Oleh : Win Wan Nur*
Untuk menyambut bulan suci Ramadhan, yang mulia, kali ini saya kembali menulis tentang sains dan Al Qur’an.
Di sini saya ingin menunjukkan bagaimana kebenaran Al Qur’an yang mulia, yang kita yakini tanpa sedikitpun keraguan, jauh lebih superior dibandingkan sains, ilmu yang didasarkan pada keragu-raguan.
Berbeda dengan ilmu sains yang didasari keraguan yang hikmah serta manfaatnya hanya bisa diambil ketika ada bukti yang bisa dipersepsi panca indera atau paling tidak bisa dinalar berdasarkan kategori akal. Kisah dalam Al Qur’an yang kebenarannya tak boleh sedikitpun diragukan, jauh lebih di depan.
Tidak peduli, apakah kisah itu bisa dibuktikan dengan kriteria sains yang berkarakter logis positivistik yang “mempertuhankan” persepsi panca indera ataupun tidak. Hikmah dari kisah-kisah yang diceritakan dalam Al Qur’an tetap bisa kita ambil.
Contoh, dalam Al Qur’an kita diceritakan tentang tokoh-tokoh yang begitu berkuasa dengan nama Namrudz, Fir’aun dan Abu Jahal.
Al Qur’an menceritakan, kalau mereka semua adalah orang-orang kuat dengan dukungan yang luar biasa dari masyarakatnya.
Ada satu kesamaan lain di antara mereka semua. Mereka semua membangun dan membesarkan pengaruh dan kekuatan mereka di masyarakat kaumnya dengan pendekatan klenik, mitos, tahayul dan praktek sihir alias perdukunan.
Meski apa yang mereka praktekkan itu jelas-jelas sesat, tapi kaumnya tak banyak yang mempermasalahkan. Karena apa?
Setidaknya, ada tiga faktor penyebab.
Pertama, mereka percaya saja dengan narasi yang mereka kembangkan karena malas berpikir dan merasa dirinya tak dirugikan (meski sebenarnya menderita juga) dengan adanya narasi itu dan merasa memang para orang kuat itu pantas mendapatkan kedudukan seperti itu. Yang ini biasanya dari kalangan rakyat biasa.
Kedua, karena dapat “jatah proyek” dari mereka. Dalam kelompok ini termasuk para dukun alias penyihir, penjual barang antik palsu, para pembuat patung dan arsitek pembuat bangunan semacam piramid dan jalan-jalan.
Ketiga, karena takut. Mereka ini tahu narasi yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh penguasa yang namaya disebut sebagai contoh buruk dalam Al Qur’an ini sesat dan salah, tapi tak mampu mencegah karena lawan begitu kuat.
Pendeknya, kuatnya Namrudz, Fir’aun dan Abu Jahal, bukan hanya karena mereka punya kekuasaan. Tapi juga karena mereka juga menguasai dan mampu menyetir opini publik.
Akibatnya ketika ada orang yang berpikiran jernih, menyaksikan kesesatan yang diproduksi oleh para orang kuat ini demi mempertahankan kekuasaannya. Tak perlu orang kuat ini sendiri yang langsung turun tangan. Tapi publik yang langsung menghakimi dengan berbagai narasi yang memojokkan.
Tapi kalau menurut Al Qur’an yang sedikitpun tak boleh kita ragukan kebenarannya. Meski penuh tekanan dari berbagai sisi, selalu saja ada orang yang berpikiran jernih yang awalnya bukan siapa-siapa tampil ke depan melawan para orang kuat yang mendapatkan posisinya ini dengan cara membangun narasi sesat yang tidak disukai Tuhan.
Narasi untuk memojokkan orang yang berani melawan ini sendiri ada macam-macam, mulai dari yang paling brutal, mencap orang yang berani menunjukkan kesesatan para orang kuat ini sebagai orang tak tahu diri dan kurang ajar.
Contoh yang mengalami ini, Nabi Ibrahim. Kaumnya menyebut beliau yang saat itu masih sangat muda dan katanya tak punya kontribusi apa untuk negeri mereka Shinar (Mesopotamia) lancang melawan Namrudz yang sudah berbuat banyak untuk mereka. Nabi Ibrahim AS disebut tidak sopan karena berani berkata tanpa unggah-ungguh pada yang lebih tua dan berkuasa, merusak stabilitas, mengganggu kepercayaan yang sudah diyakini dengan mantap dan lain sebagainya.
Sehingga ketika Nabi Ibrahim dihukum bakar, banyak masyarakat Shinar (Mesopotamia) yang bilang “sukurin, nyolot sih” yang kalau ada yang nyeletuk dalam bahasa Gayo mungkin narasinya seperti ” A nge ke, itotoh Wen, a kati enti si rerume buet. Jema nge mera pe netos, ningko dabuh ikarui.”
Kisah Nabi Musa kurang lebih sama, tak kurang hujatan yang diterima Nabi Musa AS ketika beliau berani melawan Fir’aun dengan segala dukun alias penyihir yang dia kumpulkan di sekelilingnya.
Apalagi posisi Nabi Musa sebenarnya lebih tidak enak lagi kalau dibandingkan Nabi Ibrahim. Nabi Musa adalah anak angkat yang sejak kecil dibesarkan dalam istana Fir’aun.
