Oleh : Fauzan Azima*
Kuuuuur semangatmu
Kanang kalimat angkan tempatmu
Kesahurimu
Kedue ketubenmu
Ketige tali pusetmu
Keempat tembunimu
Kelime orom ko
Kini ulak renye roh, arwah, semangat sebenar wujudmu
Berkat kalimah Tayyibah
Demikian salah satu mantra yang dibacakan orang tua agar bayi berhenti menangis karena penyakit “semangatnya pergi”. Kalimat itu juga disebut sebagai doa penalu semangat. Bagi sebagian orang, mantra itu juga diamalkan untuk memanggil agar orang-orang terkasih untuk kembali ke pangkuan. Ini sering disebut dengan ilmu pepiluk.
Pada akhir-akhir ini saya berpikir keras untuk mencari sebuah jawaban dari pertanyaan ini: “Pada masa konflik Aceh dengan Jakarta, banyak pejuang di barisan saya menyerah meski mereka telah dibaiat dengan sumpah yang sangat keras?”
Ternyata, dari banyak faktor, salah satu jawaban atas pertanyaan itu adalah sebagian dari mereka menyerah setelah terkena ilmu pepiluk; yang menjadikan seseorang, tanpa sadar, menyerahkan diri.
Begitulah perang. Segala daya, upaya, bahkan potensi, dimanfaatkan untuk menaklukkan musuh. Tidak saja dengan cara kasar atau menggunakan kekuatan militer bersenjata lengkap. Musuh juga menggunakan cara-cara supranatural, termasuk ilmu pepiluk. Terbukti dalam beberapa kasus, mantra pengendali roh, arwah, dan semangat, itu sangat efektif membuat para gerilyawan turun gunung.
Ilmu pepiluk, selanjutnya disebut pepiluk, tidak saja mampu mempengaruhi seseorang yang berada dalam tekanan, seperti saat berada di tengah peperangan. Ilmu bisa memengaruhi seseorang dalam situasi normal. Bahkan Tengku Ali Djadun–beliau pernah menjabat sebagai ketua majelis ulama Aceh Tengah–pun mengakui bahwa dia pernah menjadi korban pepiluk pada masa mudanya.
“Waktu itu saya ingin berkarir di Jakarta. Tapi selama dalam perantauan itu, hati saya selalu gelisah dan tidak sabar ingin segera pulang kampung. Sampai pada satu waktu, saya tidak ingat apa yang terjadi dalam perjalanan. Tiba-tiba sudah sampai di kampung halaman saya, Teritit,” katanya sambil tertawa kecil.
Dalam perkembangan selanjutnya, pepiluk lebih banyak digunakan untuk kaum perempuan yang pergi meninggalkan rumah oleh karena sebab tertentu. Kekuatan pepiluk, mampu membuat si target tanpa sadar kembali ke rumah dengan pakaian seadanya. Tidak jarang mereka pulang tanpa alas kaki.
Saat terkena pepiluk, kerinduan terasa memuncak. Perasaan itu muncul tanpa bisa dikendalikan oleh target. Yang ada dalam hatinya hanya keinginan untuk segera bertemu dengan orang-orang yang ditinggalkan.
Pada saat ini, pepiluk mulai langka di kalangan masyarakat sejalan dengan wafatnya para pengamal ilmu ini. Apalagi pepiluk jarang diwariskan kepada anak cucu. Mereka yang menguasai ilmu ini menganggap tabu menurunkan papiluk kepada keturunan mereka.
Kalau pun dititipkan, mantra itu tidak semujarab pengamalan pertama. Terlebih lagi selalu timbul kecenderungan untuk menyalahgunakan ilmu itu ke hal-hal negatif atau perbuatan maksiat. “Kesaktian” ilmu itu semakin luntur seiring pergeseran empu.
Pepiluk kini hanya menjadi jangin; hanya sekadar senandung atau kata-kata yang kehilangan kekuatan. Sedikit pula orang-orang saat ini yang memahami asal usul dan mengkaji hakikat ilmu tersebut. Ketidaktahuan membuat kita berprasangka buruk tentang ilmu ini. Bahkan ada yang menganggap pepiluk adalah perilaku syirik.
