Catatan : Mahbub Fauzie*
Lagi-lagi masih tentang menulis. Tentang belajar menulis. Kembali kita membincang tentang belajar kepada para ulama mengenai keikhlasan niat ketika menulis. Ikhlas, sesuatu yang mudah diucapkan namun sulit untuk diterapkan!
Tentang ikhlas memang juga butuh pembiasaan. Pembiasaan melakukan hal-hal terbaik dalam setiap amal perbuatan kita. Termasuk ketika menulis. Jadikan menulis sebagai hobi, sebagai kebiasaan dalam berbagi kebaikan.
Fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan, koma. Lanjutannya adalah jika perilaku baik dan pekerjaan berbagi kebaikan sudah menjadi kebiasaan, maka inilah satu di antara implementasi membiasakan kebenaran. Bukan membenarkan yang biasa.
Era kecanggihan teknologi informasi dalam suasana kebangkitan industri 4.0, dimana laju perkembangan komunikasi manusia sudah sedimikian cepat dan pesatnya, membawa penghuni bumi ini tebiasa termanja-manja.
Informasi begitu cepat, satu, puluhan, ratusan bahkan hingga ribuan orang meninggal akibat terpapar Covid-19 dalam suasana pandemi, begitu cepat terakses kabar beritanya. Ini satu di antara yang bisa diketahui segera dengan canggihnya sarana informasi seperti medsos.
Pun dalam pribadi-pribadi manusia pengguna sarana dan prasarana teknologi informasi sekarang ini. Juga membangkitkan dan bergairah untuk cepat semangat berbagi informasi, hingga hal-hal privasi!
Media sosial sudah sangat akrab dan menjadi karib aktifitas manusia. Kemudahan layar sentuh pada media semacam android menjadikan kita begitu mudah melakukan bagi sana bagi sini atau sharing informasi.
Di sinilah ketika sharing melalui medsos termasuk tulisan, muncul pandangan orang tentang riya’. Suatu istilah yang dalam wacana akhlak mengingatkan kita pada sifat yang bernama ujub dan Riya’. Dua sifat dan sikap masuk dalam kategori akhlak tercela. Akhlak yang harus dijauhi oleh umat Muhammad Saw dan hamba Allah Swt.
Manusiawi dan memang fitrahnya, setiap orang pastilah senang jika dirinya dipuji. Marah dan tersinggung jika dicela dan dicaci! Dipuji berbunga-bunga, dicela menjadi berang akal sehat entah kemana! Itulah manusia.
Rasulullah Muhammad Saw diutus ke permukaan bumi ini bagi umat manusia adalah untuk menyempurnakan akhlak. “Innama bu’istulii utaamima makarimal akhlaq!”. Sungguh aku diutus kepermukaan bumi ini adalah untuk menyempurnakan akhlak! Demikian bunyi hadits Nabi.
Ikhlas dan jujur adalah akhlak mulia. Ujub dan Riya’ adalah akhlak tercela. Karena itu, janganlah sampai ujub dan riya’ menjadi virus yang memapar dalam diri kita ketika bermedsos ria.
Strateginya adalah lakukan kebaikan sebagai kebiasaan. Kerjakan perbuatan baik sebagai tradisi kita dengan difilteri oleh benteng ikhlas berbagi. Berfastabiqul khairat. Jangan jenuh melakukan kebaikan. Jangan bosan berbagi kebaikan. Termasuk ketika kita menulis. Ini barangkali bisa menjadi energi positif ketika kita belajar menulis.
Apalagi jika diri pribadi kita melekat amanah sebagai khadimul ummah. Sebagai pelayan masyarakat. Sebagai guru, penyuluh agama, penghulu, da’i dan mubaligh. Era pandemi adalah momen tepat memanfaatkan medsos dan media online lainnya untuk dakwah, untuk bisa melayani masyarakat.
Makanya ada istilah daring, virtual dan zoom meeting. Ini menuntut para peminat ahli kebaikan ambil peran. Para ulama, para da’i, para penceramah, harus berbagi peran, selain ada yang konsisyen dengan keterampilan bicaranya, perlu juga sebagian yang lain mengasah ‘pena’ intelektual keulamaannya dengan menulis!
Jangan takut dikatakan riya’, pamer atau apapun juga yang merontokkan semangat kita. Niat yang ikhlas dan tulus serta jujur sangat diperlukan dalam setiap amal ibadah. Menulis niatkanlah sebagai ibadah.
Apalagi yang ditulis sesuatu yang bernilai syiar dan dakwah. Berbagi momen kegiatan baik melalui medsos atau media online, niatkan sebagai pemanfaatan positif media informasi. Memang sudah zamannya.
Jika ahli maksiat saja begitu ‘lenggang kangkung’ memposting perilaku-perilaku kemaksiatannya. Mengapa ahli kebajikan takut dan malu dikatakan riya’ dan pamer, padahal itu bukan niatannya!
Riya’ adalah sifat dan sikap ingin dipuji. Ujub adalah merasa bangga dengan kelebihan diri. Maka ini harus kita babat habis dalam diri kita, mulai dari dalam hati dan pikiran kita!
