Oleh : Hairunnas, SE*
Dari rangkaian peristiwa yang terjadi pada masa itu banyak menghasilkan karya sastra dan guel, yaitu tarian yang khas di Dataran Tinggi Tanoh Gayo ini berkisah dan terinspirasi dari interaksi gajah dan manusia pada jaman dahulu.
Kepopuleran cerita ini juga menjadikan keeratan hubungan emosional gajah dan manusia menjadi semakin kuat bagi masyarakat Gayo. Selain menjadi karya seni nama Gajah Putih telah ditabalkan menjadi nama salah satu nama Perguruan Tinggi di Aceh Tengah yaitu Universitas Gajah Putih (UGP), yang telah berdiri sejak tahun 1986.
Di Banda Aceh, Komando Daerah Militer (KODAM) Iskandar Muda juga menggunakan Gajah Putih sebagai logonya lalu sengeda dan Bener Meriah sekarang dijadikan nama salah satu Kabupaten di Aceh. Jika dalam sejarah masa lampau Bener Meriah merupakan saudara tua Sengeda, maka dalam sejarah administrasi pemerintahan, Kabupaten Bener Meriah merupakan saudara mudanya Aceh Tengah.
Untuk mengenang dan melestarikan kearipan lokal ini Pemerintah Kabupaten dan Provinsi juga sering mengadakan perlombaan dan tarian guel masal di hari-hari besar seperti hari ulang tahun daerah dan hari besar lainya.
Kejadian penyerahan gajah putih juga pernah di peragakan dan direka ulang pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke- 8 oleh Salman Yoga S beserta kontingen dari Aceh Tengah yang berjumlah sekitar 100 orang yang mengarak gajah putih beserta penunggang kudanya membawa bendera Kerajaan Linge keliling Kota Banda Aceh serta membacakan puitisasi titah Kerajaan Linge kepada Sultan Aceh.
Sayangnya kemegahan cerita tentang gajah putih ini hanya mengalir dan menjadi konsumsi masyarakat lokal sebagai keelokan sastra dan seni tidak disertai dengan perlindungan terhadap gajah tersebut. Dalam pola pikir modern kesadaran akan terancamnya populasi gajah di dunia, terutama gajah Sumatra.
Sayangnya kesadaran tersebut tidak mempengaruhi pranata-pranata kehidupan yang berkaitan dengan ekonomi, kapitalisme mengurung manusia dalam pragmatisme.
Berebut lahan kekuasaan pangan seolah kita tidak pernah hidup berdapingan namun yang pasti gajah mempertahankan wilayahnya hanya untuk makan dan keberlangsungan hidupnya dan manusia memperluas lahan untuk tuntutan tatanan pola kehidupan ekonomi yang kadang tidak hanya demi kebutuhan namun lebih dari itu yaitu keserakahan.
Semoga kesadaran kolektif mengerti batasan dan ketegasan dalam menentukan batasan hutan untuk dikelola bisa tumbuh di tengah kita khususnya masyarat Aceh untuk kelestarian ekosistem, keseimbangan alam dan agar seni sastra, tarian, mitologi tentang gajah tidak hanya menjadi imajinasi oleh generasi mendatang tanpa pernah melihat gajah secara nyata.[AR]. Bersambung…
*Hairunnas, SE, adalah alumnus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan pengurus Keluarga Alumni Yogyakarta (KAGAYO) periode 2021-2023. Tinggal di Gunung Teritit Kabupaten Bener Meriah.

											



