Sejarah Gayo, Sumber dan Bukti-Buktinya Serta Perhatian Urang Gayo Terhadap Ketiganya

oleh

Oleh : Arfiansyah*

Tulisan ini didasarkan atas amatan dan bacaan saya selama mengkaji Gayo semenjak tahun 2014 hingga saat ini. Meskipun sejarah bukan bidang kajian saya, namun aspek kesejarahan sangat penting dalam beberapa tulisan saya sebagai bagian untuk memahami Gayo secara keseluruhan.

Aspek kajian kesejarahan telah sangat membantu saya dalam memahami Gayo secara keseluruhan dan berkesinambungan (tidak terpisah-pisah atau parsial). Dengan begitu, membantu saya untuk memahami masyarakat Gayo saat ini, dengan segala keterbatasannya.

Tentu saja, upaya-upaya tersebut memiliki kekurangan, layaknya sebuah kajian dan kegiatan penelitian lainnya yang terbatas. Layaknya masyarakat lain di Aceh dan juga di beberapa daerah lainnya di nusantara, masyarakat Gayo menaruh minat besar terhadap kajian sejarah melebihi lainnya.

Kajian sejarah juga menjadi kajian yang paling sering dilakukan. Forum diskusi daring dan luring tentang sejarah kerap dipenuhi peserta. Tulisan-tulisan Gayo juga didominasi oleh kajian sejarah dan budaya. Selama saya mengikuti kedua hal itu di Gayo atau melalui orang Gayo, minat mereka terhadap sejarah lebih didominasi oleh keinginan mereka mencari identitas mereka sendiri.

“Pertanyaan siapa kita?” menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan dominasi politik dan pembangunan masyarakat pesisir. Semakin jauh seseorang membangun narasi ke belakang, maka akan semakin menarik dan penting pula diskusi tersebut dianggap.

Semakin mampu seseorang menemukan bahwa masyarakat Gayo adalah manusia pertama di Aceh maka semakin krusial dan monumental temuan itu bagi orang Gayo. Temuan-temuan atau klaim-klaim kesejarahan ini, baik valid atau tidak atau sengaja dibuat-dibuat, menjadi bahan yang sangat penting bagi masyarakat Gayo untuk dimunculkan ke publik sebagai upaya “perlawanan” terhadap dominasi pesisir dan yang terpenting, sebagai bagian usaha untuk menjawab “siapa kita?”

Sejarah Awal; sumber dan buktinya

Lalu, sejauh mana ke belakang sejarah Gayo dapat dibuktikan? Sebelum penemuan kerangka manusia di beberapa gua di sekeliling danau Lut tawar di wilayah kecamatan Kebayakan, banyak tokoh Gayo, terutama mereka yang mengaku tokoh adat dan sejarah Gayo, merujuk pada sejarah lisan yang standar.

Sejarah lisan tersebut menceritakan bahwa Adi Genali adalah satu-satunya manusia yang selamat, setidaknya di Aceh, dari banjir yang menenggelamkan bumi pada masa Nabi Nuh. Adi Genali ditemukan oleh Nabi Nuh bersembunyi di dalam sumur.

Namanya sendiri disematkan oleh Nabi Nuh yang merupakan perubahan bentuk dari kata “kenali” yang berarti “cari!”. Adi Genali kemudian waktu menikah dengan seorang putri dari negeri Rum. Putri tersebut dibawa hanyut oleh seekor ikan yang sangat besar yang dia pancing dengan kail lurus (Kawe Tepat). Dia kemudian terdampar di wilayah Linge.

Sejarah lisan ini tentu tidak dapat dijadikan rujukan valid karena ketidak-sesuaian waktu di Gayo dengan waktu yang terjadi di belahan dunia lainnya. Terlebih, informasinya bercampur baur dengan takhayul yang sangat kuat.

