Diskusi Perceraian Menjelang Jum’at Berkah

oleh

Oleh Dr. Marah Halim, S.Ag., M.Ag., MH*

Mengisi waktu menjelang Jum’at (03 Februari 2023) kemarin di grup Whatsapp kami, ‘Alumni Permata UINAR’, kami mencoba mengulik kembali isu yang diangkat di laman TribunGayo pada Harian Serambi Indonesia edisi Kamis, 19 Januari 2023 yang lalu. Meski sudah tiga minggu berlalu, namun substansinya masih sangat layak untuk diulik lagi, sayang jika isu sepenting itu harus gone with the wind (osop itayangni kuyu).

“Pertengkaran menjadi Pemicu Maraknya Perceraian di Bener Meriah”, demikian judul dikemas. Data tersaji bersumber dari kanda Sukna, S.Ag, alumnus Fakultas Syari’ah UINAR yang saat ini menjabat Panitera Mahkamah Syar’iyah Simpang Tiga Redelong.

Sepanjang 2022 kasus perceraian (cerai talak dan cerai gugat) berjumlah 387 kasus; meningkat dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya 2020 dan 2021 (285 kasus dan 323 kasus). Rincian per-bulannya adalah sebagai berikut: Januari sebanyak 57 kasus, Februari 63 kasus, Maret 37 kasus, April 8 kasus, Mei 38 kasus, Juni 37 kasus, Juli 19 kasus, Agustus 32 kasus, September 24 kasus, Oktober 34 kasus, November 31 kasus dan Desember 7 kasus.

Diskusi berjalan santai penuh makna, diselingi canda dan emoji, namun semuanya menyiratkan keprihatinan yang mendalam atas angka fantastis kegagalan rumah tangga di Bener Meriah. Anggota grup yang berkongsi pendapat antara lain kanda Dr. Jamhuri Ungel, MA (ka,prodi PMH Fakultas Syari’ah UINAR), kanda Suparmansyah, S.Ag., MA, Dr. Marlina, M.Pd (dosen IAIN Takengon), kanda Drs. Wardi Ibrahim (Ka.KUA Kecamatan Bandar), kanda Adlin, S.Ag (Kabag Humas Kabupaten Aceh Barat), kanda Turham, S.Ag., MA, kanda Azhari Ramadhan, S.Ag., MA (Kasie Haji Kemenag Bener Meriah, rinen Fakhruddin, S.Ag (Redelong Institute), rinen Dr. Sahdansyah Putera Jaya, SH., MH (Irbansus Inspektorat Aceh), rinen Mahbub Fauzi, S.Ag., MA (Ka.KUA Kec. Pegasing Aceh Tengah), rinen Syamsul Bahri, S.Ag., MA.TESOL, Dr. Johansyah, MA (kasubbag Program Baitul Mal Aceh Tengah), Dr. Abidah, S.Ag., M.Pd (dosen IAIN Takengon), dan Rosmiati, S.Hum., MA (dosen UINAR). Anggota grup ‘Alumni Permata UIN’ ini semuanya berjumlah 178 partisipan.

Sebab-sebab perceraian

Mengapa perceraian terjadi? Pertanyaan filosofis ini sulit sekali menentukan jawabannya, apalagi memastikannya. Yang bisa dilakukan adalah mencoba berspekulasi, menduga-duga apa kiranya penyebab terjadinya perceraian. Sebab menentukan obat. Jika ditanyakan kepada pelaku pasti jawabannya subyektif. Untuk mendapat jawaban yang obyektif tentu harus melalui penelitian kualitatif yang mendalam. Namun jawaban sementara berdasarkan informasi yang terekam dalam alam bawah sadar kita yang spontan bisa keluar manakala ada pertanyaan yang menstimulasinya. Begitu pula pendapat-pendapat dari anggota grup yang nimbrung dalam diskusi perceraian kemarin.

Menurut kanda Jamhuri, penyebab pertengkaran yang berujung perceraian adalah faktor ekonomi (awal dewe kena gere musèn), paradoks-nya uang banyak juga bisa menyebabkan cerai (ke delè sèn gere cerè tapi kerje mien), jadi uang juga bukan jaminan langgengnya rumah tangga. Sementara Kanda Suparman lebih melihat melihat sisi lain dari banyaknya perceraian, yakni tidak terpenuhinya kebutuhan biologis suami atau istri, yang bisa disebabkan karena penyakit tertentu yang diderita oleh pasangannya; atau sebaliknya terlalu meladeni kebutuhan yang satu ini sehingga ada pasangan mencari “tamboh” dengan PIL atau WIL; masih memandang lebih hijau rumput tetangga.

