Oleh : Irfan Syahrial*
1. nume ari hadis nume ari firman (bukan dari hadis bukan dari firman)
sara kekeberen ini kuceritera (sebuah kisah ini kuceritakan)
tentang ni benare gere jaminen (tentang kebenarannya tidak jaminan)
sebab gere kuengon terang urum mata (sebab tak kulihat dengan mata)
Itulah kata kata pendahuluan sebagai pembuka atau pengantar buku berupa syair tentang sejarah daerah dan suku Gayo yang dibuat oleh nama besar penyair gayo yaitu Tgk. M Abdur Rahim Daudy Mudekala, sehingga membuka wawasan membacaku hendak mencoba mengulik apa manfaat didalam membaca buku syair itu, dimana buku itu kudapat dari hasil fotokopian dengan permintaanku secara sedikit memohon dari salah satu keturunan beliau.
Melalui izinnya pula aku mencoba meneruskan keinginan beliau untuk mempublikasi hasil fikiranku agar generasi penerus tahu tentang pentingnya sejarah kesukuannya dimasa mendatang.
Bagiku manfaat mempelajari sejarah salah satunya adalah untuk mengetahui peristiwa dan kejadian dimasa lampau, dengan belajar sejarah akan mengetahui lebih detail tentang apa, siapa, kapan, dimana dan dampak peristiwa atau kejadian tersebut. Dan ketika setelah ku baca tentang buku syair itu aku mencoba melihat sekitarku dan mencoba berandai andai.
Mungkin banyak versi ceritera tentang Gayo baik itu asal muasalnya apakah itu melalui penelitan maupun asumsi asumsi bahkan berujung kewarung kopi bahkan ada yang sampai memunculkan perdebatan maupun spekulasi sehingga berujung dengan keegoan simpatik, tetapi aku tidak ingin mendengarkan keriuhan itu, bagiku buku adalah hasil pemikiran ilmiah yang dikarang sesuai dengan makna manfaat sejarah guna meningkatkan Sumber Daya Manusia dimasa depan, agar lebih menghargai pemikiran para pendahulunya.
Gayo sungguh mendunia, baik sumber daya alamnya melimpah, masyarakatnya yang ramah bertutur sapa, dengan adat istiadatnya terjaga, menjunjung tinggi nilai agama dan nilai norma lainnya, namun hendaknya meningkat juga kualitas sumber daya manusianya yang kucoba kaitkan dengan buku sejarah daerah dan suku Gayo, yang mana dalam hal ini peran dan fungsi meningkatkan minat masyarakat untuk menghidupkan kembali cerita cerita rakyat seperti malem dewa, puteri pukes, telege pitu, atu belah, gajah putih, lembide, depik, Loyang datu, peteri ijo, Loyang koro, dan masih banyak jika kita ingin mengembangkannya.
Dari segi kepariwisataan buku sejarah daerah dan Suku Gayo karangan Tgk. M. Abdurrahim Daudy Mudekala mungkin dapat mengubah mind set kita didalam meningkatkan pariwisata yang mana pemerintah mencoba galakan mulai dari pusat hingga kedaerah, walaupun pada dasarnya negeri rum sulit untuk difahami dengan “Genali dan peteri terus mata” menjadi cikal bakal adanya Kerajaan Linge di Gayo.
