Oleh : Irfan Syahrial*
Luhurnya sifat kemé (malu) merupakan suatu hal yang teramat penting yang miliki manusia menandakan bahwa perasaan manusia itu masih berada pada titik normal dalam merespon stimulus yang datang untuk mempertimbangkan secara emosional sehingga menggambarkan kondisi kejiwaan seseorang.
Hal ini agar setiap perilaku manusia didalam mengambil sebuah keputusan akan lebih mempertimbangkannya secara kodratnya manusia dengan hati nuraninya yang juga sebagai ekspresi dari rasa kemé (malu).
Kemél (malu) layaknya silet bermata dua, dikarenakan malu dapat dipandang suatu perilaku yang positif namun juga disisi lainnya berdampak negatif, maka kondisi ini merupakan suatu dilema dalam melakukan aktifitas keseharian baik di Indonesia maupun di daerah Gayo yang seakan akan menjadi identitas diri masyarakatnya.
Sayangnya kondisi tersebut sering berbanding lurus dengan cara berfikir dalam menangani masalah yang dihadapi karena terkadang rasa malu yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari hari malah berdampak memalukan. Contohnya kasus sangat banyak dikalangan masyarakat kita pada saat ini jika kita mau berkaca dan mencari jati diri.
Keberadaan dan nilai malu akan terus menyertai perilaku manusia dalam aktifitasnya sebagai keniscayaan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai perasaan, tanpa sadar malu mampu mengarahkan seseorang untuk memahami rasa tanggung jawab disetiap kondisi yang dihadapi ataupun bisa saja lari dari tanggung jawab yang diemban dalam situasi kehidupan.
Secara psikologis jika luapan emosi yang menjadi kebiasaan seseorang dan dilakukan terus menerus akan menjadi otomatis tersimpan di dalam alam bawah sadar dan akan mengarahkan setiap perilaku untuk dilakukan tanpa disadari.
Itu artinya jika rasa malu tertanam manusia, maka tanpa sadar mereka akan digiring untuk bersifat malu pada setiap aktifitas tanpa ada pertimbangan terlebih dahulu secara rasional situasi dan kondisi yang paling tepat untuk bersikap malu.
Banyaknya masalah dan problema di kalangan masyarakat kita pada saat ini dikarenakan tidak membudayakan budaya malu, malu tercipta agar dimaksudkan untuk membuka cakrawala berfikir dan agar tidak terpenjara pada pemahaman yang sempit. oleh karenanya dikala mata kita terbuka dipagi hari, kita mengambil bagian untuk mengembangkan budaya malu.
Sekarang dunia beralih dengan ungkapan Sumang yang berada di Gayo yang dari turun temurun adat dan kebiasaan di Gayo, Sumang Penengonen, Sumang Pecerakan, Sumang Kenunulen, dan Sumang Pelangkahen.
Pertanyaannya adalah apa kaitan malu dan Sumang? Karena disalahsatu ciri utama fitrah manusia adalah adanya rasa malu, bila rasa malu itu hilang, manusia cenderung berbuat seperti binatang bahkan bisa lebih parah lagi.
Tidak dapat kita pungkiri dengan berkembangnya teknologi komunikasi menciptakan budaya baru dan itu diluar kesadaran manusia untuk cenderung salah dalam menempatkannya, perhatikan teknologi tanpa pernah Malu untuk mengumbar segala apa yang ada, bahkan budaya malu sedikit demi sedikit tergerus untuk merubah peradaban manusia, sehingga manusia menunggu kehancuran peradabannya sendiri.
Pertama sebuah negeri bisa jadi menghasilkan banyak pencapaian dalam bentuk bangunan dan jalan berupa fisik namun hal itu tidak berarti kemajuan jika penduduknya mengalami dekadensi moral.
Kedua, tumpulnya hukum yaitu perbuatan perbuatan maksiat yang dilakukan masyarakat biasa tiadalah seketika meruntuhkan suatu peradaban, akan tetapi bila perbuatan maksiat dilakukan oleh penguasa itulah jalan mulus untuk kehancuran total apalagi hukum tidak akan berdaya dihadapan kelompok elit yaitu; pemimpin beserta kroni dan keluarganya.
Ketiga adalah lunturnya solidaritas yaitu tentang gaya hidup manusia yang bermalasan dan bermewahan atau terkesan hedonism karena berdampak parah apabila manusia memiliki komitmen yang rendah terhadap ajaran agamanya.
Sekarang kita mungkin lebih maju secara teknologi tapi bukan itu alasan untuk percaya bahwa kita sebagai manusia kebal terhadap ancaman yang melemahkan leluhur, kemampuan teknologi kita yang baru ini bahkan membawa tantangan baru yang belum pernah ada sebelumnya meskipun banyak teori teori dimasa kini banyak mengusulkan agar peradaban itu tidak hancur lebur namun pada kenyataannya tidak menjamin hal itu tidak terjadi.
Kehancuran peradaban tidak dapat dipungkiri terjadi jika adanya perubahan iklim yang mempengaruhi kehidupan manusia, degradasi lingkungan juga salahsatunya, apalagi ketidak setaraan dan oligarki yang menghambat kemampuan manusia untuk merespon masalah ekologi, sosial dan ekonomi, kompleksitas manusia yang pada akhirnya akan runtuh di bawah beban akumulasi dan birokrasinya sendiri.
Manusia adalah pemecahan masalah kolektif yang tumbuh dalam kerumitan untuk mengatasi masalah baru. Namun keuntungan dari kompleksitas ini akhirnya mencapai titik kepuasan yang menurun selanjutnya setelah titik ini, mau tidak mau keruntuhan akan terjadi.
Beralih dengan kehidupan dimasyarakat Gayo yang memegang teguh adat istiadatnya dan menjunjung tinggi agamanya, sering kita mendengar kiasan petuah orang tua dulu ‘Agama kin senuen, edet kin peger”, kira kira maksudnya (agama adalah tanaman sedangkan adat adalah pagarnya), maka secara tidak langsung budaya malu harusnya melekat kepada seluruh elemen masyarakatnya.
Apabila rasa malunya telah dicabut maka manusia tersebut tidak akan menjumpainya bahkan akan menjauhinya, setelah itu dicabut pula sifat amanah pada dirinya, apabila amanah telah dicabut dari dirinya maka akan didapati dirinya kecuali sebagai pengkhianat dan dikhianati, selanjutnya dicabut pula rahmat dari hidupnya, jika rahmat telah tercabut maka akan didapati dirinya menjadi manusia terkutuk, apabila manusia tersebut terkutuk maka dicabutlah ikatan keislamannya.
Maka kita manusia hendaknya menjaga dan membudayakan budaya malu agar setidaknya lebih mawas diri dan mengetahui dari mana kita berasal. [SY]
* Irfan Syahrial, salah seorang penggiat komunitas seni di Takengon dan abdi negara disalah satu dinas Kabupaten Aceh Tengah.