Misalnya, dalam catatan orang Gayo sendiri, Adi Genali adalah bukan raja Gayo pertama. Kemudian Putri Rum dibawa ikan dari benua lain dan terdampar ke benua lain. Kemudian negeri Rum atau Persia (kerajaan seljuk, Anatolia) (tidak ada orang Gayo yang tau persis apa yang dimaksud dengan negeri Rum, apakah Seljuk atau Romawi) adalah negeri yang sangat maju pada masanya dan masih relatif sangat muda bila dikaitkan dengan sejarah manusia yang sudah ada ribuan tahun sebelum Masehi.

Bila Rum adalah kesultanan Seljuk, maka dia berdiri 1000 tahun setelah Masehi. Bila Negeri Rum adalah kerajaan Romawi yang terkenal itu, maka berdiri di penghujung tahun sebelum Masehi (sekitar 500 tahun sebelum Masehi) dan berpengaruh hingga awal-awal Masehi dan runtuh 500 tahun sebelum berdirinya negeri Rum yang lain (Seljuk).

Terlepas kemana sejarah lisan orang Gayo merujuk, kedua Rum tersebut berkaitan erat dalam guliran sejarah dunia dan juga sama-sama tidak berkaitan dengan Gayo karena tidak ada bukti-bukti yang mendukung untuk itu.

Namun, sejarah lisan bukanlah untuk membukti apakah sebuah narasi benar/valid atau tidak. Tapi, sejarah lisan penting untuk, salah satunya, memberi petunjuk tentang keberadaan sesuatu dan juga penting untuk memberi gambaran tentang bangunan imajinasi, sistem kepercayaan, kontestasi politik di dalam sebuah masyarakat atau antar masyarakat dan lainnya.

Kepercayaan masyarakat Gayo akan dirinya adalah manusia pertama, berdasarkan sejarah lisan tersebut, kemudian dikuatkan oleh temuan arkeologis di seputaran Danau Lut Tawar.

Saya tidak tahu apakah kegiatan penggalian arkeologis tersebut dimulai dari mengkaji sejarah lisan masyarakat Gayo atau hanya sekedar mengikuti prinsip umum antropologi sejarah bahwa manusia purba hidup di dalam gua yang berdekatan dengan sumber air.

Sejauh ini, bukti arkeologis tersebut lah yang mampu menjadi bukti tak terbantahkan bahwa masyarakat Gayo adalah penduduk asli di Aceh dan di antara yang paling tua di Sumatera.

Hasil dari penanggalan karbon kerangka manusia di Ceruk Mendale, salah satu tempat penggalian, menunjukkan bahwa daerah seputar danau Lot Tawar sudah ditempati manusia semenjak +5300 tahun sebelum Masehi.

Artinya, manusia telah ada di Gayo dan berkembang jauh sekali sebelum Adi Genali menikahi puteri dari negeri Rum (Romawi) apalagi dari negeri Rum (Seljuk) yang merupakan sebuah kesultanan Muslim yang berdiri di atas reruntuhan kerajaan Romawi.

Sejarah Islam Awal di Gayo: sumber dan buktinya

Meski kajian arkeologis telah membantu masyarakat Gayo menemukan usia keberadaannya di Aceh yang lebih tua daripada yang lain, namun untuk mengetahui bagaimana kemudian manusia prasejarah tersebut hidup dan berkembang memerlukan upaya yang lebih keras dan disiplin ilmu serta metode-metode penelitian lainnya.

Temuan-temuan yang sudah ada, seperti perbedaan posisi kerangka manusia ketika ditemukan, gerabah dan ornamennya, kapak batu, dan lainnya hanya menggambarkan sistem kepercayaan, pola hidup dan perkembangan budaya dan seni pada masa tertentu saja.

Perjalanan dari 5300 tahun sebelum masehi hingga pada masa-masa awal kedatangan Islam belum diketahui sama sekali. Ada rentan waktu yang sangat panjang yang masih diselimuti misteri.

Beberapa tahun yang lain, beredar informasi tentang ukiran rapi dan berbentuk sesuatu di atas batu. Ukiran tersebut dipercaya sebagai simbol yang memiliki tujuan ritual agama Hindu. Namun, informasi tersebut tidak disertakan dengan analisa ilmiah.