Namun tak ada salahnya jika kita mau menelusuri kisahnya dan menjadikannya objek pariwisata kedepan. Antara lain Wisata Religi dengan membangun umah pitu ruang dan atau gedung pendari sagi (Rakyatnya Reje Linge) di areal perkuburan Reje Linge dan dibeberapa tempat di daerah yang disebutkan didalam syair itu mengatakan;
104. Ike male munerah Bukti (Jika ingin kita melihat bukti)
Keta belohmi ku buntul linge (kalau begitu pergilah ke bukit linge)
I erah kuburen rentang muriti (dilihat kuburan merentang meriti membanjar)
Sawah besiloni ara ilen tene sampai sekarang ini masih ada tanda)
231. Ike langit ara bintang tujuh (Jika dilangit ada bintang tujuh)
Ike tuyuh kal pitu mata (jika dibawah (bumi) batok tujuh mata)
Sikerna umah sipitu ruang (oleh karena rumah beruang tujuh)
Keta penulang pitu perkara (maka penulang tujuh perkara)
291. Ini kuterangen sagi pendari (ini kuterangkan sagi pendari)
Simucerak sabi ari awal mulo (yang disebut sebut dari awal pemula)
Ike gere salah siara terperi (jika tidak salah yang ada terucap)
Ini kucari menurut berite (ini kukaji menurut berita)
292. Pertama serule kedue penarun (pertama serule kedua penarun)
Si sara perangun urum reje linge (yang satu rangkai dengan Raja Linge)
Ketige lumut Keempat Rema (ketiga Lumut Keempat Rema)
Oyale keta I Blangkejeren Gayo (itu berada di Blangkejeren Gayo)
293. Kelime Lane Pengulu nawar (Kelima Pengulu Nawar)
Keenam renyel oya Delung Linge (Keenam itulah Delung Linge)
Ketujuh Bukit I Blang kejeren (Ketujuh Bukit di Blangkejeren)
Kelapan I perin oya urum Gele (Kedelapan disebut itu dengan Gele)
295. Beru merah abuk dengan ni sultan (Wanita Merah Abuk adik perempuannya sultan)
We I angkapan urum sara pemude (Dia dikawinkan dengan seorang pemuda)
Ike gere salah urum Banta Ali (jika tidak salah dengan banta Ali)
Renyel ku serbe jadi munuke deniye (Lalu ke serbe jadi membuka dunia)
Beranjaklah ke halaman demi halaman, singkat cerita dalam buku itu terkisahlah sejarah kerajaan bukit dengan tulisan Muria dan sengeda, dimana kisahnya Muria dan Sengeda yang berasal dari negeri malaka tersesat sampai ke negeri serule dan diketemukan oleh reje cik serule didalam sebuah surau dengan badan yang dalam keadaan kotor, karena dianggap anak yang bertuah maka Muria yang sulung dibawa dan diangkat anak oleh Reje Linge Joharsyah sementara si bungsu Sengeda dibawa dan diangkat anak oleh Reje Cik Serule hingga ini menjadi cikal bakalnya kisah Gajah putih.
Selain kita mendapatkan kisahnya maka tak ada salahnya terfikir dan mengkaitkannya dengan pariwisata dan kebudayaan yang mana dalam hal ini pemerintah berperan penting untuk pemajuannya budaya ke generasi selanjutnya agar mengetahui tempat yang akan dijadikan daerah pariwisata seperti nukilan didalam syair, yaitu;
“Waih ari linge ara sara pucuk, isone setampuk waeh roa cabang, waeh ari goneng ara sara tampuk, isone muserempuk waeh samar kilang”.
Artinya (air dari linge ada satu pucuk (aliran), disana setampuk air dua cabang, air dari Goneng ada satu tampuk, disana bertemu dengan air Samar Kilang ).
“Isone ikunulen owin pugerbuk, nge pusesinguk sebeb nyawa mulayang, nge puampun ampun munehen pepok, rayoh mudedek i geleh urum parang”.
Artinya ( disitu ia didudukan dalam keadaan murung, ia sedu sedan sebab nyawa melayang, ia berteriak minta ampun menahan pikulan, darah mengalir dipotong dengan parang ).
“oya kati bergeral ni kala singuk, sawah kukuduk sampe senni, I geniring ni waih jerette I kuruk, kadang kase museruk langkah te lelangan”.
Artinya (itu maka bernama Kala Singuk, sampai nanti sampai kini, dipinggir air kuburan di gali, barangkali nanti sesat langkah kesana).
“tempat ni jerette sipaling megah, Bener meriah samar kilang, ari geral merie tikik mupinah, ari temas ni awah kedah mu mamang”.
Artinya (Tempat kuburan yang paling megah, Bener meriah disamar kilang, dari sebutan merie sedikit berpindah, seenak mulut kira-kira bergegas ucapan).
“Oya ati kuras BUntul Kucing, nge taling temaling sawah besilo, perasin oya sunguh sinting, ike buntul kucing oya I serule”.
Artinya (itu maka digelarkan orang buntul kucing, sudah alih sampai sekarang, gelar itu memang benar sekali, jika Buntul Kucing itulah Serule)
“Akhir ni cerak ujud kin berakah, kedik mutetewah isone pakea, sawah besilo I perin buntul telkah, oya asaliah geral ni tempatta”.
Artinya akhirulkalam jadilah menjadi seloro, tertawa terkekeh-kekeh disitu mereka itu, sampai sekarang ini dinamakan gantung telkah, itulah asal nama tempat itu”.
