Seminar Gayo, Prof Sukiman : Saya Tidak Layak Jadi Narasumber Sejarah

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Hari ini senin 21 Februari 2022, di Takengon berlangsung tiga seminar nasional terkait sejarah dan peradaban Gayo.

Dua seminar berlangsung dalam waktu yang bersamaan, di ruang Op Room kantor Bupati Aceh Tengah dan dan Gedung Pendari.

Sehingga saya yang hadir meliput seminar ini untuk LintasGAYO.co harus, lari bolak-balik di antara dua tempat itu.

Seminar pertama yang saya hadiri adalah seminar nasional Jejak Islam di Gayo yang menghadirkan Prof. Dr. Sukiman, M.si, seorang guru besar di UIN Sumatera Utara dengan bidang keahlian filsafat pembangunan Islam.

Seminar yang dipandu oleh Dr. Johansyah dari UIN Ar Raniry dan Dr. Almisry sebagai pembanding ini, diharapkan bisa membuka tabir sejarah hadirnya Islam dalam peradaban Gayo.

Saya pribadi berharap, dengan menghadirkan nama-nama hebat dan gelar mentereng sebagai pembicara, kalaupun tak dapat menemukan bukti sejarah yang mantap. Setidaknya, dengan seminar ini, kita bisa mendapatkan cara pandang, logika dan rasionalitas sejarah Gayo yang dengannya kita bisa menentukan arah yang tepat dalam usaha penggalian sejarah Gayo yang saat ini masih sangat miskin bukti.

Namun sayangnya, harapan tinggal harapan, jauh panggang dari api. Bahkan Prof. Sukiman yang didapuk sebagai narasumber utama, menyatakan di pembuka pemaparannya, bahwa dirinya sebenarnya tidak layak menjadi narasumber di seminar seperti ini.

“Meskipun saya seorang profesor, tapi ketika saya menulis di luar bidang saya, akan banyak yang tidak tepat. Karena keilmuan saya bukan sejarah,” ungkap guru besar asal Kala Lengkio Kebayakan ini.

Prof. Sukiman mengaku kalau dirinya menerima tawaran ini semata karena dirinya adalah orang Gayo.

Ketika Prof. Sukiman memaparkan makalahnya, tepat seperti yang dia akui sendiri, karena bidang keilmuannya bukan sejarah dan seperti pengakuannya kemudian, bahwa jejak sejarah yang dibahas dengan peristiwa hari ini sudah sangat jauh jaraknya.

Apa yang bisa ditampilkan oleh profesor ini hanyalah cerita yang dia dengan dari orang-orang tua dan penjelasan Tengku Ilyas Leubee yang dia dengar dari kaset.

Alhasil yang ditampilkan oleh Profesor Sukiman dalam makalah ini, bukan hanya tidak tepat. Tapi tidak ada bedanya dengan pemaparan yang kita dengar dengan tetue Gayo manapun yang kita temui secara random di pinggir jalan.

Ketika sang profesor menyampaikan bahwa orang Gayo berasal dari negeri Rum, orang Gayo sudah Islam sebelum nabi Muhammad lahir, karena sangat mungkin orang Gayo adalah orang-orang yang diturunkan dari kapal Nabi Nuh ketika banjir besar Orang Gayo sejak diturunkan nabi Nuh sudah Islam dengan menjadikan kitab suci Al Qur’an Surat As Saba ayat 15, sebagai referensi.

Untuk memperkuat argumennya, Prof. Sukiman kemudiam melakukan cocokologi periode waktu dengan temuan Ceruk Mendale yang menurutnya sudah ada sejak 7000 tahun yang lalu.

Kita yang mendengarkan pemaparan Prof. Sukiman, seolah seperti sedang mendengar cerita Aman Onot di Berawang Dewal, Aman Item di Pertik atau Aman Ucak di tengah kebun kopi di Wih Tenang Toa, atau tetue Gayo manapun yang secara random kita temui di pinggir jalan. Tak ada aura ilmiahnya sama sekali.

Bahkan logika seorang profesor yang bepikir ilmiah dan sistematis pun sama sekali tak kita temukan bekasnya dalam pemaparan sang profesor.

“Dulu waktu banjir besar, semua di dunia ini hanya air. Yang tak tenggelam cuma tempat-tempat tinggi yang tidak tenggelam, makanya waktu itu orang diturunkan di Buntul Linge. Meski kapal Nabi Nuh Berlabuh di Turki, tapi sebelum berlabuh, beliau menurunkan penduduk di tempat-tempat tinggi. Logika saintifiknya dapat,” ujar sang Profesor.

Entah logika saintifik bagaimana yang prof Sukiman maksud, kenapa Nabi Nuh menurunkan penumpangnya di Linge yang tingginya di bawah 1000 Mdpl, sementara di dekatnya ada Burni Kelieten menjulang 2800 Mdpl atau Burni Birah Panyang, Bur Telege dan seterusnya yang tingginya lebih dari 1500 meter.

Belum lagi cerita barisan pegunungan Himalaya sepanjang ribuan kilometer dengan ketinggian di atas 6000 Mdpl dengan puncak tertinggi nyaris 9000 meter. Hanya Profesor Sukiman dan Allah yang paham logika saintifik seperti ini.

Sudahlah profesor Sukiman menyampaikan makalah yang sama sekali jauh dari kualitas karya ilmiah, Dr. Johansyah dan Dr. Almisry yang hadir sebagai moderator dan pembanding juga sama sekali tidak membantu memperbaiki keadaan.

Prinsip Gayo “Salah bertegah, benar berpapah,” sama sekali tidak dijalankan dua junior profesor Sukiman.

Alhasil, seminar yang katanya membahas Jejak Islam di Gayo inipun berjalan menjadi ajang “Petukel mubungei diri.”

Yang dibahas di forum seminar ini, Gayo itu hebat, Gayo itu luar biasa, Gayo itu mantap…dan seterusnya dan seterusnya.

Seminar yang sama sekali tidak mencerdaskan ini berakhir dengan output notulensi yang merekomendasikan penelitian menyeluruh tentang sejarah Islam di Gayo. Tanpa out come sama sekali. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.