Oleh : Lisma Rahma Diana dan Lisma Andini*
Perkembangan zaman yang selalu bergerak maju, maka seiring dengan itu banyak hal pula yang akan ikut berubah. Baik dari segi IMTAQ dan IPTEK, seni budaya, peraturan, kebiasaan, juga sistem pendidikan. Dalam pendidikan banyak hal yang terus ikut berubah mengikuti perkembangan dan pergerakan zaman. Dari segi peraturan, kurikulum, sistem belajar dan mengajar. Termasuk guru dan murid yang silih berganti.
Banyak tradisi dalam pendidikan yang memudar. Memisahkan adat istiadat dari kehidupan sehari-hari. Maka tak jarang, generasi kini yang disebut generasi milenial nyaris melupakan tradisi yang telah ada sejak turun temurun. Banyak dari generasi kini yang tidak memahami pentingnya makna adat istiadat yang mengandung unsur kebaikan, rendah hati serta pendidikan. Banyak yang menganggap remeh tradisi-tradisi yang sudah ada sejak lama tersebut dan tidak berniat untuk melestarikannya. Sehingga banyak tradisi yang memudar.
Salah satu tradisi yang mulai memudar tersebut adalah tradisi “iserahen ku guru”. Dalam budaya gayo, tradisi “iserahen ku guru” merupakan bentuk apresiasi seorang ayah dan ibu kepada para guru. Ketika anak “iserahen ku guru”, maka murid, orang tua, guru serta lembaga pendidikan akan membangun kerja sama yang baik dalam pendidikan.
Hal ini karna adanya masing-masing diri mengetahui tugas dan perannya dalam membangun kerja sama dalam pendidikan. Jika salah satu tokoh tidak menjalankan peran dan tugasnya dengan baik,maka harapan dan tujuan yang di harapkan pun tidak dapat di capai dengan baik pula.
Tradisi “iserahen ku guru” merupakan bentuk keikhlasan orang tua dalam menyerahkan anaknya pada dewan guru dalam mendidik akhlak dan perilaku murid tersebut yang di harapkan dapat berguna baik di dunia maupun di akhirat.
Prosesi kegiatan tersebut di lakukan dengan beberapa tahapan. Di antaranya adalah dengan menyediakan alat-alat dan bahan seperti petawaren. Yang pertama meliputi dedingin, celala, bebesi, batang teguh. Kedua jarum sara, oros senare opat kal,pulut putih, belo temung gagang, tenaruh kurik kampung. Benda-benda tersebut memiliki arti tersendiri. Contohnya dedingin yang di harapkan hati murid menjadi sejuk saat mendapatkan ilmu dan pengetahuan dari para guru. We senanta yang melambangkan orang tua merelakan anaknya untuk di didik dengan tegas.
Tradisi “iserahen ku guru” yang sudah mulai pudar tersebut, tetap di selenggarakan di pesantren Moderen Maqamam Mahmuda sejak tahun 2016 silam. Prosesi “iserahen ku guru” kembali di laksanakan pada tanggal 17-18 Juli 2022 dalam rangka penerimaan santri baru dan sekaligus mengawali kegiatan belajar di Pesantren Moderen Maqamam Mahmuda. Tradisi ini tentu mempunyai banyak manfaat dan serat makna maka harus di budayakan.
Ustadz Dr. Abdiansyah Linge MA, selaku pimpinan pesantren moderen tersebut mengatakan bahwa saling mempercayai dan membangun kerja sama antar ketiga pihak (guru, orang tua dan murid) adalah salah satu upaya untuk saling mengikhlaskan. Orang tua mengikhlaskan anaknya untuk di didik, murid juga mengiklaskan dirinya untuk di didik,para guru mengikhlaskan dirinya untuk mendidik dan pesantren mengikhlaskan diri untuk menerima guru, murid, serta orang tua.
Sejatinya,bagi orang Gayo sendiri,tradisi dan adat istiadat tidak dapat di pisahkan dengan syariat. Karena keduanya bergabung menjadi satu komponen penting dalam kehidupan dan salah satu tradisi tersebut adalah “iserahen ku guru” sebagai bentuk kerjasama dan keikhlasan tiga peran tersebut dalam pendidikan.
Dengan demikian, tradisi ”iserahen ku guru” dapat menjadi salah satu obat atau solusi bagi masyarakat luas agar ketika anak “I luah jalu ”semuanya dapat memainkan perannya dengan baik dan harapan yang di angan-angankan pun dapat di capai dengan baik.
Wallahu a’lam bishshawab.
*Santri Pesantren Modern Maqamam Mahmuda, Bebesen Takengon