Gajah Sebagai Simbul Kejayaan, Pencapaian Peradaban Hingga Ancaman Kepunahannya di Aceh

oleh

Oleh : Hairunnas, SE*

Ditengah maraknya penurunan populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dari 1.300 ekor pada 2014, kini tersisa 693 ekor, menurun hampir 50 persen dalam rentang tujuh tahun. Disumber lain, Forum Konservasi Gajah Indonesia yang menjelaskan bahwa selama sepuluh tahun terakhir, ada sekitar 700 ekor gajah sumatera yang mati karena diburu.

BKSDA Aceh mencatat, pada 2016, konflik antara masyarakat dengan gajah mencapai 46 kasus. Selanjutnya, pada 2017 [103 kasus], 2018 [71 kasus], dan 2019 [109 kasus]. Wilayah konflik berada di Kabupaten Bener Meriah, Pidie, Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Selatan, juga Aceh Tenggara. Umumnya, pertikaian terjadi karena gajah masuk perkebunan kelapa sawit warga, perusahaan pemegang HGU, serta lahan pertanian masyarakat.

Konflik berupa gajah kena jerat, diracun, atau satwa lain mulai hijrah dari hutan ke permukiman warga, merusak rumah sampai melukai warga. konflik antara manusia dengan gajah terjadi karena habitat gajah yang semakin menyempit.

Berdasarkan SK/MenLHK No. 103/Men-LHK-II/2015, luas kawasan hutan dan konservasi perairan Aceh seluas 3.557.928 hektar, namun pada tahun 2019 yang tersisa hanya 2.989.212 hektar.

Di Provinsi Aceh, diperkirakan hampir 80 persen habitat gajah sumatera berada di luar kawasan hutan konservasi. Mereka tersebar di hutan produksi dan juga areal penggunaan lain.

Hal ini menjadi dilema bagi pegawai konservasi karena secara status tanah PT/warga memiliki legalitas yang jelas dari negara dan dari sisi lain Gajah Sumatera masuk dalam satwa dilindungi menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan diatur dalam peraturan pemerintah, yaitu PP 7/1999 tentang Pengawetaan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Angin segar datang dari CRU (Consevation Response Unit) peusanagan yang populasi gajah sekitar 50-60 ekor yang hidup di sepanjang sungai pusangan mulai dari bergang (Aceh tengah) pintu rime gayo ( Bener Meriah) sampai ke hilir yaitu Bireun bertambah, hal itu disebabkan karena warga setempat khususnya di dataran tinggi Tanoh Gayo masih menghomati gajah sebagai saudara seperti cerita rakyat Kisah Gajah Putih yang diyakini masyarakat sekitar.

Cerita ini terjadi sekitar lima ratus tahun setelah Linge berdiri. Tepatnya pada saat Reje Linge XII berkuasa. Kerajaan Linge sendiri berdiri sekitar tahun 1025 Masehi. Raja yang pertama adalah Adi Genali, seorang Raja yang berasal dari Emperium Rum, salah satu kawasan di Turki. kisah tersebut ditulis oleh Yusra Habib Abdul Gani dalam bukunya Gayo dan Kerajaan Linge.

Sekonflik-konfliknya gajah dan manusia di daerah tersebut masyarakat tidak pernah melukai gajah secara fisik apalagi sampai membunuh kata ketua CRU peusangan menceritakan pengalamannya 4 tahun bertugas di daerah tersebut.

Secara lebih mendalam gajah sangat akrab dengan peradaban masyarakat Aceh. Dimasa lampau, gajah Aceh menjadi simbol keagungan. Rakyat menghormatinya dalam beberapa upacara.

Sebelum Kesultanan Aceh berdiri, kerajaan-kerajaan di utara Pulau Sumatra telah menjadikan gajah sebagai bagian tak terpisahkan dari kerajaan. Menurut M. Junus Djamil, seorang raja di Pidie memilih gajah sebagai tunganggannya.

“Dalam tahun 500 masehi didapati kerajaan yang bernama Poli, yaitu Pidie sekarang, rakyatnya beragama Buddha, rajanya mengendarai gajah,” tulis Djamil dalam Gadjah Putih Iskandar Muda.

