Oleh : Agung Pangeran Bungsu M.Sos*
Pembahasan soal niat memang penting untuk selalu diingat. Tidak cukup hanya diingat akan tetapi niat haruslah menjadi titik tumpuan perhatian dalam menentukan arah suatu tujuan. Hal ini dikarenakan niat akan menentukan apa yang nantinya akan didapat.
Niat bahkan akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya telah dibuat. Baik maupun buruknya segala sesuatu yang didapat tentunya tidak dapat terlepaskan dari niat yang dilahirkan.
Sebagai seorang mukmin, kajian tentang niat memang sudah semestinya menjadi bagian yang benar-benar penting untuk diperhatikan, terlebih dalam melakukan sebuah amalan.
Tanpa dilandasi dengan niat yang baik, bahkan amalan kebaikan yang dilakukan oleh seseorang tidak akan bernilai dihadapan Allah ta’ala. Percaya ataupun tidak ketika seseorang berazam atau meneguhkan niatnya untuk perkara kebaikan maka dengan mudahnya Allah ta’ala memudahkan segala urusan yang dilakukan tanpa merasakan kesukaran yang berarti.
Dalam Al-Quran Allah ta’ala berfirman
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Ath-Thalaq 2-3).
As-Sa’di menjelaskan sebuah riwayat dalam kitab tafsir Ibnu Katsir tentang ayat diatas bahwa seorang lelaki dari kalangan sahabat yang dikenal dengan nama Auf ibnu Malik Al-Asyja’i mempunyai seorang putra yang tertawan di kalangan kaum musyrik.
Anaknya itu berada di tangan kaum musyrik, sedangkan ayahnya selalu mendatangi Rasulullah untuk mengadukan nasib yang dialami oleh putranya itu dan juga tentang kemiskinan yang menimpa dirinya.
Rasulullah senantiasa menganjurkan kepadanya untuk bersabar menghadapi semua musibah itu dan bersabda kepadanya:
Sesungguhnya Allah akan menjadikan bagimu jalan keluar. Tidak lama kemudian ternyata putranya itu dapat meloloskan diri dari tangan musuh dan melarikan diri, kemudian ia bersua dengan iringan ternak kambing milik musuhnya, maka ia menggiring ternak kambing itu dan pulang ke rumah ayahnya dengan membawa ternak kambing hasil jarahannya.
Lalu diturunkanlah ayat yang berkenaan dengan peristiwa ini, yaitu firman-Nya: Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (Ath-Thalaq: 2-3)
Manusia seringkali lebih mengandalkan kemampuan yang dimilikinya dalam menggapai sebuah tujuan. Padahal terdapat kuasa Allah ta’ala yang tidak dapat dikesampingkan.
Merasa cukup dengan kekuatan akal yang tidak ada apa-apanya sejatinya sebuah pembuktian sebagai hamba yang takabbur. Mengagungkan nalar dan logika diatas ketetapan dan kehendak Allah ta’ala adalah perilaku iblis yang patut dikesampingkan.
Sejatinya ketika seorang hamba berada pada fase yang demikan sejatinya ia sedang diuji apakah ia akan tunduk pada hawa nafsu kecerdasannya atau lebih memilih tunduk pada wahyu yaitu Al-Quran dan Sunnah.
Tidak jarang kalimat-kalimat tidak berguna terlontar dari lisan sebagiannya “Inilah yang mampu aku peroleh atas hasil kerja kerasku”. Dengan demikian dapat terlihat bahwa segala sesuatu yang telah dicapai bukanlah untuk meraih ridha Allah ta’ala melainkan hanya untuk menunjukkan betapa hebat dirinya. Tentulah niat yang baik akan menghasilkan buah yang baik.
Wallahu a’lam bish shawab. (*)