Oleh : Hairunnas, SE*
Menyambung tulisan sebelumnya “gajah sebagai simbol kejayaan, capaian peradaban hingga ancaman kepunahan di Aceh”, kali ini penulis akan melihat hewan yang gagah ini dari sisi yang berbeda.
Gajah merupakan hewan yang unik untuk dikaji karena hewan ini sangat erat sekali hubungannya dengan sejarah peradaban manusia.
Gajah dengan kelebihannya yaitu dengan mamalia darat terbesar dan salah satu hewan terpandai di dunia yang memiliki volume otak yang besar menjadikan hewan ini sangat pintar yang memiliki arti yang sangat besar bagi manusia sejak jaman dahulu.
Sebut saja pada masa klasik, gajah selalu di identikan dengan ilmu pengetahuan dan konsepsi kerelijiusan. Jika pada masa Hindu-Buddha, sosok gajah dipandang dari sisi religuitas, didewakan dalam bentuk Ganesha dan Airawata, pada masa sekarang ini, sosok gajah ”didewakan” sebagai simbol atau lambang dari institusi negara, terutama pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dalam bentuk yang berbeda-beda. (baca Gajah dan Budaya Nusantara I)
Hubungan unik antara manusia dan gajah pun tercermin dalam konsepsi-konsepsi lainnya, salah satunya adalah sejarah dan sastra.
Sejarah sebagai catatan perjalanan peradaban manusia kiranya menjadi salah satu unsur penting dalam melihat bagaimana hubungan antara gajah dan manusia khususnya di Aceh sebagai sama-sama penghuni alam raya.
Selain sejarah, sastra pun dianggap unsur yang tak kalah penting untuk melihat hubungan tersebut. Posisi sastra dalam hal ini adalah sebagai alat dokumentasi berbagai peristiwa dan kejadian penting dalam sejarah.
Selain temuan-temuan arkeologi, sastra pun merupakan salah satu medium penting untuk manusia-manusia modern mengetahui dan mempelajari sejarah bangsanya.
Di tanah Gayo, karya sastra, musik dan tarian banyak terinspirasi dari gajah. hal ini menjadi rentetan sejarah panjang peradaban masyarakat Gayo yang sejak dulu hidup berdampingan dengan salah satu mamalia pintar ini.
Seperti cerita rakyat yang berkembang dan di tengah masyarakat Gayo secara turun temurun yang memanggil gajah dengan sebutan abang kul atau berarti saudara yang paling sulung.
Hal ini berangkat dari kisah gajah putih sebagai jelmaan manusia yaitu Bener Meriah saudara dari Sengeda anak Reje Linge ke XI. Kisah gajah putih ini terjadi sekitar lima ratus tahun setelah Linge berdiri.
Singkatnya, pada masa kesultanan Aceh dibuatlah sayembara untuk menemukan seekor gajah yang berwarna putih untuk memenuhi permintaan dari putrinya, setelah gajah ditemukan ternyata hanya Sengeda-lah yang mampu menjinakan gajah untuk dibawa ke hadapan Sultan Aceh.
Disebutkan dalam cerita lain bahwa gajah putih ini ialah jelmaan dari saudaranya sendiri yaitu Bener Meriah yang mengasingkan diri karena dituduh ingin mengkudeta kerajaan sehingga melakukan pertapaan untuk menjadi gajah putih agar bisa kembali ke tengah keluarga.
Dari cerita inilah penyematan panggilan abang kul kepada gajah masih melekat di masyrakat Gayo (ditulis dalam buku Gayo dan Kerajaan Linge). [AR]. Bersambung.
*Hairunnas, SE, adalah alumnus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan pengurus Keluarga Alumni Yogyakarta (KAGAYO) periode 2021-2023. Tinggal di Gunung Teritit Kabupaten Bener Meriah