Gantung Telkah yaitu daerah atau tempat reje cik serule menggantungkan bangkai seekor beruang untuk memperdayai Reje Linge Joharsyah bahwasanya itu adalah mayat Sengeda yang sebelumnya mereka sepakati untuk membunuh Muria dan sengeda.
“Sengeda menjeweb urum terus terang, sitengah kukarang rupe ni gajah, sidele penadi I samar kilang, ara we I Bintang mejen bertunah”.
Artinya ( Sengeda Menjawab dengan terus terang, yang tengah saya karang ini wajah gajah, yang banyak sekali di Samar Kilang, ada terdapat sesekali di Bintang berkubang”.
Adalah saat Raja Sultan di kutaraja bertanya kepada Sengeda tentang Sengeda memegang daun pelepah yang diukir dengan pisau yang bentuknya mirip seekor gajah.
“I arung ne sange nge meh mu tewah, kayu murebah nge meh mugulang, pantas musangka bacar ni langkah, meminter sawah ku pematang, oya kati bergeral arungen, lining bulen sampe sekarang, geral oya ari mulo jahman, mungune mi serinen ku kampung bintang, uwet ari sone renyel ku tamak, sangka e jarak lagu si julen, I tunung renye remalan tapak, sawah ku tenamak nge kona miyen. Atu Palit eral musuwet, mukelong tempat tali penemeten, I kampung tenamak I sone gewat, I cube dekat beloh I engon”.
Artinya (Dilandanya rumput pimping habis berebahan, kau rebah bergelimpangan, kencang berlari cepat langkahnya, tahu tahu sampai keatas bukit, itu maka diberi nama Arungen, Linung Bulen sampai sekarang, nama itu dari sejak jaman dulu cobalah bertanya ke kampung Bintang, bangkit dari situ lalu ke tamak, larinya jauh seakan-akan diantarkan, dibuntutti segera berjalan kaki, sampai tanamak ( isaq ) lalu kena kembali.
Atu Palit namanya disebutkan orang, berlubang tempat tali tambatan, di kampung tenamak disitu Gewat, cobalah dekat pergilah melihat).
Adalah saat sengeda malamnya bermimpi didatangi oleh abangnya Muria bahwa Gajah putih itu adalah jelmaan dari abangnya Muria, ketika telah mendapatkan Gajah putih tersebut gajah itu memberontak lalu lepas lari ke tebing sampai ke Isaq tenamak di Kampung tenamak Gewat, dibawa kembali ke Samar Kilang untuk berziarah kekuburan abangnya yaitu Muria yang dalam perjalanan membawa gajah putih untuk dipersembahkan kepada Raja Sultan di Kutaraja.
Namun gajah tersebut tidak pindah dari tempatnya walaupun sudah dibujuk oleh Sengeda dengan tarian dan bunyi bunyian dan ditepung tawari agar mau beranjak dari tempat duduknya. Hingga pada akhirnya menarilah sengeda yaitu tari Guel.
“Ari sone asal ni tari, si muenel sampe sekarang, I pepok kayu batang gerupel, isone guel tungul urum atang murebah, ari sone asal ni tari sawah besiloni si nge terkemang, iwan pengerjen munuwet ni beyi, I perin tari bintang I karang, sengkedah gajah oyale beyi, jema sibertari muniro kasih sayang, nge utulun gus dabuh mat jari, I sone baru beyi bertari runcang”.
Artinya (Dari situlah asal tari Guel, yang sudah berwujud sampai sekarang, ditabuh kayu batang gerupel, disana guel tunggul dengan batang rebah, dari sana asal tari itu, sampai kini yang sudah berkembang, dipesta perkawinan mengajak bangun pengantin pria, disebut tari Bintang Dikarang, kira kira sang Gajah itulah pengantin pria, orang yang menari meminta kasih sayang, sesudah tiga kaligus lalu berjabat tangan, barulah kemudian pengantin pria ini bertari riang).
Inilah awal atau manifestasi dari tari guel yaitu tarian gajah yang sudah berkembang hinga sekarang yang mana pada dasarnya tari guel adalah tari untuk tarian mengajak atau mengajari pengantin pria pada jaman dahulu seandainya tarian salah atau berselisih orang itu harus didenda itulah sebabnya pengantin pria tersebut harus diajari baik-baik, tidak seperti kerja orang zaman kini, sekedar sudah menari tak tentu lengang, ketika digantungkan kalung berahmani sudah seperti burung kedidi kaki diangkat angkat.sungguh itu sangat disayangkan.
