Buzzer dan Influencer: Tinjauan Komunikasi Publik

oleh

Oleh : Agung Pangeran Bungsu S.Sos*

Sistem politik yang berlangsung di tanah air sangatlah menarik untuk terus dikaji. Sejak masa pemerintahan presiden Soekarno dilanjutkan dengan pemerintahan orde baru presiden Soeharto tentu saja menarik perhatian dan catatan besar bagi kondisi perpolitikan di Indonesia pada hari ini.

Kemudian rezim presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memberi nama masa pemerintahannya sebagai era reformasi dari pemerintahan sebelumnya. Pemerintahan reformasi juga masih meninggalkan banyak catatan besar yang harus diselesaikan.

Meskipun demikian setiap era yang berlangsung memiliki kelebihan dan kekurangan dari berbagai sudut pandang pemikiran. Tentu saja catatan-catatan kekurangan yang ada semestinya menjadi perhatian serius bagi pemerintahan presiden Joko Widodo saat ini.

Kepercayaan publik merupakan hal penting yang harus dijaga oleh pemerintah. Adapun aktor yang memegang peranan ini adalah presiden selaku kepala negara. Lantas bagaimana mungkin kepercayaan publik dapat terus meningkat dari hari ke hari dengan kebijakan pemerintah yang tidak pro kepada rakyat.

Terlebih lagi bagi negara yang menganut sistem demokrasi maka, check and ballance tentu saja sangat dibutuhkan. Bukan dengan memanipulasi data-data statistik yang tujuan besarnya tidak lain adalah memproteksi kekuasaan dari kritik.

Pada tahun 2020 silam menurut salah satu survey tentang indeks demokrasi Indonesia kini menduduki peringkat ke-64 tertinggal dibelakang Malaysia dan Timor Leste (Kompas). Berita yang sangat menyedihkan, ketika negara yang jauh lebih dahulu berdiri kini keadaan negaranya tidak jauh lebih baik.

Hal sederhana yang diabaikan oleh rezim pemerintahan hari ini adalah perihal cara yang baik untuk menjaga public trust atau kepercayaan publik. Informasi yang benar bagi publik seharusnya tidak sembunyikan, sehingga hak publik untuk memperoleh informasi yang benar dapat terpenuhi.

Dengan cara tidak langsung ketika rezim berupaya menyembunyikan kebenaran informasi bagi publik, sama halnya dengan merampas hak masyarakat luas demi menjalankan agenda para elit dan kelompok tertentu.

Hal ini tentu saja telah mencoreng nilai-nilai yang telah tertuang dalam konstitusi bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk memperoleh keterbukaan informasi publik.

Dalam UU No 14 tahun 2008 dinyatakan bahwa setiap warga negara dijamin haknya untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan public (Anon t.t.).

Pada hari ini yang menjadi perhatian publik adalah sudah sejauh mana pemerintah mengakomodir kepentingan masyarakat luas dalam mengambil keputusan, lantas sudahkah pemerintah menjadi aktor penyedia informasi yang baik dan benar bagi masyarakat.

Kemudian bagaimana sikap dan langkah yang seharusnya dipersiapkan untuk menghadapi era buzzer dan influencer hari ini.
Publik dibuat seolah tidak berdaya dengan setiap putusan yang diambil oleh elit politik tanah air. Suasana negara demokrasi seolah tidak dapat dirasakan oleh masyarakat luas.

Ruang publik dibungkam lewat pemberitaan-pemberitaan media massa dan juga melalui jagat media sosial yang penuh dengan politik pencitraan. Salah satunya dengan melibatkan buzzer dan influencer untuk menyampaikan informasi bagi masyarakat luas.

Keputusan ini seolah menunjukkan bahwa pemerintah gagal dalam membangun komunikasi publik. Pemerintah seakan mempertegas ketidakmampuannya dalam membendung kritik dari berbagai kalangan. Padahal kritik merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari negara demokrasi.

Salah satu contoh sederhana adalah pemberitaan tentang wabah covid-19 yang menghantui dunia sejak bulan Maret tahun 2020 silam. Keputusan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk menanggulangi wabah penyakit terbesar dalam beberapa dekade ini seakan tidak diselesaikan dengan serius.

Dimulai dari penunjukkan satgas, pemilihan jenis vaksin yang digunakan, proyek pengadaan bansos, kekeliruan jumlah data penerima bansos, serta keputusan membangun rumah sakit khusus covid di pulau Galang Batam Kepri dengan anggran besar yang kini tidak terencana dengan matang (Tempo 2021).

Banyak kejanggalan-kejanggalan yang diamati oleh publik atau masyarakat luas tentang sikap pemerintah dalam menangani persoalan covid di tanah air. Meskipun dengan kondisi yang sudah demikian terpuruk dan memang dibutuhkan perbaikan dari seluruh sektor lembaga pemerintahan yang ada, akan tetapi pemerintah lewat medianya tetap gencar untuk memberitakan ihwal yang positif bagi citra pemerintahan ini.

Keadaan buruk akibat putusan yang diambil oleh pemerintah seharusnya segera diperbaiki lewat ruang komunikasi publik yang baik, sehingga kepercayaan publik terhadap pemerintah secara perlahan dapat terus membaik.