Masih didasari oleh sebuah asumsi. Meski beberapa lini masa menguatkan informasi mereka dengan mengutip amatan langsung dari peneliti dari luar Aceh. Tapi itu saja tidak cukup karena semua orang bisa memberikan asumsi atau dugaan-dugaan hanya dengan mengaitkan sesuatu yang unik -yang tidak ada pada masa sekarang ini dengan konteks dan waktu tertentu pada masa lalu.

Selama tidak ada laporan penelitian yang valid dan diuji beberapa kali dari satu lab ke lab yang lain, sebagaimana Balai Arkeologi memperlakukan hasil temuannya di Ceruk Mendale dan kemudian mempublikasi hasil penelitiannya baik dalam bentuk laporan akademik maupun laporan ke publik melalui media-media massa nasional.

Keberanian mempublikasi melalui media massa nasional dan ternama dapat menjadi tolak ukur awal untuk melihat apakah sesuatu itu benar telah diteliti atau tidak dan menguji validitasnya. Karena ada tanggung jawab yang dapat merusak atau mengangkat reputasi peneliti dan media tersebut dan juga karena akan adanya respons dari publik yang akan memberikan reaksi terhadap hasil penelitian tersebut, yang bila tidak sepakat atau meragukan bisa langsung memberikan pandangan.

Temuan arkeeologis ini telah melalui semua tahap validatasi dan verifikasi baik kepada masyarakat akademik dan juga masyarakat umum melalui media massa. Karenanya, kita sama-sama berkeyakinan bahwa masyarakat Gayo adalah penduduk pertama di Aceh sampai ditemukan kerangka manusia yang lebih tua di wilayah Aceh lainnya.

Selain itu, nyaris tidak ada lagi sumber sejarah dan buktinya untuk mengisi rentang waktu antara pra sejarah (Ceruk Mendale) hingga kedatangan Belanda.

Seperti sejarah manusia di Aceh, masyarakat Gayo juga gemar mengkaji sejarah keislaman dirinya dan juga mengaitkannya dengan konteks yang lebih luas di Aceh.

Beberapa buku sejarah yang tulis oleh para sarjana sejarah menyebutkan bahwa setelah masyarakat Peureulak, Aceh Timur, masyarakat Gayo adalah masyarakat kedua yang memeluk Islam.

Di Gayo, beberapa buku tersebut menyebutkan, yang pertama sekali memeluk Islam adalah masyarakat Isak. Kemudian menyusul masyarakat Linge. Saya pribadi meragukan informasi tersebut karena (1) tidak ada sumber yang valid yang menyebutkan tentang awal masuk Islam ke Linge apalagi Isak. (2) Sumber sejarah tentang awal mula Islam masuk ke daerah Peureulak hanya bersumber dari 1 lembar manuskrip.

Tidak dijelaskan bagaimana Islam menyebar ke pedalaman Aceh. Demikian juga tentang sejarah Linge sendiri dan keturunan-keturunannya tidak pernah ada disebutkan oleh 1 referensi (manuskrip) dan bukti-bukti identik seperti nisan, bangunan, atau apa pun yang bisa diuji dengan metode ilmiah.

Semua nisan berukir di daerah Linge dan Serule adalah nisan-nisan dengan ukuran yang mirip dengan Kesultanan Aceh Darussalam pada pada abad 15-17. Dengan demikian semua sejarah tentang masuknya Islam ke Gayo masih berdasarkan atas kepercayaan yang dibangun dengan mitologi-mitologi yang disampaikan melalui lisan dari generasi ke generasi. Sehingga menjadi tradisi lisan masyarakat Gayo atau kekeberen.

Tradisi lisan di Gayo, sama seperti tradisi lisan di banyak daerah lainnya, cenderung berubah-ubah. Alur narasi berbeda, terkadang perbedaan terlalu mencolok, namun memiliki pesan dan petunjuk yang hampir sama. Dalam konteks sejarah Islam di Gayo, petunjuk tersebut mengarah pada bahwa orang Gayo lah kemudian menyebar Islam ke Bandar Darussalam, Banda Aceh saat ini.