Sebenarnya, sebagaimana dengan ilmu-ilmu lain, pepiluk adalah senjata. Tergantung untuk apa digunakan, apakah untuk kebaikan atau keburukan. Sebagai contoh asal usul syarat kenduri atau ritual adat yang menyediakan awal, bertih, tenaruh (pisang, popcorn beras, telor).
Seorang pawang hutan bercerita, anak-anak Nabi Adam as dengan Siti Hawa, Habil, Qabil, Iqlima dan Labuda, menebang pohon di hutan untuk membuka lahan kebun, setiap kali pula pohon yang mereka tebang itu tumbuh lagi, seperti tidak pernah ditebang.
Tiga hari lamanya mereka menebangi pohon itu. Hingga pada hari keempat, setelah mereka selesai menebang pohon, mereka pura-pura pulang. Adam dan Hawa bersembunyi dan mengintip dari balik semak untuk melihat siapa yang kembali menegakkan pohon-pohon itu.
Mereka melihat seorang laki-laki kekar keluar dari semak belukar dan satu per satu menegakkan kembali pohon-pohon yang ditebang itu. Melihat perbuatan orang asing itu, Habil dan Kabil marah dan menyerang orang asing itu.
Awalnya perkelahian itu berjalan seimbang. Kedua pihak sama-sama kuat; tidak mau mengalah. Lama-kelamaan orang asing itu mulai lemah menghadapi serangan Habil dan Qabil.
“Demi ayahku Adam dan ibuku Hawa, menangkanlah saya dalam perkelahian ini,” demikian doa lelaki asing itu.
“Mereka adalah orang tua kami,” teriak Habil.
“Kalau benar kalian anak keturunannya, bawalah saya kepada mereka,” pinta lelaki asing itu.
“Baiklah,” jawab Habil.
Mereka pun membawa lelaki asing itu bertemu dengan Adam dan Hawa. Pria yang menumbuhkan pohon itu bernama Segedup Alam. Semula Adam cemburu terhadap Hawa, namun ia menjelaskan bahwa Segedup Alam adalah anak “terlahirnya”.
Akhirnya Adam menjelaskan kepada anak-anaknya bahwa Segedup Alam adalah saudara kandung mereka yang bertugas menjaga hutan. Adam menjelaskan, apabila anak cucunya kelak akan membuka hutan sebagai pertalian dengan Segedup Alam, maka ia harus menggelar kenduri dengan membuat awal, bertih, tenaruh.
Pepiluk di Gayo sebenarnya penjabaran dari asal usul manusia sejak berada di alam kandungan sampai menjadi manusia sempurna, seperti dalam istilah Gayo, “roa si abangen, roa si engin orom dirimu.” Dalam bahasa Jawa, “sedulur papat, limong pancer.”
Yang, apabila disebut dalam mantra, kalimat itu bakal memperkuat “sinyal” antara pengamal mantra dengan seorang target yang dituju. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu Gayo lebih bersifat amanah ketimbang doa.
Bagi orang Gayo ada sebuah pernyataan, “kuet ilmu, lebih kuet amanah. Kuet amanah, lebih kuet isarat”. Berbeda dengan orang Jawa lebih kepada “ilmu”. Sehingga tidak perlu heran, kalau ada orang yang mengatakan, “kalau mau cari ilmu, pergilah ke Jawa.”
Berikut perbandingan mantra Jawa yang bersifat “ilmu” dan mantra Gayo yang bersifat “amanah”.
Mantra pengasih Jawa
Teko welas
Teko asih
Asih si Jabang bayi …
Betah ora mangan wong dami
Ora betah reung wetonMantra Pengasihan Gayo
Rokok geralmu si raja goda
Tembakau bergeral bako
Asapmu bergeral si tuan talu
Selangkah naku
Selangkah niko
Berkat huruf alif, wau, ta.
Sun Tzu, jenderal militer Cina dan filsuf yang hidup pada sebelum Masehi, menulis buku The Art of War. Dalam buku itu dituliskan banyak nasehat yang menginspirasi orang hingga zaman ini. Inti ajaran Sun Tzu adalah memenangkan peperangan, atau berbisnis, tanpa perlu berdarah-darah, seperti pepiluk. []