Oleh : Win Wan Nur*
Sekitar tahun 2007, di Bali, ketika kami menjadi representatif Minikino, sebuah komunitas film pendek terbesar di Indonesia. Rumah kami di perumahan Kuta Permai, kedatangan tamu, seorang sutradada laki-laki muda bernama Risa yang tinggal di Irlandia.
Risa berbapakkan orang Irlandia dan ibu orang Indonesia asli. Tapi meski lahir dan besar di Irlandia, Risa merasa dirinya 100% Indonesia dan merasa sangat bangga dengan aneka ragam budaya Indonesia dengan segala produk turunannya, yang menurutnya sangat berkelas.
Tapi tiap kali pulang ke Indonesia, dia selalu merasa sedih melihat tampilan sinetron-sinetron Indonesia yang mengumbar kemewahan bergaya barat imitasi, yang hampir sama sekali tidak menunjukkan produk budaya lokal Indonesia yang menurutnya sebenarnya sangat berkelas.
Kenapa produk budaya Indonesia yang aslinya sangat berkualitas tapi tak banyak diminati?
Menurut Risa, itu karena orang-orang yang dipandang keren oleh masyarakat, tidak mempopulerkannya.
“Satu-satunya cara untuk membuat produk budaya Indonesia ini diminati orang, kita harus menampilkannya dengan keren, bahkan kalau perlu dibuat glamor,” katanya waktu itu pada saya dan istri.
Apa yang dikatakan Risa ini sesuai dengan apa yang saya pelajari saat menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi, terkait apa yang disebut dengan “pola prestise.”
Pekerjaan, jabatan, gaya berpakaian dan apapun yang diminati manusia di sebuah komunitas terkait pola prestise ini.
Kenapa orang bangga pakai Levi’s, Adidas, merokok Marlboro, Sampoerna, naik Mercy, BMW dan seterusnya? Ini terkait pola prestise ini.
Produk budaya tak ada bedanya, orang akan menggunakan suatu produk kalau ada prestise memakainya.
Sekarang, mulai banyak produk-produk budaya Indonesia yang dengan bangga dikenakan pada artis papan atas. Ini membuat prestise produk budaya ini melejit.
Kerawang Gayo adalah salah satu yang menikmati prestise yang melejit ini.
Beberapa orang hanya menjadi penonton dengan meningkatnya prestise kerawang Gayo ini, beberapa memilih mengambil sikap nyinyir. Tapi ada beberapa orang Gayo yang bervisi ke depan menggunakan kreativitasnya untuk membawa kerawang Gayo ke level lebih tinggi menjadi ciri identitas Gayo yang bisa ditampilkan dengan penuh kebanggaan.
Salah seorang yang menggunakan kreativitasnya untuk membawa Kerawang Gayo ke level lebih tinggi ini adalah Idrus, Reje Paya Tumpi yang juga akrab dipanggil dengan nama Ados.
Mengacu pada kebiasaan berpakaian laki-laki Gayo yang menggunakan penutup kepala yag disebut Jembolang, yang dulunya dipakai oleh semua kalangan, mulai dari orang biasa sampai yang disebut reje.
Dulu, pasca kemerdekaan ketika orang mulai tergila-gila pada gaya berpakaian ala barat yang dikesankan sebagai gaya modern, memakai jembolang seperti halnya pakaian tradisional lain di Indonesia, seperti blangkon di Jawa atau Udeung di Bali dipandang kampungan.
Tapi kedatangan era post modern yang diikuti dengan kembalinya era lokalitas, gaya berpakaian yang dulu dianggap kampungan, mulai menemukan harga dirinya kembali.
Reje Paya Tumpi ini sepertinya menangkap fenomena ini, dia mempopulerkan kembali Jembolang, sebagai identitas berpakaian laki-laki Gayo.
Tapi kali ini jembolang yang dia tampilkan, bukan lagi jembolang klasik yang hanya berupa kain sarung yang dililitkan ke kepala.
Kali ini Idrus memadukannya dengan bordir kerawang yang berkualitas tinggi, sehingga jembolang yang dulu dipandang kampungan, tampil sangat berkelas. Sehingga, para trend maker dan anak-anak muda berpengaruh di Takengen pun dengan bangga mengenakan jembolang versi 4.0 ini di kepala.
Semoga trend positif yang dibangun reje Paya Tumpi ini terus bertahan dan akhirnya, jembolang bisa kembali menjadi trend berpakaian laki-laki Gayo yang dipakai sebagai penanda identitas Gayo dengan penuh kebanggaan.
Kalau suatu hari nanti fenomena ini terjadi, Idrus alias Ados, sang Reje Paya Tumpi ini, patut mendapat tempat terhormat dalam catatan sejarah budaya kontemporer Gayo sebagai bapak Renaissance Jembolang. []