Akhir-akhir ini, setelah ditemukan tulang belulang nenek moyang Gayo di Ceruk Mendale, keyakinan bahwa Islam dibawa pertama kali di daerah pesisir Aceh Besar oleh putra Sulung, Meurah Johan, dari Adi Genali (Raja Kerajaan Linge) dan Abdullah Kan’an (ulama dan guru Meurah Johan) menjadi menguat dan disepakati oleh banyak masyarakat pesisir.

Kedua figur ini juga kemudian diyakini sebagai pendiri Kerajaan Lamuri Islam yang menjadi cikal bakal Kesultanan Darussalam. Kaitan kedua kerajaan ini menjadikan sebagian orang Gayo meyakini bahwa Iskandar Muda memiliki darah Gayo dalam dirinya.

Anak dari Raja Linge lainnya, Meurah Silu, diyakini oleh sebagian orang Gayo, sebagai pendiri Kesultanan Pasai. Ini semua didasari oleh sejarah lisan yang belum didukung oleh bukti-bukti kesejarahan yang dapat diverifikasi.

Sejauh amatan penulis, kata “Gayo” dalam literatur pertama sekali disebutkan di dalam kitab Hikayat Raja Pasai. Kemudian disebutkan oleh juga di dalam kitab Bustanul Shalitin. Konteks penyebutannya berbeda.

Yang pertama menyebutkan bahwa masyarakat Gayo menjadi Muslim belakangan, sebelum masyarakat Pasai (berbeda dari sejarah lisan tentang peran Meurah Silu di Pasai yang menunjukkan bahwa masyarakat Gayo terlebih dahulu menjadi Muslim daripada masyarakat Pasai). Kitab kedua menyebutkan bahwa masyarakat Gayo telah Muslim ketika sultan Bandar Darussalam berkunjung.

Tentu saja waktu penulisan kedua kitab tersebut membedakan peristiwa yang terjadi di Gayo. di Gayo sendiri, belum ditemukan litelatur atau bukti apa pun yang menyebutkan kata “Gayo” sebagai nama suku.

Tentu saja masyarakat pesisir di Pasai dan Bandar Darussalam mengetahui dari orang Gayo tentang Gayo dan kemudian menuliskan kata “Gayo” di dalam kitabnya. Pada abad ke 18, sebuah kitab juga dituliskan oleh seseorang dari Montasik dalam huruf arab-jawi tentang Masyarakat Gayo, Alas, dan Batak.

Kitab yang disimpan di perpustakaan Leiden ini hampir mirip dengan buku yang ditulis oleh kolonial belanda kemudian hari.

Mulai abad ke 11, dan barang kali lebih lama lagi, litelatur mulai digemari dan berkembang di daerah pesisir. Sebaran manuskrip tua di pesisir adalah bukti-bukti akan tradisi tulis baca yang sangat berkembang pada masa-masa itu. Berbeda dengan perkembangan literatur pada masyarakat Gayo.

Sejauh pengalaman saya meneliti masyarakat Gayo, saya belum menemukan litelatur yang begitu banyak. Saya sendiri pernah diberikan kesempatan membuka tiga buah manuskrip; dua buah tentang mantra yang ditulis dengan huruf jawi dan berbahasa melayu (bukan Gayo) dan satu buah mushaf Alquran besar yang ditulis tangan dan bersampul kulit.

Semua kitab ini dianggap keramat oleh pemiliknya kecuali 1 buah tentang mantra. Pemiliknya pernah mencoba berbagi informasi melalui akun facebook pribadinya yang kemudian mendapatkan kritik dari beberapa orang bahwa kitab tersebut tidak layak untuk dibagikan karena mengandung mantra-mantra yang sakti. Bila disalahgunakan bisa berakibat fatal baik bagi pengguna maupun bagi orang yang dijampi-jampi.