Fenomena hadirnya virus di Indonesia tentu bukanlah yang pertama. Melalui pengalaman negara dalam menangani virus flu burung hingga virus flu babi lewat rezim sebelumnya seharusnya menjadi perhatian bagi rezim ini.

Apa langkah awal yang seharusnya ditempuh, bukankah para tenaga medis dan pakar epidemi jauh lebih memahami problematika covid 19. Langkah pemerintah mengganti menteri kesehatan dengan seorang pengusaha seakan sulit diterima oleh akal pikiran, meskipun menteri kesehatan sebelumnya juga dirasa tidak memenuhi kualifikasi seorang menteri.

Semestinya pemerintah harus menggandeng pakar yang mumpuni untuk menemukan solusi dan jalan keluar problematika ini, salah satunya dengan memilih para dokter profesional yang memang memahami permasalahan tentang kesehatan di negeri ini. Dengan demikian tidak ada lagi pihak yang dirugikan atas tindakan keliru dan lalai yang diambil oleh pemerintah.

Kondisi kestabilan pemerintah benar-benar diuji untuk dapat memberitakan informasi yang benar bagi publik. Kebijakan yang diambil seolah tidak serius, banyaknya ketimpangan informasi satu lembaga dengan lembaga yang lainnya seperti menunjukkan bahwa langkah yang diambil berdasarkan nafsu dan kepentingan semata.

Untuk meredam amarah masyarakat terdidik maka pemerintah melakukan defensif dengan menggandeng para buzzer dan influencer yang fungsinya jelas-jelas merusak tatanan demokrasi Indonesia. Menurut Asfinawati selaku Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang menilai bahwa penggunaan influencer dan buzzer telah menciptakan stigmatisasi atau ‘pembelahan’ di tengah-tengah masyarakat (Anon t.t.).

Belum sembuh luka perpecahan masyarakat pada pilpres 2019 silam kehadiran para influencer dan buzzer untuk membela kinerja pemerintah dalam menangani covid-19 menyebabkan kepercayaan publik semakin menurun. Agenda politik yang terus bergulir semenjak covid-19 menunjukkan pemerintah tidak sedang benar-benar hadir untuk menyelesaikan permasalahan publik dan masyarakat luas.

Melainkan pemerintah sedang membayar lunas janji-janji politik pada para petinggi partai, tim pemenangan kampanye bahkan bagi keluarga besarnya sendiri.

Kehadiran buzzer dan influencer dalam tatanan pemerintahan negeri ini tentu saja sangat disayangkan. Keputusan yang diambil oleh pemerintah ini sebenarnya bukan untuk menyelesaikan masalah akan tetapi menimbulkan masalah baru. Tidak sedikit kasus hoaks atau berita bohong yang terjadi sejak pemerintahan Joko Widodo.

Buzzer merupakan masyarakat sipil biasa yang dipilih oleh pemerintah dengan tujuan menyampaikan informasi kepada khalayak. Sedangkan influencer adalah mereka yang memiliki reputasi di tengah masyarakat yang terdiri dari kalangan artis dan juga publik figur.

Peranan keduanya dalam membanguan komunikasi publik tentu saja merugikan masyarakat luas. Mengapa demikian, karena mereka yang dipilih oleh pemerintah menjadi buzzer dan influencer belum tentu mampu menjadi representasi orang banyak, ditambah lagi hal yang perlu diperhatian apakah mereka mampu menjadi teladan yang baik di hadapan publik secara luas, yang berarti bukan menjadi teladan hanya bagi segelintir orang.

Sebut saja berita yang belum lama beredar artis dengan inisial RA yang didapuk menjadi perwakilan milenial mengaku siap divaksin lebih awal, kini menghebohkan jagat pemberitaan dengan perilakunya setelah divaksin kemudian menghadiri acara party yang didalamnya terdapat kerumunan massa.

Masa depan demokrasi negara ini sedang dipertaruhkan oleh rezim presiden Joko Widodo. Lemahnya komunikasi publik yang dibangun oleh pemerintah dengan sistem politik yang cenderung otoriter kini membuat oposisi seakan tidak berdaya.

Media dan panggung politik dikuasai untuk kepentingan penguasa, sehingga membuat keadaan bangsa pada hari ini jauh dari kata dan nilai demokrasi. Kebijakan bukan dibuat untuk kepentingan masyarakat luas, melainkan untuk memuaskan hasrat segelintir orang untuk terus meraup keuntungan di tengah kondisi bangsa yang sedang terpuruk.

Lantas apa yang dapat diperbuat untuk kebaikan negeri ini. Langkah konkret yang dapat dilakukan adalah dengan menggalakkan literasi media guna memberikan pemahaman pada khalayak untuk mampu menganalisis pesan media, serta memahami bahwa media memiliki tujuan komersial/bisnis dan tujuan politik tertentu (Hidaya dkk. t.t.).

Dengan masyarakat mulai melek media atau ikut serta berperan aktif berliterasi media akan hadir budaya baru yang mana masyarakat akan mampu mengkonsumsi inforrmasi-informasi secara sehat (Octalia dan Mughni 2018). Tidak mudah menerima informasi maupun berita yang kebenarannya belum teruji sehingga dengan demikian akan lahir masyarakat yang cerdas dan kuat.

*Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.