Oleh : Win Wan Nur*
Setelah ditunggu-tunggu dengan diiringi berbagai spekulasi dan harapan tinggi dari kalangan yang sudah jenuh bin suntuk dengan keberadaan Nova Iriansyah di tampuk tertinggi pemerintahan Aceh, diwarnai berbagai intrik dalam persaingan antar tim sukses.
Akhirnya, siapa yang menjadi pejabat (Pj) Gubernur Aceh yang dalam Pasal 201, UU 10 Tahun 2016 akan menjabat sampai dilantiknya kepala daerah baru, ditetapkan oleh Mendagri, sudah kita ketahui bersama.
Pj ini bernama Achmad Marzuki. Dirinya terpilih karena sebelumnya, namanya termasuk dalam satu di antara tiga nama yang diajukan DPRA ke pusat.
Ditunjuknya Achmad Marzuki oleh Mendagri ini mengejutkan banyak pihak, karena latar belakangnya sebagai jenderal purnawirawan TNI.
Penunjukannya tak pelak membawa kembali ingatan kolektif masyarakat Aceh pada suasana masa darurat militer, ketika berbagai kebebasan masyarakat, termasuk pers dibatasi.
Pada masa itu, kebebasan bersuara benar-benar terbatas, apa yang boleh diberitakan hanya apa yang direstui oleh pejabat penguasa darurat militer.
Fakta bahwa gubernur sebagai penguasa sipil tertinggi di Aceh yang berlatarbelakang jenderal militer ini, tak pelak membuat masyarakat Aceh yang sejak ditandatanganinya MoU perdamaian GAM – RI mulai merasakan kebebasan berekspresi dan mulai bebas menyampaikan aspirasi secara terbuka, mulai merasa was-was.
Tak sedikit yang mulai bertanya-tanya, apakah masa kebebasan berekspresi yang selama ini dinikmati akan kembali dikebiri, di masa Pj Gubernur rasa gubernur definitif, berlatar belakang militer ini?
Achmad Marzuki melalui tim di lingkar inti kekuasaannya tentu menolak dugaan ini.
Tapi mulut dan ketikan jari boleh mengatakan tidak, fakta menyatakan sebaliknya.
Tak perlu menunggu lama, bahkan dalam proses perkenalan diri sang Pj Gubernur pun, Pak Pj sudah menciptakan friksi dengan para awak media, dengan melarang media mengambil foto dan memberitakan pertemuan yang diinisiasinya sendiri.
Sebagaimana dikutip oleh waspadaaceh.com, Pj gubernur Aceh yang baru ini menyatakan
“Jangan viralkan hal-hal yang tidak baik untuk Aceh, yang dapat memalukan bangsa sendiri,”
Dia berharap media punya kontribusi untuk membangun Aceh, dengan menyajikan berita-berita positif.
“Saya ingin bantuan dari awak media, agar Aceh terkenal di dunia. Jangan hanya dikenal dengan provinsi termiskin,” tuturnya.
Jika kerjasama tersebut dapat terjalin, segala problem yang ada di Aceh dapat diatasi. Begitu juga sebelumnya, pihaknya juga sudah berkoordinasi dengan kepala dinas di Aceh atau SKPA untuk sama-sama bekerja untuk Aceh.
Kalau kita perhatikan dengan cermat, anjuran sang Pj ini kepada media, sebenarnya segaris dan sebangun dengan istilah “Kritik membangun” sebuah mahakarya Soeharto, penguasa Orde Baru, sebuah eufimisme yang fungsi utamanya adalah mengaburkan tindakan represif terhadap para pengeritik yang berani menunjukkan borok dan ketidakbecusan pemerintah dengan mencitrakannya sebagai orang/ kelompok anti pembangunan.
Pola yang sama seperti ini, kita lihat, dari awal sudah dimainkan oleh Pj Gubernur Aceh yang baru ini.
Konsekuensi dari anjuran untuk hanya menyampaikan berita positif ini, memang belum terasa sekarang.
Tapi nanti, pelan-pelan akan kita lihat dampaknya.
Mungkin dampak dari anjuran ini akan terlihat lebih jelas, ketika mulai berlangsung pembagian proyek pemerintah.
Saat itu, saya yakin kalau saran untuk hanya menyampaikan berita positif ini pasti akan menuai masalah.
Karena sebagaimana kita tahu, ekonomi Aceh hampir sepenuhnya ditopang oleh belanja pemerintah, sehingga kesuksesan secara ekonomi tidak ditentukan oleh kemampuan diri melainkan sekuat apa koneksi dengan orang dalam. Isu ini menjadi sangat sensitif.
Dari pengalaman yang sudah-sudah, kita melihat kalau pada masa pembagian proyek ini banyak terjadi gejolak, ada banyak sorotan pada penerima proyek, peruntukannya, kelompok siapa? Bagaimana hubungannya dengan gubernur? Dan sebagainya, pendeknya akan banyak sorotan negatif dari media.
Nah, ketika muncul anjuran bahwa yang disampaikan hanyalah berita positif ini diterima, media yang menyampaikan situasi apa adanya akan mudah dicitrakan sebagai media dan wartawan yang memberitakan sebagai anti kemajuan cuma bisa nyinyir dan berbagai level negatif lainnya.
Dan perlu diketahui, situasi seperti ini sudah terjadi di salah satu kabupaten negeri fiktif bernama Wakanda, yang mana bahkan ketua organisasi pewarta pun mengompori junjungannya untuk melaporkan media dan awaknya ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik, cuma karena media tersebut berani melaporkan fakta yang sebenarnya, yang setengah mati ditutupi oleh para jurnalis dan media yang “topan” ikut kemana penguasa berjalan.
Mereka adalah para wartawan dan media yang menganut prinsip sang Pj, hanya memberitakan sisi positif, “apreciative journalism” kata orang di sebelah lautan sana.
Apakah, apa yang terjadi di salah satu kabupaten negeri fiktif bernama Wakanda ini juga akan terjadi di Aceh?
Agaknya sebentar lagi kita akan segera ketahui bersama.
Untuk versi video artikel ini, silahkan tonton di link YouTube berikut ini :