Yang menarik bagi saya dari kitab yang terlanjur dibagikan ke publik itu adalah penggabungan mantra tertentu dengan tulisan arab dengan beraneka ragam bentuk dengan kalimat syahadat. Hampir setiap mantra diawali dengan bismilaah.

Sebagian dengan diawali dengan shalawat dan diakhiri dengan kalimat “siapa saja yang tidak percaya akan mantra ini, maka dia tidak beriman”. Saya menerjemahkan tujuan ini dalam konteks waktu itu ketika banyak orang Gayo gemar sekali mempelajari dan mengunakan ilmu hitam yang dianggap sirik oleh ajaran Islam.

Mantra dalam kitab tersebut, yang disisipi dengan syahadat, barangkali adalah bagian dari media dakwah untuk mengeser haluan mistis dari perbuatan sirik, meminta pada jin, kepada perbuatan meminta kepada Allah. Meski sama-sama masih dalam konteks matra ilmu kanuragan.

Tentu saja itu adalah intepretasi pribadi yang tidak dapat diverifikasi karena rentan masa saya hidup dengan usia kita yang dan juga tidak adanya catatan yang mendukung sebelum kedatangan Belanda. Namun, pandangan tersebut saya dasari atas perkembangan masyarakat Gayo yang pada masa tertentu masih gemar dengan mistis-mistis.

Kegemaran ini pernah dicoba berantas oleh pasukan DI/TII. Bahkan pada masa DI/TII tersebar sebuah kitab mantra atau doa-doa yang bersumber dari Al-Quran dan hadist sebagai ganti dari mistis-mistis tersebut. Pasukan DI/TII ini juga menghukum mati orang-orang yang mempraktikkan ilmu hitam.

Selain ketiga manuskrip tersebut, saya pernah mendengar 2 manuskrip lainnya. Satu disimpan oleh seseorang yang diamanatkan di Linge. Satu buah lainnya disimpan pribadi oleh seseorang di Bener Meriah. Konon, manuskrip pernah tersebar banyak di Gayo.

Pada masa DITII, manuskrip-manuskrip tersebut diangkut-pindahkan ke Gayo Lues untuk menghindari pembakaran oleh pasukan TNI yang berupaya menumpas pasukan DI/TII. menurut beberapa sumber, kitab-kita tersebut disimpan di rumah-rumah pribadi. Sebagiannya telah hilang.

Perlakuan yang cenderung mengkultuskan manuskrip-manuskrip tersebut merupakan penghalang utama terhadap kajian sejarah Gayo. karena terbatasnya akses atau ketidaktersediaan sumber sejarah, masyarakat Gayo kemudian lebih gemar merujuk pada sejarah lisan untuk mengali tentang sejarah mereka sendiri. Tentu saja tidak salah merujuk pada sejarah lisan.

Namun fungsinya berbeda untuk kajian sejarah. Sejarah lisan cenderung, dan tidak terbatas pada, sebagai sumber untuk memahami konstruksi imajinasi dan memahami karakter-karakter sebuah kelompok masyarakat. penggunaan sejarah lisan juga kerap menjadi sumber utama untuk memahami kontestasi politik yang terjadi.

Contohnya saja, hampir setiap pemilihan kepala daerah, sejarah lisan tentang Uken vs Toa kerap muncul kembali.

Dengan demikian, tulisan Snouck Hurgronje tentang masyarakat Gayo adalah tulisan paling tua yang pernah ada tentang Gayo. Kemudian bermunculan karya dari putra Gayo sendiri seperti tafsir Gayo yang merupakan kitab nasehat dan kritik terhadap kehidupan sosial dan budaya di Gayo dan diikuti kemudian oleh beberapa Gayo terdidik lainnya.

Sejarah berikutnya diisi oleh oleh Kolonial Belanda. Banyak sekali peninggalan yang bisa kita telusuri. Minimalnya rumah-rumah dan beberapa monument. Meski penting, saya tidak membahas bagian ini di artikel ini. Saya akan membahas di artikel terpisah nantinya.

