Oleh : Win Wan Nur*
5 Oktober 2025, Dalam ruangan Grand Auditoire César Roux yang terletak di Rue du Bugnon 46, di kota Lausanne, Swiss, kurang dari 2 kilometer dari salah satu tepi.danau Leman, danau yang berada dalam teritori dua negara, Prancis dan Swiss, yang secara salah kaprah lebih dikenal dengan nama Lake Jeneva, mengacu pada nama salah satu kota paling terkenal di salah satu tepinya.
Seratusan pemuda, laki-laki perempuan dengan aneka warna rambut, warna mata, warna kulit serta tinggi badan yang bervariasi, berkumpul dalam satu ruangan yang sama.
Para pemuda yang hadir dalam ruangan ini adalah para peserta acara tahunan pertemuan pemuda sedunia yang diberi nama World Youth Day, mewakili lebih dari seratusan negara yang ada di planet bumi, yang diakui keberadaannya oleh PBB.
Saat ini, tatapan seratusan pasang mata dalam ruangan besar itu, terfokus pada seorang gadis berambut hitam panjang sepunggung, mengenakan pakaian tradisional berwarna semarak, khas suku Quechua.
Gadis ini bernama Fabiana Diaz, berbicara di podium, menceritakan bagaimana dampak penjajahan ekspansi Spanyol di benua Amerika, membuat bangsanya kehilangan jati diri, mulai dari terputusnya pemahaman budaya, sistem kepercayaan bahkan nama yang mereka gunakan sekarang pun sudah bukan lagi nama khas suku bangsanya. Nama yang mereka pakai sekarang, seperti namanya sendiri, Fabiana Diaz, adalah nama khas bangsa penakluk mereka.
Di podium, dengan suara yang jernih, tegas dan meyakinkan. Fabiana Diaz, si gadis Peru berusia awal 20-an ini, mengatakan bahwa dunia saat ini menghadapi menghadapi tantangan dan hambatan yang berbeda untuk mencapai kemakmuran yang menjadi cita-cita bersama para pemuda sedunia. Kemampuan dalam pencapaian cita-cita itu, menurutnya sangat bergantung pada di bagian mana di planet ini mereka tinggal.
“Kaum muda yang tinggal di negara maju dan berkembang lebih rentan menghadapi tantangan mental dan sosial, sedangkan kaum muda yang tinggal di negara terbelakang menghadapi masalah ekstrem berakar pada kurangnya kebutuhan yang lebih mendasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.” Urainya.
Karena situasinya seperti itu, menurut Fabiana, isu dan tantangan ini tidak cukup dibahas secara luas di tingkat lokal, kelembagaan, dan pemerintahan. Isu ini harus dibahas bersama-sama di tingkat global.
Pada akhir pidatonya, Fabiana mengajak semua anak muda yang hadir di ruangan ini, mewakili negara masing-masing untuk bersama-sama memikirkan persoalan dunia yang menurutnya, meski sekarang terpecah-pecah menjadi banyak negara, tapi pada hakikatnya mereka tetap saling terkait.
Kemiskinan di satu negara di Amerika Latin seperti di negaranya, akan mempengaruhi kenyamanan negara-negara makmur di Eropa Barat dan Amerika Utara yang terpisah jarak ribuan kilometer dari negaranya. Karena kemiskinan ini, memicu munculnya kejahatan seperti penyelundupan narkoba, gangster bahkan mungkin pengungsi yang akan mengganggu kenyamanan para penduduk negara maju.
Tepuk tangan membahana dalam ruangan ini saat Fabiana si gadis Quechua asal Peru ini mengakhiri pidatonya.
Pidatonya ini seakan menguatkan apa yang disampaikan oleh Moussa Ouedraogo, pembicara sebelumnya yang berasal dari Ouagadougou, ibukota Burkina Faso di Afrika, yang sebelumnya menguraikan bagaimana sejarah penjajahan Prancis membuat mereka sulit keluar dari ketertinggalan, sehingga saat ini negaranya seperti salah urus. Sering mengalami kekeringan, masyarakat dengan tingkat buta huruf yang tinggi.
Yang semuanya tak terlepas dari sejarah kolonial di negaranya yang membuat mereka sampai saat ini sulit berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Saat Fabiana kembali ke kursinya, para peserta World Youth Day yang duduk didekatnya, menyalaminya sambil menyunggingkan senyuman, mengajaknya berbincang dengan hangat.
Ketika suara tepuk tangan mereda, terdengar suara host melalui mikrofon memanggil nama pembicara berikutnya. Abadi Tuahmiko, dari Indonesia.
Seorang pemuda tampan berwajah khas asia berkulit coklat, mengenakan baju hitam berhiaskan bordiran kerawang Gayo, dengan penuh percaya diri berjalan kea rah podium di bawah tatapan mata kagum pada gadis peserta acara ini yang datang dari seluruh dunia.