Selanjutnya syair ini seperti mengisahkan kelanjutan tempat dimana gajah putih itu sempat terhenti dari perjalanan dalam saduran bahasa indonesianya saya melanjutkan “Pendek cerita singkat madah, dihela gajah persembahkan kepada sultan, sampailah kebetulan di timang gajah, gajahpun lepas dari tambatan, kanan kiri habis dicari bersusah payah masuk kedalam hutan, akan tetapi gajah tak kelihatan, semuapun bersusah hati risau fikiran. Ada seseorang menimbang arah (petunjuk jalan) kemana rebahnya arah gajah berjalan, sesudah ditimbang segera melangkah (jalan), kebetulan tertuju ke air (Kali Timangan).
Jauh berjalan belum lagi sampai, disana tampak gajah sedang makan, warnanya putih cantik kelihatan, kenalah gajah kembali ditangkap. Orang yang menimbang mendapat gelar, pangat diberi Pengulu Timangan, dari sanalah asal pangkat diberikan, pangkat diberikan paduka sultan. Itu maka dipanggilkan orang Timang Gajah, Gajah lepas lari dalam hutan, sebelum nama kampung ini tak ada yang pasti, belum tertentu nama itu.”
“bergerak dari sana sampailah ke Rakal, Gajah yang tunggal disana dikawal, Nasi ditanak Gajah dikawal tahu-tahu menghilang ke lembah lagi, Kepergian Gajah ke Wih ni Jalung (kali) larinya cepat seperti angin, pelarian itu segera dibuntuti, nasib beruntung Gajahpun bertemu. Makanya ada namanya Jalung.
Dari asal kata “jelulung”, suatu lari yang cepat sekali, larinya Gajah kelembah dalam, meluncur seperti digulingkan, begitulah tarikh yang saya ikuti, dari jelulung asal mulanya, jika salah benar tidak kutanggung, jangan nant berujung menjadi pembicaraan panjang.
Ditengah jalan sering sekali lepas tentang Gajah ini menurut riwayat, kalau tiada salah membuat sejarah pada tiap-tiap tempat”.
Maka dari pada itu alangkah ruginya masyarakat Gayo tidak tahu tentang asal muasalnya, sejarahnya, tempatnya dan sebagainya, sebagai contoh tari guel, bagi masyarakat kini tidak memperdulikan yang namanya histori atau sejarah Guel, karena masyarakat lebih menikmati tari Guelnya, maka ini akan berdampak kepada generasi kedepan.
Seketika turis bertanya apa dan darimana tari Guel maka jawaban generasi sekarang menjawab dengan mengangkat kedua tangannya dengan jawaban entah atau tidak tahu.
Eranya kini adalah eranya teknologi, seharusnya masyarakat semakin canggih teknologi maka semakin mudah untuk menjangkau akses mencari sejarah daerahnya, atau menggalakan kembali nilai nilai kekeberen ceritera-ceritera zaman dahulu bisa dibukukan ataupun diperbaharui, sehingga dapat menambahkan income bagi masyarakatnya, maka pemerintah dalam hal ini dinas terkait berikan satu inovasi yang sekiranya membangun generasi dengan lebih menekankan kepada nilai menghargai sebuah karya salah satunya.
Sekiranya dari Dana Desa program pemerintah, banyak yang sudah berhasil, bisa menjadi contoh misalkan jika ingin menjadikan kampung menjadi kampung wisata, misal Kampung Blang Mersah Takengon Bawah tidak punya lahan untuk wisata, dulu cerita orang tua tua dulu Blang Mersah Bawah Takengon itu tempatnya bidadari turun karena di Kampung itu ada tujuh sumur tempat pemandian bidadari langit, awalnya itukan dari cerita orang tua kekeberen, jikapun tidak menjadi tempat wisata maka tempat itu menjadi tempat cerita yang bisa diulik dan menjadi lahan bisnis kedepannya bahkan bila perlu dibukukan menjadi edukasi bagi generasi mendatang.
Dan masih banyak tempat di buku buku cerita yang sudah ada, seperti atu belah, peteri pukes, peteri ijo, dan sebagainya jika ingin dikembangkan menjadikan kampungnya menjadi kampung wisata. Maka Gayo tidak kurang dari Sejarah dan cerita rakyatnya. [SY]
* Irfan Syahrial, salah seorang penggiat komunitas seni di Takengon dan abdi negara disalahsatu dinas Kabupaten Aceh Tengah.