Menurut rinen Sahdansyah, dalam masyarakat Gayo kadangkala perceraian terjadi juga karena “perang dingin”, sehingga muncul ungkapan “dewe enti cere i tetah”, memang tidak bertengkar mulut, tetapi proses pisah jalan terus. Gejala seperti ini menurut Sahdan agak berbau faktor psikologis, karena itu dia menyarankan perlunya tes kejiwaan bagi calon-calon pengantin untuk mengetahui keseriusannya membangun mahligai rumah tangga dengan pasangannya; tentu hal ini penting terutama bagi pasangan-pasangan usia muda yang mungkin faktor pendorongnya lebih banyak berbau fisik dan biologis. Menurut Sahdan, pentingnya psiko tes bagi catin untuk mengetahui karakter asli masing-masing, menurutnya ini perlu dipertimbangkan sebagai salah satu syarat administratif pernikahan.

Praktisi pernikahan, kanda Wardi Ibrahim melihat perceraian dari perspektif lain, dari segi dampaknya pada rumah tangga, kehidupan sosial kemasyarakatan, dan sebagainya. Menurut beliau, cerai hidup dan cerai mati, meski secara hakikat sama-sama cerai, tetapi dampaknya sungguh berbeda. Pasangan yang bertengkar dan cekcok dalam rumah tangga banyak juga yang disebabkan oleh “sumbu pendek” alias rendahnya “antena” pasangan nikah dalam menapaki peran/jabatan suami istri dan peran orang tua bagi anak-anaknya. Di lapangan, bukti konkrit model model hamba yang tidak sami’na wa atha’na sangat banyak sekali. Rasio yang singkat dikalahkan oleh emotio dan ego yang pantang mengalah sehingga gagal melanjutkan kehidupan bersama yang sudah disepakati. Antena yang tanggung menyebabkan pengambilan keputusan yang emosional dan tergesa-gesa, begitu sadar nasi sudah menjadi bubur; mau kembali muncullah gengsi.

Sebagai praktisi yang hari-hari berinteraksi dengan pasangan yang memadu janji di depan wali dan saksi, beliau sepertinya geram betul dengan pasangan-pasangan yang mudah saja bercerai yang sebagiannya sudah memiliki buah hati. Saking geramnya, beliau mewacanakan pentingnya pemidanaan pasangan-pasangan bercerai tanpa sebab yang rasional.

Menurutnya, agar perceraian tidak dengan begitu mudah dan murah meriah, perlu ancaman pidana seberat-beratnya, kalau perlu 10 tahun penjara, sebab menurut beliau sebagai pencatat dan pemberi nasehat perkawinan, sudah berbuih dan berbusa mulut penceramah mempromisikan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah; misi kudus perkawinan sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an. Ancaman pidana ini semakin relevan jika pasangan yang bercerai memiliki anak dan bercerai karena faktor yang tidak bisa diterima secara akal dan secara sosial, misalnya perselingkuhan dan poligami tanpa sebab yang jelas. Kanda Jamhuri menimpali dengan mengatakan bahwa berkali-kali mengkuti acara ijab kabul bahkan memberi khutbah nikah, aman mayak dan inen mayak jarang yang serius mendengarkan khutbah nikah.

Praktisi pendidikan, Komisioner MPD Kabupaten Bener Meriah, kanda Turham, memberikan klarifikasi berdasarkan hasil penelitiannya.

Menurutnya, ‘pertengkaran’ sebagai sebab perceraian itu harus dimaknai sebagai akumulasi sebab yang berpuncak pada pecahnya pertengkaran, ibarat iceberg theory, katanya, yang tampak di permukaan atau yang dilihat orang adalah pertengkarannya, tetapi apa yang sesungguhnya hanya mereka dan Mahkamah Syar’iyah yang mengetahuinya. Pertengkaran yang tidak bisa didamaikan lagi memang alasan klasik yang dijadikan dalih oleh semua pasangan yang telah bertekad bulat untuk “pecah kongsi”. Upaya terakhir sebelum ketuk palu oleh hakim adalah mediasi agar kembali ke meja perundingan, namun bagi yang telah kukuh upaya mediasi inipun ditepisnya.

