Oleh : Win Wan Nur*
Beberapa waktu yang lalu, seorang tokoh Gayo yang berada di luar negeri, meski tidak sepenuhnya “apple to apple,” dalam skala tertentu menyandingkan proyek pembangunan PLTA yang sekarang sedang berlangsung dengan tambang emas di Linge.
Dalam hal ini sang tokohe menyandingkan aksi penolakan PLTA di masa lalu dengan penolakan tambang emas di masa sekarang.
Meski hal yang disoroti cukup relevan, yaitu hilangnya kesempatan putra-putri Gayo yang akan dididik perusahaan menjadi tenaga ahli, yang menurut sang tokoh sudah terjadi di PLTA, akibat penolakan di masa lalu, dirinya tak ingin hal yang sama terulang di kasus penolakan tambang emas Linge.
Terkait hal itu, meski keduanya terlihat memiliki relevansi, tapi pada hakikatnya proyek PLTA dan Tambang Emas adalah dua proyek yang jika ditinjau dari dalam segala hal, berbeda bak langit dan bumi.
Misalnya, ditinjau dari segi lingkungan.
Kalau keberadaan tambang emas mengancam kelestarian aluran sungai, dengan potensi tumpahnya limbah beracun, penebangan pohon yang tak dapat dihindari saat proses penambangan, masyarakat sekitar yang berpotensi terpapar racun dan seterusnya.
Proyek PLTA sebaliknya, proyek ini membutuhkan debit air yang stabil baik saat musim hujan dan musim kemarau, alhasil, proyek PLTA mau tidak mau harus mendukung pelestarian alam di sekitar daerah tangkapan air.
Kemudian, air yang dipakai PLTA untuk menggerakkan turbinnya, hanya sekedar dilewatkan tanpa sedikitpun mengurangi kualitas airnya setelah dipakai, jadi masyarakat bisa menggunakan air tersebut seperti sebelumnya tanpa sedikitpun mengurangi manfaatnya.
Lalu soal multiplier effect.
Kalau tambang emas, hampir tak memiliki manfaat apapun untuk mendorong tumbunhnya sektor ekonomi lain karena keberadaannya. PLTA justru sebaliknya.
Karena inveatasi membutuhkan ketersediaan energi, posisi PLTA adalah sangat vital untuk membuat investor tertarik menanamkan uangnya di Gayo.
Tanpa kesediaan energi, investor mana yang mau berinvestasi di Gayo. Bayangkan kalau di Aceh Tengah seperti dulu, hanya mengandalkan sumber energi dari mesin diesel. Untuk melayani kebutuhan energi sehari-hari warga saja sudah kewalahan. Bagaimana hotel seperti Park Side yang baru berdiri bisa mendapat pasokan energi yang stabil, kemudian rumah-rumah penginapan yang tumbuh bak jamur di musim hujan juga dapat pasokan energi yang stabil.
Apalagi kalau kita ingin mendatangkan investor untuk membuat pabrik pengolahan tomat misalnya, di Aceh Tengah atau Bener Meriah. Tanpa pasokan energi yang stabil, siapa yang tertarik?
Karena itulah, keberadaan PLTA dengan pasokan energi melimpah, akan mendorong daya tarik untuk berinvestasi di tiga kabupaten Gayo, yaitu Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues akan melambung tinggi.
Sebagai bukti, kita lihat saja bagaimana investor mulai banyak berdatangan ke Gayo sejak 2019, ketika interkoneksi kabel Sutet dengan Bireun sudah wujud. Sehingga, pasokan listrik untuk Gayo jadi melimpah karena tak lagi mengandalkan mesin diesel.
Kemudian soal peran masyarakat dan pemerintah daerah.
Kalau untuk tambang emas, karena berdasarkan undang-undang, semua perizinan ada di pusat, pemerintah daerah nyaris tak punya wewenang sama sekali. Untuk proyek PLTA justru pemerintah daerah punya peran sangat besar sekali.
Bahkan untuk penentuan jumlah royalti untuk daerah, yang menjadi penentu adalah daerah melalui Perda.
Bayangkan, daerah sendiri yang membuat aturan, berapa banyak uang yang kita terima untuk tiap KWh yang diproduksi oleh PLTA. Kurang menarik apalagi?
Beberapa contoh di atas adalah alasan-alasan mengapa, meskipun kita punya pro dan kontra soal tambang emas, tapi proyek PLTA harus kita dukung sepenuhnya. []