Dalam posisi seperti ini, tudingan yang diterima Nabi Musa AS lebih berat lagi, selain menerima berbagai narasi memojokkan sebagaimana yang didapat Nabi Ibrahim SAW, beliau dapat tambahan cap “anak yang tak tahu terima kasih.”
Dan terakhir, yang paling menarik adalah kisah Abu Jahal yang memusuhi
Nabi Muhammad SAW, karena manusia mulia ini datang menyampaikan kebenaran.
Baik Nabi Muhammad SAW maupun Abu Jahal, mereka berdua sama-sama berasal dari suku Quraisy, sebuah suku kecil di jazirah Arab.
Perbedaan mereka hanya pada kabilah, kalau dalam istilah Gayo kira-kira setara dengan Belah atau mungkin urang.
Abu Jahal berasal dari kabilah Bani Makhzum sedangkan Nabi Muhammad dari Bani Hasyim.
Di masa lalu kedua kabilah ini memiliki hubungan sangat baik. Kakek Nabi Muhammad dan Bapak Abu Jahal berhubungan baik layaknya sahabat bahkan paman Nabi Muhammad juga teman baik Abu Jahal.
Bukan hanya itu, Abu Jahal bahkan mengakui kalau apa yang disampaikan Nabi Muhammad itu benar, tapi dia memusuhi Nabi Muhammad murni karena ko’eh.
Abu Jahal ini di kalangan kaum Quraisy bisa dibilang semacam tokoh pemimpin adat Quraisy yang memiliki geng atau kelompok pendukung yang sangat kuat. Memiliki hubungan yang sangat dekat dengan alat-alat negara.
Sekilas dilihat secara logika positivistik ala sains, Nabi Muhammad SAW benar-benar bukan siapa-siapa di hadapan Abu Jahal.
Karena itulah ketika Nabi Muhammad SAW yang dianggapnya dan juga oleh kelompok pendukungnya, bukan siapa-siapa ini dengan berani mengusik narasi klenik, mitos dan tahayul yang telah berhasil mendudukkan Abu Jahal di posisinya yang tinggi saat itu.
Si tokoh pemimpin adat ini marah besar dan langsung menekan Nabi Muhammad dari berbagai sisi.
Mulai dari menggunakan alat negara, menggerakkan kelompok pendukung dan simpatisannya untuk membuat segala narasi untuk memojokkan Rasulullah SAW sampai mengancam secara fisik, Nabi Muhammad SAW dan para pembelanya.
Para ulama mengatakan, inilah dasar alias asbabun nuzul kenapa Allah SWT menurunkan Alquran Surah Al-Alaq ayat ke 17.
***
Dari semua kisah ini kita melihat bagaimana terganggunya para orang kuat ini dengan kemunculan orang baru yang entah dari mana-mana, menawarkan kebenaran yang menggoyang kuat pondasi kekuasaan mereka yang berlandaskan pada klenik, mitos, tahayul yang dipertahankan dengan praktek perdukunan alias sihir.
Berbagai cara mereka gunakan untuk menghambat masyarakat luas menerima kebenaran yang dibawa oleh si orang baru, yang di mata masyarakat luas, bukan siapa-siapa dan entah muncul darimana.
Mulai dari menggunakan kekuasaannya menggerakkan alat-alat negara sampai memproduksi berbagai narasi memojokkan, mulai dari tidak menghormati orang yang lebih tua, membuat narasi kalau orang yang melawannya belum berkontribusi apa-apa untuk masyarakatnya sampai mengembangkan narasi bahwa orang yang melawan hegemoninya ini sebagai pengkhianat yang menjual aib dari suku mereka yang kecil.
Tapi kita semua tahu, bagaimana akhir dari semua kisah ini. Kebenaran itu seperti gelontoran air jernih dari hulu. Ketika kejernihan datang dalam skala besar, segala keruh dan kotoran tersapu bersih.
Nah di sinilah bedanya kisah dalam Al Qur’an yang suci dengan buku sains yang berdasarkan keragu-raguan, yang hanya valid ketika dipraktekkan dalam konteks yang persis sama.
Kebenaran Al Qur’an tidak seperti itu, hikmah dari kebenaran yang disampaikan Al Qur’an Al Qur’an tetap bisa ditemukan di mana-mana meski dalam konteks yang berbeda.
Kisah orang kuat seperti Namrudz, Fir’aun dan Abu Jahal dengan segala kesombongannya dan adanya orang yang bukan siapa-siapa yang berani melawan mereka, tetap bisa kita temukan di segala jaman. Meski dalam skala yang berbeda.
Orang kuat di masa-masa berikutnya mungkin tak seberkuasa Namrudz, Fir’aun dan Abu Jahal. Orang baru yang bukan siapa-siapa yang menantangnya juga sangat jauh lebih kecil kalau dibandingkan dengan Ibrahim, Musa apalagi Muhammad SAW yang ketiganya adalah bagian dari manusia-manusia paling mulia yang pernah lahir sepanjang sejarah peradaban manusia.
Tapi, seperti dicontohkan dalam Al Qur’an, nasib akhir dari tokoh-tokoh orang kuat yang berkuasa dengan landasan klenik, mitos, tahayul dan praktek perdukunan ini selalu sama.
Mati dalam keadaaan Hina!
*Penulis adalah anggota dewan redaksi LintasGAYO.co