Jika kita himpun penyebab-penyebab perceraian, maka akan tergali faktor-faktor lain selain faktor ekonomis, biologis, psikologis, literis, dan pragmatis yang terungkap dalam diskusi maya ini. Dari penyebab-penyebab itu tentu harus dipikirkan setidaknya obat generik kalaupun bukan obat paten untuk mencegah peningkatannnya di tahun 2023.

Resolusi perceraian 2023
Idealnya memang “zero divorce” but is it possible? Sebenarnya sah-sah saja kita memasang do’a dan target itu, apalagi untuk hal-hal yang baik; jangan ada perceraian dan kalaupun bercerai biarlah pasangan yang belum atau tidak punya anak karena dengan begitu tidak akan ada jiwa yang menjadi korban seumur hidupnya.

Sebagai refleksi, jika dijumlahkan kasus perceraian 3 tahun saja, maka akan menembus angka 995, hampir 1000 kasus. Sedikit berandai, jika 995 pasangan gagal itu memiliki satu orang anak saja, maka sejumlah 995 pulalah anak korban perceraian itu; bayangkan saja, kini mereka umur berapa? Tinggal dengan siapa? Nafkahnya bagaimana? Tumbuh kembangnya bagaimana? Siapa yang melindungi mereka? Kesehatannya bagaimana? Pendidikannya bagaimana? Tempat tinggal dan pakaiannya bagaimana? Bukankah ini layak untuk dipikirkan bersama?

Ya, ‘peristiwa hukum’ perceraian melahirkan ‘hubungan hukum’ yang bersegi banyak seumur hidup, khususnya dalam kaitan dengan anak.

Kata nafkah bagi anak mengandung makna yang luas dan dalam; kebutuhan anak yang paling besar bukanlah perut kenyang atau pakaian yang gemerlap, kebutuhan terbesar itu namanya kasih sayang yang hanya bisa dirasakan, tidak bisa dipegang.

Di sesi akhir diskusi penulis menggugah dengan suatu perbandingan, jika jalan rusak mudah kita menuding PUPR tidak peka, atau jika ada orang sakit tidak dilayani dengan baik mudah kita mengarahkan telunjuk ke rumah sakit atau puskesmas, lalu kalau banyak terjadi perceraian instansi mana yang kita salahkan? Kemenag/KUA karena mereka yang menikahkan? Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak? BKKBN? Dinas Sosial? Atau Mahkamah Syar’iyah karena mereka yang menceraikan?

Tidak ada satupun instansi yang patut ditunjuk bertanggung jawab atas banyaknya kasus perceraian di masyarakat.

Meski tidak ada instansi saat ini yang dianggap layak bertanggung jawab secara langsung, namun bukan berarti hal ini harus dibiarkan demikian.

Mengambil analogi bencana alam yang dulu juga tidak ada yang menjadi leading sector-nya, maka dengan semakin beragam dan intensnya bencana alam dibentuklah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dari pusat hingga Daerah. Tugas lembaga ini adalah menjadi koordinator yang mengarahkan semua stakeholders yang terkait di saat terjadinya bencana alam.

Dengan pola pikir ini, perceraian juga layak disebut dengan bencana sosial dengan melihat dampaknya yang luar biasa. Yang layak untuk peran ini menurut penulis adalah Dinas Syari’at Islam, karena tugas DSI berbeda dengan Kementerian Agama yang core business-nya adalah orang ‘beragama’ yang ‘beragam’ supaya rukun; sedangkan DSI core business-nya ‘keberagamaan’, yakni bagaimana nilai-nilai yang diajarkan agama itu hidup dalam jiwa manusianya, karena substansi agama itu adalah kasih sayang. Semasih ada kasih sayang maka segenting apapun cobaan rumah tangga pasti akan bertahan.

Keberagamaan inilah yang perlu dibina oleh Dinas Syari’at Islam agar eksistensinya membumi di masyarakat, bukan hanya terlena dengan “urusan langit” dengan berharap dampaknya pada “urusan bumi”, sebaiknya to the point saja, urusi “bumi”.[]

*Pengkaji Sumber Daya Manusia Aparatur pada BPSDM Aceh

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.