Apa Itu Riya’ dan Ujub, Menurut Literasi Ulama?
Perlu kita merujuk kepada ulama terdahulu untuk memahami istilah Riya’ dan ujub. Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan pelajaran berharga mengenai perbedaan antara riya’ dan ujub (takjub akan diri sendiri).
Ulama ini menjelaskan bahwa betapa seringnya riya’ dan ujub saling bergandengan. Perlu diketahui bahwa riya’ berarti menyekutukan atau menyandingkan dengan makhluk. Sedangkan ujub berarti menyandingkan dengan jiwa yang lemah. Ujub ini adalah keadaan orang-orang yang sombong.
Orang yang berbuat riya’ tidak merealisasikan firman Allah Swt: “Hanya kepada kepada-Mu lah kami menyembah.” (QS. Al Fatihah [1]: 4). Sedangkan orang yang merasa ujub pada diri sendiri tidak merealisasikan firman Allah Swt: “Hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan.” (QS. Al Fatihah [1]: 4)
Selanjutnya Ibnu Taimiyah menegaskan: Barangsiapa yang merealisasikan firman Allah,“Hanya kepada-Mu lah kami menyembah”, maka ia akan terlepas dari riya’ (karena ia akan beribadah pada Allah semata), dan barangsiapa yang merealisasikan firman Allah,“Hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan”, maka ia akan terlepas dari sifat ujub (takjub pada diri sendiri).
Dalam hadits yang ma’ruf disebutkan, “Tiga hal yang membawa pada jurang kebinasaan: pertama, sifat pelit yang ditaati; kedua hawa nafsu yang diikuti; dan ketiga, kekaguman seseorang pada dirinya sendiri” (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath, 5/328. Dihasankan Al Albani dalam Shahiihul Jami’ no. 3045 ).
Manusia memang memiliki kecenderungan ingin dipuji dan takut dicela. Hal ini menyebabkan riya’ menjadi sangat samar dan tersembunyi. Seseorang merasa telah beramal ikhlas karena Allah, namun ternyata secara tak sadar ia telah terjerumus kedalam penyakit riya’.
Rasulullah Saw bersabda, “Maukah kamu kuberitahu tentang sesuatu yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kalian daripada (fitnah) Al masih Ad Dajjal? Para sahabat berkata, “Tentu saja”. Beliau bersabda, “Syirik khafi (yang tersembunyi), yaitu ketika sesorang berdiri mengerjakan shalat, dia perbagus shalatnya karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya“ (H.R Ahmad dalam Musnad-nya. Dihasankan oleh Al Albani Shahiihul Jami’ no.2604)
Rasulullah Muhammad Saw. menjelaskan bahwa riya’ termasuk syirik khafi yang samar dan tersembunyi. Hal ini karena riya’ terkait dengan niat dan termasuk amalan hati, yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala. Tidak ada seseorang pun yang mengetahui niat dan maksud seseorang kecuali Allah semata. Hadist di atas menunjukkan tentang bahaya riya’, karena Nabi Saw khawatir riya’ menimpa para sahabat yang merupakan umat terbaik, apalagi terhadap selain mereka.
Kekhawatiran beliau lebih besar daripada kekhawatiran terhadap ancaman fitnah Dajjal karena hanya sedikit yang dapat selamat dari bahaya riya’ ini. Fitnah Dajjal yang begitu berbahaya, hanya menimpa pada orang yag hidup pada zaman tertentu, sedangkan bahaya riya’ menimpa seluruh manusia di setiap zaman dan setiap saat (I’aanatul Mustafiid, II/90).
Rasulullah Saw bersabda :“Jika kalian tidak berdosa maka aku takut kalian ditimpa dengan perkara yang lebih besar darinya (yaitu) ujub ! ujub !” (HR Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no 6868, hadits ini dinyatakan oleh Al-Munaawi bahwasanya isnadnya jayyid dalam At-taisiir, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no 5303).
Bila kita merasa telah menjadi orang yang baik saja dianggap ujub, sebagaimana ditanyakan kepada Aisyah radliyallahu anha siapakah orang yang terkena ujub, beliau menjawab: “Bila ia memandang bahwa ia telah menjadi orang yang baik” (Syarah Jami As Shaghir). Bagaimana bila disertai dengan menganggap remeh orang lain? Inilah kesombongan.
Belajar kepada ulama terdahulu, sebagaimana dalam mengawali tulisan di kitab dan risalahnya dengan hadits tentang niat. Maka semangat untuk menulis, untuk belajar menulis hendaknya karena ikhlas. Bukan karena ingin dipuji dan takul dicela. Enyahkan riya’ dan ujub itu segera!
Bismillah, menulislah bukan karena maksud ujub dan riya’! Wallahu a’lam bish shawab.
*Alfakir yang masih harus lebih banyak menulis
https://lintasgayo.co/2021/08/25/bismillah-diawali-dengan-niat-ikhlas-belajar-menulis-4/