Oleh : Win Wan Nur*
Di Gayo, kita banyak sekali mendengar cerita-cerita yang secara serampangan disebut sejarah. Sebelum tahun 2000, kalau kita bicara sejarah masa lalu Gayo sebelum kedatangan Belanda. Maka kita akan bicara soal sejarah Linge. Asal-usul Gayo selalu dikaitkan dengan Linge.
Berbicara sejarah Gayo, selalu berputar-putar di sekitar Linge yang dipercaya sebagai pusat sebuah peradaban.
Karena di masa lalu belum ada negara modern seperti sekarang, maka dengan mengacu pada situasi di sekitar, orang secara logis membayangkan, kalau ada sebuah masyarakat yang besar tentu saja masyarakat itu dipimpin oleh seorang raja.
Berdasarkan cara pandang seperti itu, orangpun berasumsi, kalau masyarakat lain punya raja, Gayo juga pasti punya raja. Nah disini, sosok raja besar Gayo ini dipercaya sebagai Reje Linge.
Belakangan, di abad ke-21, muncul satu lagi sumber sejarah Gayo yang terkait dengan masa lalu Gayo sebelum kedatangan Belanda. Ceruk atau situs Loyang Mendale.
Sekilas, ini dulu saya sampaikan sebagai latar belakang.
Selanjutnya, mari kita bahas, apa gunanya sejarah dipelajari? Mengapa sejarah seolah sebegitu pentingnya. Sehingga ketika kita bicara sejarah, tidak boleh asal-asalan dan main klaim sembarangan?
Jawabannya adalah selain berfungsi seperti “kaca spion” di mobil untuk melihat ke belakang, untuk mempelajari fenomena di masa lalu yang mungkin akan terulang di masa depan.
Sejarah juga terkadang terkait dengan hak, terkait klaim atas kepemilikan serta terkadang kekuasaan.
Sebagai contoh ketika kita mengklaim sebidang tanah, hukum negara mengakui tanah itu milik kita kalau kitalah orang pertama yang mengklaim dan mengelolanya.
Prinsip seperti ini berlaku universal di seluruh peradaban manusia, berlaku untuk pihak-pihak yang dipandang setara.
Contoh, saat ini karena kita hidup di negara republik, setidaknya di dalam konstitusi, semua kita ada di posisi setara. Jadi klaim atas hak dan kepemilikan terkait sejarah ini menjadi begitu penting.
Di masa lalu berbeda, dulu tidak semua orang setara, ada tuan ada budak, ada raja da nada hamba sahaya. Dulu ketika seorang raja mengklaim satu wilayah sebagai miliknya berdasarkan bukti sejarah. Yang dia permasalahkan hanya klaim raja lainnya. Masyarakat biasa yang sudah hidup di sana, bahkan mungkin lebih lama sama sekali tidak mereka pertimbangkan.
Ketika orang Eropa mulai menjelajahi bumi dan menjajah di mana-mana, prinsip merekapun sama saja, siapa yang pertama menemukan wilayah itu, dialah yang mengklaim wilayah itu sebagai miliknya.
Seperti para raja yang mengabaikan kepemilikan jelata dalam klaimnya, bangsa Eropa dulupun tak berbeda, siapa yang “pertama menemukan” ini mereka batasi hanya sesama bangsa Eropa saja. Penduduk asli yang sudah bergenerasi-generasi hidup di sana, baik jelata maupun rajanya, nyaris tidak mereka anggap sama sekali.
Tapi sekarang situasinya berbeda, bahkan PBB pun sudah mengakui hak adat masyarakat asli atas tanah dan wilayah tinggal, karena inilah, untuk saat ini klaim sejarah yang benar dengan landasan yang bisa diterima oleh semua orang menjadi sangat penting.
Di Aceh sendiri, kita sempat mengalami bagaimana pentingnya klaim sejarah ini.
Contohnya, sehabis konflik dulu. Ada usaha-usaha klaim dari sekalangan pihak di pesisir untuk mengurangi jatah Gayo dalam berbagi kue dana otonomi khusus pasca konflik.
Narasi yang mereka kembangkan untuk mencapai maksud itu adalah dengan cara klaim sejarah, siapa yang lebih dulu tinggal di daerah ini. Mereka mengembangkan narasi, bahwa Gayo adalah pendatang.
Untuk menangkal narasi ini, tentu harus ada narasi tandingan yang menyatakan sebaliknya, dengan menunjukkan bukti-bukti yang bisa diterima semua orang.
Nah, berbicara soal bukti-bukti sejarah ini. Mungkin ada yang bertanya, kenapa bukti klenik, mitos dan tahayul tidak bisa digunakan untuk menjadi bukti sejarah yang diakui semua orang?
Jawabannya, itu karena seperti yang saya ulas di tulisan sebelumnya. Klaim kebenaran dari sesuatu yang gaib, entah itu klenik, mitos dan tahayul itu sifatnya pribadi.
