Untuk Apa Perang? (Kontemplasi 16 Tahun Damai Aceh)

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

“Urang Gayo tikikdi we, bersijegen kite,” begitu amanah Bupati Aceh Tengah, H. Mustafa M. Tamy kepada Panglima GAM Wilayah Linge, Tengku Ilham Ilyas Leubee pada pertengahan tahun 2000.

Amanah tersebut disampaikan langsung oleh Bupati kepada Panglima GAM Wilayah Linge di dalam kamar pribadinya di Pendopo Bupati Aceh Tengah.

Pada saat itu di Pendopo sedang berlangsung pertemuan Muspida plus atau sekarang disebut Forkopimda (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah) yang terdiri atas Bupati, Dandim, Kapolres, Ketua DPRK, Kepala Pengadilan Negeri, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari), Ketua MUI dan Ketua Majelis Adat.

Pak Tami begitu masyarakat Aceh Tengah menyebutnya waktu itu, dianggap nekad memanggil Panglima GAM dalam suasana genting. Satu sisi menjalankan tugas negara, dan di sisi lain mengamankan “pimpinan pemberontak” yang paling dicari oleh aparat.

Sikap itu adalah sebuah pesan; siapa pun yang berada di kolong langit Aceh Tengah dan apapun perannya harus kompak serta sedapat mungkin tidak ada lagi korban masyarakat sipil. Kalau pun harus berperang bermain fairlah; berlaku hanya bagi TNI/Polri dan GAM.

Saya kira itulah tujuan besar Pak Tami. Sehingga untuk mencapai maksud itu, beliau harus “banyak muka” dan jaringan yang sangat rahasia, baik dalam pemerintahan, maupun “clandestine” dari kalangan GAM sendiri.

Orang kepercayaan Pak Tami yang punya koneksi langsung kepada Pimpinan GAM adalah H. Misriadi atau populer dengan panggilan Adi Jan. Peran Adi Jan sangat besar mempertemukan Tengku Ilham dengan Pak Tami.

Pertemuan penting itu kemudian ditindaklanjuti pada level bawahan. Staf Tengku Ilham mulai berhubungan langsung dengan Kadis PU, Ir. Hasanuddin (Sanu) untuk mengerjakan proyek peningkatan jalan Pondok Baru-Samarkilang.

Kebijakan Pak Tamy terhadap GAM, kami yakini atas pengetahuan dan persetujuan Forkopimda. Kami juga mencoba berhubungan langsung dengan anggota Forum itu dan pesannya seragam.

Sayangnya, niat baik tidak selamanya mulus, pertengahan 2001, seiring dengan tekanan militer Indonesia yang mulai meningkat, hubungan antara Pemerintah Aceh Tengah dengan GAM Wilayah Linge mulai renggang. Peperangan demi peperangan kerap terjadi, bahkan tidak jarang melibatkan isu SARA.

Eskalasi penyerangan militer Indonesia terhadap GAM mengalami puncaknya pada Darurat Militer yang menurut akal sehat, kekuatan GAM sudah habis, tetapi takdir berkata lain, justru semakin terjepit semakin pinter bergerilya.

Dalam masa sulit, kami juga merasa penting membangun diplomasi kembali dengan pemerintah. Setiap pasukan diwajibkan berhubungan dengan siapa saja di kampung maupun di kota untuk mencari peluang dukungan masyarakat dalam hal logistik.

Pesan pimpinan, pasukan GAM harus tahan godaan, ketika berdialog akan diiming-imingi atau diberi janji-janji manis dari kelompok masyarakat yang menghendaki mereka untuk turun gunung atau menyerahkan diri.

Ternyata memang benar banyak dari pimpinan GAM yang akhirnya menyerahkan diri kepada aparat dengan berbagai alasan.

Situasi itu tidak serta merta membuat pasukan GAM lainnnya menjadi kecut, mereka masih istiqomah dan terikat dengan sumpah ketika dibaiat awal pertama menyatakan siap menjadi pasukan.

Andai perdamaian Aceh tidak terjadi, pasukan GAM akan patah tumbuh hilang berganti karena mereka semakin cerdas dan menikmati hidup dalam himpitan operasi militer.

Pada saat-saat genting itu, kami semakin berpeluang berhubungan dengan banyak tokoh; di antaranya Ir. Tagore atau kami menyebutnya Bang Tagor. Beliau juga menghubungkan kami dengan tokoh-tokoh penting; di antaranya R. Gautama Wiranegara dan beberapa anggota SGI (Satuan Gabungan Intelijen).

Kami tidak mau menjadi “robot perang” yang hanya tahu “membunuh” atau “dibunuh”. Kami perlu tahu juga mengenai informasi rencana militer Indonesia dari tangan pertama.

Pun demikian tidak ada niat sedikitpun akan menyerah atau berkhianat. Prinsip lebih baik berputih tulang di hutan belantara daripada berputih mata di kampung telah menjadi darah daging dalam tubuh kami.

Pada 24 Desember 2004 gempa bumi dan tsunami meluluhlantakkan Aceh, sehingga mendorong para pihak; RI-GAM untuk berdamai, yang akhirnya pada tanggal 15 Agustus 2005 ditandatangani di Helsinky, Finlandia.

Berlakulah sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Jabir r.a. “Kedatangan kalian sangat bagus karena kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar, yakni mujahadah seorang hamba terhadap nafsunya sendiri.”

Pada masa damai Aceh, hawa nafsu seluruh masyarakat telah diuji selama 16 tahun. Ternyata hasilnya 99,9 prosen jauh dari “nafsu mutmainnah” yang menjadi puncak kesempurnaan dan kebaikan manusia sebagai benteng diri dari setiap keinginan berbuat jahat.

Terbukti juga, perpecahan di kalangan orang Aceh, ibarat batu sudah mengalami pecah seribu karena rebutan harta, tahta dan bahkan mungkin wanita. Ironisnya, masa perang pun “berpuak-puaknya” masyarakat Aceh tidak separah sekarang ini.

Pandemi Covid-19 juga tidak menyadarkan kita untuk bersatu. Kebencian dan kesombongan semakin menyala-nyala yang akibatnya semakin jauh dari kasih sayang sesama kita. Padahal setiap hari kita melihat puluhan berita duka saudara-saudara kita yang menjadi korban virus corona.

Sepaturnya setiap pribadi kita sadar bahwa kita perlu bersatu untuk menuntun virus itu kembali pulang kepada rajanya di pusat lautan. “Sakit Reje” harus ada pemberian “semplah” yang dilakukan oleh kaum adat yang faham tentang tata cara prosesinya yang diiringi do’a para ulama.

Pada masa kini kembali praktik nyata “Adat bak Poeteumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala” harus diwujudkan. Kaum adat dan ulama harus bersatu untuk membebaskan Aceh dari Virus Corona yang kelak akan merubah sistem negara kita.

Anggap saja “perang dan dipenjara” pada masa lalu bagian dari kesempurnaan hidup. Sebagai mana kita tahu, ternyata puncak dari ilmu bela diri adalah tidak berkelahi. Begitupun puncak dari dzikir adalah diam.

“Untuk apa perang?” Pak Tami bertanya kepada dirinya sendiri diujung perjumpaannya dengan Tengku Ilham.

“Ternyata puncak dari perang adalah tidak berperang tatkala kita telah mampu menundukkan hawa nafsu,” Pak Tami menjawab sendiri pertanyaannya dan Tengku Ilham pun merasa seolah membawa beban berat di kepalanya atas pernyataan Pak Tami.

(Mendale, 15 Agustus 2021)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.