Sang Teladan

oleh

Oleh : Johansyah*

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab: 21).

Ayat ini sering dibahas terutama ketika peringatan hari lahirnya nabi Muhammad SAW bertepatan dengan 12 Rabi’ul Awwal. Kali ini kita juga membahas ayat yang sama dengan fokus kajian kata kunci yang terdapat pada ayat ini, yakni uswatun hasanah (suri teladan yang baik).

Uswah adalah contoh. Banyak hal dalam hidup ini memang memerlukan contoh. Membuat rumah, masjid, gambar, program, dan hal-hal lainnya, semua butuh contoh. Dengan adanya contoh tersebut, kita akan mudah membuat, maupun melakukan renovasi dan perbaikan untuk hasil karya yang lebih sempurnya lagi.

Semua makhluk hidup butuh contoh. Mereka akan mencontoh sesuatu yang berjenis sama dengannya. Ayam akan mencontoh ayam, kambing mencontoh kambing, lembu mencontoh lembu dan sebagainya. Ayam tidak akan pernah iri dengan cara kambing yang mampu mengembek.

Atau sebaliknya kambing tidak berambisi menjadi ayam yang bisa berkokok. Demikian halnya manusia yang idealnya harus memiliki contoh manusia, meskipun dalam kenyataan banyak manusia yang mencontoh sifat makhluk lain. Inilah salah satu kekalahan kita dari mereka.

Kalau kerbau tidak akan pernah ingin meniru manusia, tapi di antara manusia ada yang berperilaku seperti kerbau atau mirip perilaku hewan lain.

Dalam menjalani hidup, manusia jelas membutuhkan contoh manusia. Sebagai umat Islam kita telah diberikan pedoman al-Qur’an, tapi masih bersifat konseptual. Maka diperlihatkanlah contoh ril bagaimana sebenarnya berperilaku qur’ani maupun Islami melalui salah satu sosok utusan-Nya, yakni nabi Muhammad SAW.

Beliaulah representasi dari nilai-nilai qur’ani. Beliau adalah wajah al-Qur’an dan al-Qur’an ril adalah beliau. Dengan ungkapan lain, beliau adalah al-Qur’an yang hidup.

Lebih rinci, jika merujuk pada sirah nabawiyah, ada beberapa alasan mengapa beliau dijadikan uswatun hasanah: pertama, beliau sebagai manusia biasa yang sangat memungkinkan untuk bisa dicontoh. Hal ini penting dipahami karena sebagian orang berasumsi bahwa kita tidak mungkin mencontoh Rasulullah SAW karena beliau adalah seorang nabi.

Hal ini tentu tidak benar karena kalau beliau tidak bisa dicontoh, tidak mungkin ada penegasan dari Allah SWT bahwa beliau adalah uswatun hasanah. Lagi pula dalam surah al-Kahfi 110 sudah ditegaskan bahwa beliau adalah manusia biasa seperti kita, hanya saja beliau diturunkan wahyu untuk disampaikan kepada manusia.

Lalu dari mana kita mendapatkan contoh tersebut sementara tidak pernah bertemu dan beliau telah wafat? Beliau telah meninggalkan sunnah berupa perkataan, perbuatan dan taqrir, itulah yang kita pedomani dan pahami serta amalkan. Dalam hal ini kita juga harus adil dalam menjalankan sunnah. Jangan sampai sunnah hanya diwujudkan pada suatu pekerjaan yang sesuai dengan hawa nafsu.

Contohnya poligami. Ketika orang bertanya mengapa menikah lagi? Jawabannya menegakkan sunnah. Tapi persoalannya shalat lima waktu tidak disiplin, zakat enggan, sedekah jarang, dan seterusnya. Artinya urusan poligami kita tegaskan sunnah, tapi sunnah-sunnah dasar seperti shalat kita abaikan. Ini aneh, dan tampaknya memang karena hawa nafsu.

Kedua, beliau adalah manusia hasil tempaan dari proses ujian kehidupan yang sangat berat. Saat masih dalam kandungan, Abdullah sang ayah meninggal dunia. Ketika baru berumur sekitar lima tahun ibu beliau Aminah juga meninggal dunia, dan beliau tinggal bersama sang kakek Abdul Muthalib.