Klaim kebenaran seperti ini tak bisa diterima oleh semua orang, karena parameter penentu kebenarannya tidak bisa dipakai semua orang dengan hasil yang sama. Benar salahnya kebenaran dengan pendekatan klenik sangat tergantung subjek pengamatnya. Pengamat yang berbeda akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda.
Lalu, apa itu parameter?
Parameter adalah alat pengukur yang bisa dijadikan juri sebagai penentu akhir sebuah klaim kebenaran.
Contoh alat yang disebut parameter ini adalah thermometer untuk pengukur panas.
Kemudian, bagaimana caranya thermometer juri sebagai penentu akhir sebuah klaim kebenaran?
Itu bisa kita bayangkan dengan analogi berikut ini.
Bayangkan ada dua orang yang berdebat tujuh hari tujuh malam soal suhu air mendidih. Yang satu mendatangkan professor ahli panas dari Unsyiah yang satu bisa saja menyitir pendapat ahli dari ITB, keduanya akan tetap takkan bisa sampai pada satu kesimpulan.
Kedua pihak mengagung-agungkan kehebatan masing-masing sumbernya sebagai sumber yang paling bisa diandalkan. Sehingga, sampai kiamat takkan pernah sampai pada satu kesimpulan yang bisa diterima oleh keduanya.
Tapi, kalau keduanya sehat secara kejiwaan dan sama-sama punya kapasitas intelektual yang memadai, kedua orang yang berbeda pendapat ini akan sepakat ketika sebuah thermometer dicelupkan ke dalam air itu dan menunjukkan angka yang menandakan suhu air itu.
Kenapa mereka berdua sepakat? Karena thermometer sebagai juri dianggap adil, tidak berpihak ke salah satu dari mereka.
Indikasinya, tidak peduli siapapun yang mengujinya. Entah yang pro atau yang kontra, atau pihak netral yang secara random dipungut entah darimana, hasilnya angka yang tertera di thermometer tetap sama. Jadi tak akan ada yang merasa dicurangi.
Contoh lain, dua orang berdebat soal ayat Al Qur’an yang berbunyi “Iyyaka nakbudu wa iyyaka nasta’in” itu ayat ke berapa dalam surat Al Fatihah?
Yang satu bisa bilang kalau itu ayat ke sepuluh, saya bisa bilang ayat ke dua. Ini bisa jadi debat tak berujung sampai kiamat kalau keduanya tidak menyepakati satu rujukan yang sama untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah dari dua klaim berbeda ini.
Tapi kalau keduanya sama-sama sepakat menjadikan kitab Juz Amma Al Qur’an sebagai rujukan, keduanya tinggal melihat dalam Surat Al Fatihah itu.
Langsung kelihatan hasilnya. Apakah pendapatnya yang benar, atau pendapat lawannya yang benar, atau kedua pendapat mereka salah.
Jelas, kalau pendapatnya yang benar, lawannya ikut pendapatnya. Kalau pendapat lawannya yang benar, dia ikut pendapat lawannya. Kalau pendapat mereka berdua salah, ya keduanya sama-sama mendapat ilmu baru dan mendapat pelajaran.
Tapi bayangkan kalau di antara kedua orang yang berdebat ini cuma satu yang ngotot menjadikan surat Al Fatihah sebagai rujukan tapi yang satu lagi karena hafal surat Al Baqarah ngotot memaksakan pembuktian melalui surat Al Baqarah. Sampai kiamat takkan bisa ketemu pendapat siapa yang benar dan pendapat siapa yang salah.
Kedua contoh pembuktian di atas, adalah contoh pembuktian secara ilmiah alias saintifik.
Lalu mari bandingkan, dua contoh pembuktian secara saintifik di atas dengan pembuktian secara klenik.
Misalnya, katakanlah membuktikan keaslian sebuah penutup kepala jelek yang diklaim seseorang sebagai benda bersejarah peninggalan seorang raja di masa lalu.
Bayangkan, situasi klenik seperti ini. Ada seseorang yang meyakini dirinya adalah pewaris raja tersebut, bertemu dengan perempuan kesurupan yang memintanya membawa penutup kepala jelek itu ke sebuah kuburan keramat.
Lalu di depan kuburan itu, si perempuan kesurupan yang menyeroccos mengaku entah dirasuki oleh siapa, memasangkan penutup kepala jelek itu ke kepala orang yang meyakini dirinya adalah pewaris raja dan kemudian perempuan itu tersadar.
Oleh orang yang meyakini dirinya raja, peristiwa klenik itu dia jadikan bukti kepada khalayak, bahwa penutup kepala jelek itu memang asli milik raja di masa lalu dan dirinya adalah pewaris sah sang raja.
Bagi orang ini dan para minionnya, bukti seperti ini mungkin sudah cukup. Tapi bagaimana kalau ada orang lain yang tidak sependapat dengannya, lalu membawa perempuan kesurupan lainnya dan mengatakan hal sebaliknya, bahwa perempuan kesurupan yang pertama dan orang yang membawanya ke kuburan keramat itu adalah penipu ?