Pameran Sejarah Gayo

Minimal bukti-bukti tentang Gayo membuat minimnya pameran sejarah Gayo baik di museum atau tempat lainnya. Pameran-pameran tentang Gayo seringnya hanya berhubungan dengan pameran kebudayaan dan tata cara hidup sehari-hari.

Hal ini karena bukti-bukti yang berkaitan dengan kebudayaan dan kehidupan sehari-hari lah yang dapat dibuktikan baik melalui foto yang diproduksi oleh Belanda dahulu untuk kepentingan kolonial atau langsung pameran benda seperti pameran kerawang dan lainnya.

Pameran yang berkaitan dengan masa lalu Gayo sebelum kolonial belum pernah diselenggarakan hingga temuan arkeologis di Ceruk Mendale. Pameran hasil penelitian Ceruk mendale ini unik karena permanen dan terbuka.

Tentunya, tulang belulang yang masih ada di sana ada hasil reproduksi atau cetakan mengikuti bentuk asli. Tingginya nilai sejarah dan pengetahuan yang tersimpan pada kerangka manusia yang asli membuatnya tidak mungkin dipertunjukkan kepada khalayak ramai.

Di Universitas Leiden, beberapa manuskrip bahkan tidak bisa disentuh apalagi diakses oleh orang karena tingkat kerentanan dan juga nilai sejarah dan pengetahuannya. Sebagai solusi, kampus tersebut menyediakan softcopy yang didapat dengan cara tertentu agar benda aslinya tidak rusak.

Demikian juga perlakukan banyak museum di dunia maju tentang benda sejarah yang sangat bernilai. Semuanya dipamerkan ke publik setelah melalui tahapan kajian, validitasi dan verifikasi, dan publikasi ilmiah.

Tidak ada satu benda pun yang dipamerkan di museum-museum atau pagelaran lainnya tanpa tahapan-tahapan tersebut. hal ini untuk memastikan agar publik mendapatkan informasi yang benar dan utuh dan menghindari publik dari penipuan dan penyesatan.

Tentu saja ahli-ahli di bidangnya; arkeologis, antropologis, sejarahwan/wati, dan ahli lainnya yang terlibat untuk dalam tahapan penelitian hingga pameran.

Sejauh pengetahuan saya, belum ada ditemukan bukti fisik dari kerajaan Linge selain nisan di Buntul Linge. Sehingga karenanya tidak pernah ada pameran tentang kerajaan Linge.

Hal ini barangkali bangunan kerajaan Linge terbuat dari kayu yang tentu cepat dimakan usia. Kemajuan arsitektur kerajaan Linge tidaklah sehebat kerajaan-kerajaan Islam di Rajastan India atau di Timur Tengah. Demikian juga teknologi lainnya dan dan tata kerajaan.

Dalam hal bangunan, kerajaan Islam di Aceh belum sehebat kerajaan hindu di Aceh sebelum kedatangan Islam seperti Indrapurba dan Indraparta yang pondasi kerajaan dan beberapa stuktur dasar bangunan lainnya masih bisa dilacak.

Demikian juga dengan teknik pembuatan hiasan dari benda keras; besi, emas, atau lainnya. Capaian tertinggi kerajaan Linge dalam menempah logam sepertinya hanya Bawar yang mirip parang tanpa ukuran.

Saya sebutkan capaian tertinggi karena Bawar tersebut menjadi simbol Raja. Hanya seorang raja yang dapat memiliki bawar. Selain Bawar nyaris tidak ada benda lain pernah muncul.

Konon, kerajaan Linge juga memiliki bendera kerajaan bertuliskan lafaz la illah ha illa Allah. Kabar keberadaan bendera ini juga seperti rumor. Apalagi, seperti yang kita sama-sama ketahui bahwa tidak ada kain yang bisa bertahan melebihi 200 tahun terkecuali kain pembalut mumi di Mesir yang dibaluri oleh ramuan-ramuan pengawet.