Sultan Perlak pada 1146 juga gemar mengendarai gajah berhias emas, sebagaimana dikutip Djamil dari Kitab Rihlah Abu Ishak al-Makarany. Sementara Marcopolo menyebut Samudra Pasai sebagai kerajaan yang mempunyai banyak gajah, dan sebagian besar kepunyaan raja.

Ibnu Batutah memberikan deskripsi lebih lengkap mengenai gajah Samudra Pasai pada 1345. Selain dimiliki Raja, gajah-gajah itu juga menjadi bagian armada perang kerajaan.

Kesultanan Aceh berdiri pada paruh pertama abad ke-16, gajah tetap menjadi hewan andalan, selain kuda. Sultan-sultan Aceh masa itu tersohor sebagai penunggang gajah yang mahir.

Gajah-gajah liar di pedalaman diburu bukan untuk diambil gadingnya, melainkan untuk dijinakkan. Setelah jinak, gajah yang dipandang terbaik dan terbesar akan dijadikan gajah sultan. Sisanya untuk armada perang Aceh. Kebanggaan Kesultanan Aceh terhadap gajah berlanjut hingga abad ke-17.

Ironis memang jika melirik sedikit sejarah kebelakang dan melihat fakta konflik gajah saat ini di Aceh khusus nya, namun dari sejarah panjang gajah dan manusia di Aceh membuktikan masyarakat Aceh memiliki pengalaman yang sangat kaya hidup berdampingan dengan gajah
‘Konfik terjadi ketika ada yang dirugikan’.

Dari cerita yang saya dengar dari salah seorang nenek yang berumur jauh lebih tua dari perkampungannya di bentuk yaitu negeri antara (desa berdiri sekitar tahun 1970-an) sebagai saksi hidup terjadinya evolusi perubahan pola hidup masyarakat yang dulunya berdampingan sekarang menjadi ancaman/hama di dearah tersebut menyampaikan, bahwa untuk bisa saling berdampingan maka kita harus memahami dan menyesuaikan diri dengan gajah, contoh jika gajah tidak suka memakan kopi dan serai maka masarakat menanam tumbuhan tersebut di lahan kawasan habitat gajah hidup dengan demikian tidak ada yang merasa dirugikan.

Dari semua sejarah, kesaksian, faktor dan fakta yang sudah di paparkan. Penulis beranggapan bahwa faktor teknologi juga berperan dalam mempercepat atau berpengaruh dalam terjadinya konflik gajah dan manusia, pasalnya jaman dahulu selain untuk armada perang gajah juga berfungsi sebagai alat bantu warga untuk tranfortasi dan pengangkut barang yang berat. Di era kemajuan teknologi ini peran itu semua sudah diambil alih oleh mesin sehingga merawat gajah dirasa tidak menguntungkan lagi bagi warga.

Selain itu faktor pandangan hidup hedonis yang dipandu kapitalis telah menggerogoti mental haus yang tak berkesudahan untuk menimbun kekayaan kelompok maupun individu walaipun hal itu dapat di capai dengan cara ekplorasi alam berlebihan.

Lemahnya penegasan akan setatus tanah hutan lindung juga rawan terhadap semakin menyempitnya area hidup gajah.

Upaya penanganan dengan membangun barier atau parit di pinggir hutan, kawat kejut dan menyalakan bunyi2an agar gajah bisa digiring kembali ke hutan hanyalah solusi yang bersipat sementara/jangkapendek jika tidak di sertai dengan pencegahan dengan penegasan status lahan maka Kondisi ini berdampak pada tekanan populasi dan habitat, sebagai implikasi hilang dan terfragmentasinya ruang jelajah gajah Sumatera.

Pada akhirnya semua elemen harus bekerjasama untuk melestarikan ekosistem alam, berbagi ruang untuk keberlangsungan hidup hewan mulia dan simbul kejayaan Aceh ini.[]

*alumnus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan pengurus Keluarga Gayo Yogyakarta (KAGAYO) periode 2021-2023. Tinggal di Gunung Teritit Bener Meriah.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.