Tidak berapa lama kakeknya pun meninggal, dan beliau pun diasuh oleh sang paman, yakni Abu Thalib. Ujian demi ujian beliau alami, dan hal tersebut membuat beliau menjadi sosok yang sangat kuat, teguh, dan tahan uji, hingga beliau termasuk salah satu nabi yang tergolong pada ulul azmi (rasul yang kuat menerima cobaan).

Ini memberikan pemahaman pada kita bahwa ketika seseorang sabar terhadap cobaan yang diberikan Allah SWT, dia akan menjadi sosok yang tegar dan sukses dalam kehidupan.

Ketiga, Akhlaknya yang mulia. Hal ini tidak diragukan lagi karena dalam sebuah hadits beliau juga menegaskan kalau misi utama beliau adalah memperbaiki akhlak manusia. Dalam hadits lain ditegaskan bahwa akhlak beliau adalah akhlak al-Qur’an.

Artinya perkataan, sikap dan perbuatan beliau adalah cerminan al-Qur’an. Banyak sekali cerita menggugah tentang akhlak mulia beliau. Salah satunya sikap beliau terhadap musuh yang tidak dendam.

Bahkan beliau memperlakukannya baik sehingga membuat musuh simpati dan akhirnya menyatakan diri memeluk Islam.
Keempat, karena beliau adalah ahli ibadah.

Meski salah satu orang yang dijamin surga, tidak membuat beliau kendor dalam beribadah. Justru ibadahnya dari hari ke hari semakin kuat. Aisyah ra. ketika malam hari sering menyaksikan beliau beribadah sepanjang malam, bahkan hingga kakinya bengkak.

Ketika Aisyah ra memintanya untuk beristirahat, beliau mengatakan; ‘aku tidak ingin dicap sebagai hamba yang tidak bersyukur’. Ini seharusnya menjadi motivasi bagi kita untuk terus menguatkan ibadah di sisa umur yang diberikan oleh Allah SWT ini.

Bagaimana pun hari-hari yang kita lewati adalah jalan-jalan menuju kematian. Lihatlah sosok beliau yang walau pun sudah dijamin surga, malah semakin kuat beribadah. Lalu bagaimana dengan kita yang penuh dosa dan kesalahan?

Kelima, beliau adalah teladan yang komplit. Dalam keluarga, beliau adalah kepala keluarga yang hebat. Beliau juga merupakan sosok pendidik bagi para sahabatnya. Dalam hal bernegara, beliau adalah seorang pemimpin yang disegani.

Di medan peperangan menjadi seorang panglima. Dalam hal politik beliau adalah diplomat ulung. Selain itu paham ekonomi dan peternakan karena pernah berdagang dan pernah menjadi pengembala kambing.

Ringkasnya dalam segala hal beliau layak dicontoh sehingga kita katakan sebagai pribadi yang komplit dijadikan teladan.

Keenam, beliau adalah orang yang sangat cinta kepada umatnya. Menjelang wafatnya, beliau masih sempat memikirkan nasib umatnya. Bagaimana nanti Islam setelah wafatnya beliau? Dalam salah satu riwayat juga dijelaskan bahwa ketika dibangkitkan pada hari kiamat, beliau tidak mencari keluarga, anak, istri maupun saudaranya, tapi yang dicarinya adalah umat ini, kita semua sebagai umat nabi Muhammad SAW. Insyaallah satu-satunya yang memberi syafaat di hari kiamat nanti adalah beliau.

Maka cinta beliau yang begitu besar kepada umatnya, sejatinya kita balas dengan kecintaan pula. Bagaimana kita mencintai beliau? Tentu dengan meneladani segala apa yang telah beliau katakan dan perbuat. Kita telah ditinggalkan dua pusaka yang sangat berharga, yakni al-Qur’an dan sunnah, berpegang teguhlah pada keduanya.

Akhirnya, orang yang cinta seseorang pasti sering mengingatnya. Maka tanda kita mencintai Rasullullah SAW adalah sering mengingat dan sering menyebutnya dengan menyampaikan shalawat kepada beliau; shallallahu ‘ala muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam’!

*Direktur Dayah As-Sirajy Aceh Tengah, dan Wakil Ketua I STIT Al-Washliyah Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.