Siapa yang bisa menentukan dengan pasti perempuan kesurupan mana yang benar ?
Jelas tidak ada.
Biasanya, sejarah dengan mengandalkan bukti seperti ini, kebenarannya hanya bisa ditentukan dengan pendekatan kekuasaan. Siapa yang lebih berkuasa di antara dua pihak yang memegang klaim itu, klaimnya lah yang menang dan dipakai.
Kekuasaan itu sendiri, ada banyak macamnya. Entah itu kekuasaan berupa uang, yang dengan itu dia bisa membayar uang untuk membungkam siapapun yang tak sepakat dengan klaim sejarah berdasarkan pembuktian kleniknya.
Atau dengan kekuasaan berupa wewenang yang membuatnya bisa menjepit dan menekan orang yang mempertanyakan klaim sejarahnya. Sampai orang itu tak bisa lagi bersuara.
Dan yang paling menyedihkan, kadang ada yang sudah tak berkuasa, tapi berhalusinasi, berpikir kalau dirinya dapat menggerakkan alat negara untuk menekan orang yang mempertanyakan klaim sejarah berdasarkan sumber klenik yang menguntungkan dirinya..
Kalau kekuatan antara kedua pihak yang sama-sama mengklaim sejarah melalui sumber klenik ini berimbang. Maka akan terjadi perang.
Kalau terkait klenik ini kita berbicara tentang kisah-kisah yang ada dalam Al Qur’an.
Fir’aun yang diceritakan punya hobi mengumpulkan para penyihir untuk menopang kekuasaannya adalah contoh yang diberikan Al Qur’an untuk penguasa yang mengklaim kekuasaan dengan cara klenik.
Selain Fir’aun, contoh lain yang diberikan Al Qur’an untuk penguasa model begini adalah Namrudz, Abu Lahab dan adiknya Abu Jahal.
Karena sangat berpotensi menimbulkan fitnah dan ketidakadilan. Beberapa ulama, mengharamkan umat Islam untuk mempercayai klenik dan segala hal gaib selain yang tertulis dalam Al Qur’an.
Saya sendiri adalah salah seorang penganut Islam yang mengikuti pendapat itu. Saya hanya percaya penuh pada hal gaib, atau mistis yang memang diwajibkan untuk dipercayai sebagaimana tertulis dalam Al Qur’an.
Dengan prinsip seperti ini, meski saya sendiri beberapa kali mengalami fenomena mistis yang tampak seperti fenomena supranatural. Tapi, saya tak pernah sepenuhnya mempercayai. Setiap bertemu dengan fenomena seperti itu, saya selalu menyisakan ruang sedikit atau banyak untuk keragu-raguan.
Kembali ke cerita sejarah yang kita bahas di awal tulisan ini., dari dua sumber sejarah besar peradaban Gayo sebagaimana saya tulis di atas.
Sumber sejarah berdasarkan cerita Reje Linge, jauh lebih dulu digali dan dieksplorasi.
Tapi, sejak Indonesia merdeka sampai hari ini, entah sudah berapa banyak seminar dan penelitian yang menghabiskan banyak waktu dan biaya. Sama sekali tak ada kemajuan apapun terkait sejarah Reje Linge ini.
Sampai hari ini, siapa Reje Linge, kapan peradaban ini mulai berdiri dan berbagai pertanyaan besar lain, sama sekali belum mendapatkan jawaban pasti yang memuaskan semua pihak.
Sementara itu, sejarah Gayo berdasarkan situs Loyang Mendale, baru seumur jagung digali. Tapi, sejarah yang umurnya jauh lebih tua dibanding sejarah Linge dan Gayo modern ini sudah berhasil mengungkap berbagai bukti valid yang belum terbantahkan.
Sebut saja misalnya klaim bahwa Gayo adalah pendatang di Aceh kalau dibandingkan suku mayoritas di provinsi ini. Situs Loyang Mendale membuktikan sebaliknya. Berbagai fakta yang terungkap dari situs itu menunjukkan bahwa setidaknya kalau dibandingkan suku-suku lain yang tinggal di provinsi Aceh pada hari ini.
Fakta-fakta sejarah yang ditemukan di situs Loyang Mendale juga mematahkan anggapan khalayak selama ini bahwa Gayo berasal dari Batak.
Bagaimana bisa, situs Loyang Mendale yang baru diteliti seumur jagung, sudah begitu banyak memberikan kesimpulan yang diterima luas. Sedangkan sejarah yang bersumber dari kisah Reje Linge yang sudah diteliti sekian lama, tak memberi kemajuan apapun ?
Jawabannya jelas karena yang satu diteliti dengan metode saintifik sedangkan yang lain cara mengeksplorasinya, kental dengan nuansa klenik. []