireuen. Awal-awal beliau sakit saraf, anak sekolah yang tidak menyelesaikan soal matematika memberikan jawaban yang tepat dan benar.
Di daerah Kebayakan, salah satu kecamatan di Aceh Tengah, saya tidak mendapati orang-orang yang menyandang penyakit syaraf. Kebalikannya, di daerah ini, malah terdapat banyak orang yang dikenal mampu mengobati penyakit ini. Mereka biasa disebut “orang pintar”.
Orang-orang yang menyandang penyakit ini memiliki keterbatasan petunjuk. Petunjuk yang mereka dapatkan terbatas di wilayah bermain saja. Di sinilah keuntungan kita yang masih dianggap waras. Kita masih dapat memperluas wawasan. Menambah jangkauan cara pandang dan menyempurnakan cara berpikir.
Semua sebutan, panggilan, gelar, itu diberikan oleh manusia. Kecuali takwa. Gelar yang satu itu hanya Allah yang berhak memberikan kepada hamba yang dianggapnya layak. Ada juga orang-orang yang memaksakan diri untuk dianggap takwa oleh orang lain. Tapi jelas penilaian itu tidak sama dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan Allah untuk seseorang meraih gelar itu.
Di Aceh, orang-orang yang mengamalkan ilmu pengetahuan tentang agama dan mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain disebut tengku. Sama seperti gelar budayawan yang disematkan oleh orang lain karena kemampuan mereka menilai segala sesuatu dari berbagai sudut pandang ilmu pengetahuan.
Budayawan bebas menuangkannya pendapatnya soal ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Tentu saja pengetahuan sang budayawan di atas rata-rata ilmuwan dan kadang lebih intuitif. Orang-orang seperti itu selalu menghadirkan kesadaran baru dengan cara baru meski hal itu telah lama bersemayam di kehidupan sosial, namun hanya sedikit yang dapat membaca tanda dan petunjuk itu.
Tapi jangan salah berpikir. Setiap kita berpotensi menderita gangguan kejiwaan–atau jangan-jangan kita mengidap penyakit itu sejak lama–terutama jika kita menjadi orang-orang yang terlalu banyak “memakan dunia”. Hanya karena kasih sayang Allah, semua hal itu tertutupi dan derajat kita masih diangkat di hadapan manusia lain.
Dunia dan semua kenikmatan di dalamnya sering kali melenakan. Sehingga kita lupa menjadikan orang lain sebagai manusia. Kita meletakkan hubungan itu berdasarkan perekonomian pasar. Ada permintaan ada harga. Semua ditimbang dengan bejana cuan. Perlahan-lahan, kita semakin larut dan lupa cara memperlakukan orang lain sepantasnya.
(Mendale, Pebruari 18, 2023)