Berdiri di podium, Abadi Tuahmiko berdehem sebentar lalu mengucapkan Assalammu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh dengan suara bariton penuh wibawa. Para gadis yang mendengarnya semakin penasaran dan memfokuskan perhatian pada pemilik wajah tampan yang berdiri di podium.
Selesai mengucapkan salam, seperti para pemuda dari negara lain yang tampil sebelumnya. Abadi Tuahmiko mulai menceritakan sejarah bangsanya.
« Kami adalah suku Gayo, yang tinggal di wilayah tengah bagian utara pulau Sumatera, di wilayah Asia Tenggara, » ujarnya membuka pidato dengan suara baritonnya yang membuatnya tampak sangat berwibawa, membuat para gadis semakin penasaran dan memusatkan perhatiannya.
« Kampung asal kami di Gayo bernama Linge, kakek moyang kami berasal dari negeri Rum, datang dengan layangan. Nenek moyang kami yang menjadi istrinya, dikirimkan oleh orangtua kakek moyang kami dalam ikan dengan sisik bergambar berbagai binatang di dunia. Itulah asal kami, » lanjutnya.
Mendengar ini, kening dari para pemuda wakil dari berbagai negara ini berkerut, « apa orang Indonesia ini mau membuka pidato dengan kiasan ? » pikir mereka.
« Kami ini orang Gayo adalah suku terhebat di dunia, berbagai bangsa di dunia berasal dari suku kami, contohnya orang Philipina. Mereka sebenarnya adalah orang keturunan suku kami yang menyeberang ke sana. Nama Philipina itu sendiri berasal dari bahasa kami, ‘Pelipenen’ yang artinya penyeberangan, » urai pemuda wakil Indonesia ini dengan suara baritonnya yang penuh wibawa dengan sangat meyakinkan.
Bernila de la Cruz, gadis cantik yang hadir mewakili negara Philipina yang kebetulan sedang mereguk minuman, tersedak dan air muncrat dari mulutnya membasahi baju peserta berambut pirang asal Finlandia yang duduk di depannya.
“Maaf…maaf, saya tidak sengaja,” ujar Bernila yang merasa sangat bersalah sambil berusaha mengeringkan baju si pemuda Finlandia ini dengan tisu di tangannya.
“Tidak apa-apa,” ujar si pemuda Finlandia, mengibaskan tangannya sambil tersenyum.
Di atas podium, Abadi Tuahmiko, yang mewakili Indonesia, merasa sangat bangga pada dirinya sendiri karena apa yang dia sampaikan, persis kata per kata dia tiru dari ucapan tokoh besar sukunya, semacam kepala suku yang keabsahan statusnya tertuang dalam dokumen yang ditandatangani oleh pejabat Kemenkumham, ketika sang tokoh berbicara di video yang ditayangkan sebuah stasiun radio, milik negara.
Setelah mengingat-ingat sebentar, pemuda tampan yang saat berjalan ke podium tadi diiringi tatapan mata penuh kekaguman dari para gadis dalam ruangan ini melanjutkan.
Sambil mengingat mimik wajah sang tokoh Gayo idolanya, ketika berbicara di stasiun radio milik negara itu, Abadi Tuahmiko melanjutkan.
« Bukan hanya itu, bahkan pedang nabi Daud yang terkenal, juga ada di tempat kami, tepatnya di danau Laut Tawar yang terletak di ketinggian 1.250 Mdpl di jantung daerah kami. Tengah. Pedang itu pernah coba diambil oleh bangsa Israel yang mengirimkan 7 orang Ibrani yang dibawa oleh salah seorang putra Raja Solo ke Takengon, kota terbesar kami. Tapi usaha ketujuh orang Ibrani itu gagal karena mereka semua dikalahkan oleh penjaga pedang nabi Daud yang merupakan suku asli Gayo, seperti kami. » kisahnya dengan penuh percaya diri sambil membusungkan dada.
Tawa keras meledak dari mulut seisi ruangan. Acara yang tadinya begitu serius sampai sebelum pemuda Indonesia ini naik ke panggung, berubah layaknya acara stand up comedy.
Setiap kalimat yang keluar dari mulut wakil Indonesia ini, disambut oleh gelak tawa oleh sesama koleganya, para pemuda yang berasal dari seratusan negara di dunia.
Ketika Abadi Tuahmiko turun dari podium dan kembali ke kursinya, semua mata memandangnya seperti melihat seorang badut yang tak sadar akan kelucuannya. Gadis-gadis yang tadinya menatapnya dengan tatapan mata penuh kekaguman, kini berbalik memandangnya sambil menutup mulut menahan cekikikan.
Saat Abadi Tuahmiko akhirnya duduk di kursinya. Tak ada lagi peserta lain yang duduk dalam radius 5 meter dari kursinya.
*Dewan Redaksi LintasGAYO.co, penulis adalah novelis pengarang Romansa Gayo dan Bordeaux