Oleh : Win Wan Nur*
Beberapa tahun yang lalu, ada sebuah percakapan dengan seorang kerabat saya yang begitu membekas dalam ingatan saya sampai hari ini.
Kerabat saya ini memiliki usaha penjualan buku dan alat tulis di Pulo Brayan Medan. Waktu itu dia bercerita tentang usahanya, sampai pada satu titik dia bercerita tentang barang yang paling menguntungkan yang dijual di tokonya.
“Yang paling enak itu jual Al Qur’an bang, berapa kita bilang orang nggak nawar lagi, langsung dibayar,” ujarnya.
Dari apa yang dia ceritakan, bahwa ketika membeli Al Qur’an, orang tidak enak untuk menawar karena itu adalah kitab yang paling disucikan oleh siapapun yang meyakini Islam sebagai agamanya. Jadi orang secara alami merasa bersalah seandainya menjadi pelit ketika membelinya.
Apa yang diceritakan oleh kerabat saya ini, meski itu hanya contoh kecil berdasarkan pengalaman pribadinya tapi sebenarnya ini adalah gambaran besar yang menunjukkan situasi psikologis seorang penganut agama ketika dihadapkan dengan item-item komersial yang padanya melekat unsur agama yang suci.
Beberapa waktu yang lalu pula, sehabis shalat subuh, televisi nasional menayangkan acara santapan rohani yang dibawakan oleh seorang ustadz seleb terkenal.
Dalam acara yang dipandunya, si ustadz memaparkan matematika sedekah, bagaimana orang yang ingin mendapatkan harta di dunia, harus banyak bersedekah, bahkan jika seorang perempuan katakanlah seorang pekerja pabrik ingin mendapatkan suami kaya, bergaji 20 juta misalnya, katanya. Dia harus berani bersedekah dengan jumlah besar yang dibuatkan si ustadz matematikanya.
“Kalau tidak ada uang untuk itu, jual televisi, kalau tidak cukup, jual kulkas dan seterusnya,” ucap si Ustadz menyemangati.
Tak berapa lama beberapa bulan ke belakang, ustadz yang sama muncul di tayangan YouTube menganjurkan cara sedekah yang sama secara langsung di panggung. Dalam tayangan itu terlihat si ustadz berhasil meyakinkan seorang istri pejabat untuk mensedekahkan seluruh uang yang saat itu ada dalam dompetnya, bahkan belum cukup itu, si ustadz juga meminta si ibu pejabat melepaskan perhiasan emas yang saat itu dia pakai, untuk disedekahkan juga kepada si ustadz tanpa perlu penjelasan, kemana uang sedekah itu akan disalurkan oleh si ustadz yang terkenal dengan kaya dan hidup bergelimang kemewahan ini.
Kalau dilihat dari level komersialisasi dan jumlah uang yang terlibat dan luasnya jangkauan, meski sama-sama mendapatkan keuntungan dari mengkomersialkan item dengan unsur agama, monetasi unsur agama yang dilakukan oleh kerabat saya di Pulo Brayan jelas tak ada apa-apanya dibandingkan yang dilakukan si ustadz.
Lalu, masih lekat pula dalam ingatan kita bagaimana penyedia jasa umrah fiktif, menjadi kaya raya dengan menjual paket umrah murah, tapi sebagian besar tidak dia berangkatkan. Dan sekali lagi, saat itu berjalan, tak banyak orang yang berani mengkritisi, baru menjadi masalah ketika banyak orang yang tak bisa berangkat, karena memang dengan jumlah setoran serendah itu, tak mungkin cukup untuk memberangkatkan orang ke Arab Saudi, untuk melakukan umrah.
Bagi orang yang berpikir kritis, cara bersedekah, berdagang dengan Allah seperti ajaran si ustadz ini sangatlah janggal. Tapi meski merasa janggal tak banyak yang berani menyampaikan pendapatnya. Penyebabnya, tentu saja karena mengkritisi suatu produk atau item komersial yang padanya melekat unsur agama, bukanlah perkara main-main, resikonya, si kritis ini berpeluang dicap anti agama atau menista agama.
Alhasil, hal-hal seperti ini terus terulang.
Kemudian, sejak beberapa waktu yang lalu Indonesia dihebohkan dengan pameran apa yang diklaim sebagai artefak peninggalan Rasulullah.
Pameran ini berlangsung secara road show dari kota ke kota, dari pulau Jawa sampai Sumatera.
Sejauh ini, pameran ini berlangsung sukses, diliput oleh pelbagai media besar nasional tanpa ada suara kritis, sampai saat ini pameran ini sudah mencapai Bener Meriah dan mungkin sebentar lagi Aceh Tengah.
Cukup dengan membayar uang sebesar 25.000 rupiah, siapapun bisa melihat apa yang diklaim sebagai artefak peninggalan Rasulullah ini, dengan bonus satu botol air yang sudah dicelup dengan apa yang mereka klaim sebagai janggut Rasulullah.
Tentu saja banyak pandangan kritis soal komersialisasi apa yang mereka klaim sebagai artefak peninggalan Rasulullah ini. Tapi seperti biasa, untuk hal seperti ini, tak banyak yang berani bersuara kritis. Bagi siapapun yang tak memiliki label ulama yang melekat pada dirinya, tak ada yang mau mengambil resiko untuk menyatakan keraguan terhadap klaim yang sangat menguntungkan penyelenggaranya ini.
Apalagi pasca Pilpres lalu yang salah satu pihak dalam usaha memenangkan pertarungan politik ini mengusung isu agama dengan terang-terangan, saat ini bahkan meski orang sudah berlabel ulama pun, kalau dirinya terindikasi mendukung pemenang pilpres di Pemilu lalu, legitimasinya sebagai ulama akan diragukan dan kalau dirinya berani mengkritisi hal seperti ini, tetap beresiko dituduh penista agama.
Dan situasi seperti ini membuat pameran artefak peninggalan Rasulullah ini berlangsung mulus nyaris tanpa hambatan. Bahkan media-media besar sekelas Tempo, Detik, Tribunnews dan lain-lain, memuat peristiwa ini tanpa ada suara kritis yang mempertanyakan kebenaran klaim itu.
Sampai akhirnya, DP MUI Kab Madina dan Padang Sidempuan yang tampil mempertanyakan. Berita tentang hal ini, diposting di status media sosial, seorang tokoh muda Gayo, Waladan Yoga.
Barulah setelah ini dipertanyakan oleh salah satu pengurus cabang MUI, orang-orang yang sejak awal sudah skeptis tentang komersialisai apa yang diklaim sebagai artefak peninggalan Rasulullah ini, satu per satu mulai berani muncul ke permukaan, mengungkapkan berbagai kejanggalan klaim ini.
Mudah-mudahan dengan beraninya MUI Kab Madina mempertanyakan ini, kalau Road Show ini nanti benar-benar sampai di Takengen, ulama-ulama kita juga berani bersuara kritis terkait Road Show ini.
Apakah yang dipamerkan benar-benar artefak peninggalan Rasulullah, apa bukti pendukungnya, dan kalaupun benar, apakah Islam memang mengajarkan atau membolehkan penganutnya untuk mensucikan air yang direndam janggut Rasulullah?
Supaya, jangan sampai kecintaan pada Rasulullah malah dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk mendapatkan keuntungan komersial sambil mendorong penganut Islam di Gayo menuju kesyirikan. []