Mengapa jarang sekali ada benda-benda bersejarah di Gayo yang darinya kita dapat menelusuri masa lalu? 2 kemungkinan yang menghalangi kita menemukan benda-benda tersebut.

1. Semua benda bersejarah dianggap keramat dan memiliki aura mistis tertentu. keadaan ini umum kita temukan di Gayo. untuk mengakses atau hanya sekedar membuka balutan putih kitab tersebut, kita disyaratkan untuk memberikan pelayanan tertentu seperti memotong ayam dengan ciri tertentu, berdo’a, dan lainnya.

Sementara, ribuan manuskrip dan benda sejarah di luar Gayo bisa diakses dan dibaca dan dilihat oleh siapa pun termasuk non-Muslim tanpa harus melakukan kenduri.

Kepercayaan ini menutup pengetahuan kita akan Gayo. Karenanya, sejarah Gayo berdasarkan mistis, penglihatan pada masa lalu, atau bisikan “ruh” yang pernah hidup pada masa tertentu mendapatkan tempat dalam bangunan pengetahuan sejarah Gayo.

Untuk beberapa disiplin ilmu, metode mereka menarik dan penting untuk dikaji. Tentu bukan muatan sejarah yang disampaikan, tetapi tentang bagaimana mereka membangun pengetahuan, sumber-sumbernya dan implikasinya terhadap kepercayaan dan konstruksi pengetahuan lokal.

2. Tanggung jawab terhadap amanah yang diberikan oleh pendahulunya. Saya sendiri pernah berhadapan dengan beberapa orang seperti ini yang awalnya menghalangi saya mengakses manuskrip atau kitab yang sering diajarkan oleh Tengku Silang, ulama besar Gayo dari Bathin Kebayakan.

Dengan pendekatan jalur lain, saya kemudian berhasil mengakses kitab tersebut. Dari sini saya mengetahui bahwa beberapa kitab popular yang diproduksi di pulau Jawa dan Langkat bahkan dari luar Indonesia telah beredar di Gayo.

Ini saya yakini karena kitab yang diajarkan oleh Tengku Silang adalah sebuah kita do’a-do’a untuk 7 hari berbeda yang telah dicetak mesin layaknya buku atau kitab sekarang ini. Tengku Silang wafat di tahun pertama penjajahan Jepang di Gayo.

Namun dia telah mengajarkan kitab tersebut pada masa Belanda di sebuah tempat pengajiannya yang kini menjadi Mesjid. Awalnya masjid itu adalah sebuah musala dengan nama Mersah Atu. Keberadaan Belanda di Gayo memberikan sumbangsih terhadap peredaran buku modern di pedalaman Aceh tersebut.

Kedua hal ini menjadi penghalang pengungkapan sejarah di Gayo. Dengan kepercayaan terhadap mistis yang masih tinggi, banyak orang Gayo kemudian merujuk pada cerita-cerita penjaga manuskrip dan benda sejarah tentang kesaktian benda-benda tersebut.

Mereka kemudian turun menyebarkan cerita-cerita tersebut yang kemudian membutakan mata semua kita tentang apa yang sebenarnya terjadi antara kehidupan manusia purba sampai kedatangan Belanda.

Penutup

Kebanggaan terhadap sejarah adalah normal dan alamiah. Kebanggaan tersebut haruslah diikuti dengan sikap kritis dan membuka diri pada kenyataan bahwa masa lalu kita tidak lah hebat-hebat sekali.

Kalau pun kita yakin bahwa sejarah masyarakat Gayo memang hebat, keyakinan itu harus dibuktikan dengan standar-standar umum dan niat berbagi informasi dan sumber-sumber sejarah bagi yang menyimpannya. Banyak sekali ahli yang dapat diminta mengkaji.

Kalau kita mengabaikan standar-standar tersebut, kemungkinan kita akan mudah dimanipulasi oleh orang tertentu seperti yang sudah kerap terjadi selama ini.

*Pengajar di Prodi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry. Peneliti tetap pada International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS)
Peneliti di ASEAN-IPR (2021-2022)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.