Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA*
Perbuatan hati tidak ada yang tahu kecuali diberi tahu
Isi hati tidak boleh diberi tahu karena itu rahasia
Isi hati kalau tidak diberi tahu maka bisa makan hati
Niat dimaknai dengan al-qashd atau maksud atau juga tujuan, ulama sepakat mengatakan bahwa kalau niat adalah perbuatan hati yang tidak ada hubungannya dengan lisan (ucapan). Kalau begitu sebenarnya niat tidak punya lafazh karena kalau dilafazhkan berarti niat sudah menjadi perbuatan lisan bukan lagi perbuatan hati.
Karena niat adalah perbuatan hati (tashdiq bi qalbi) maka sebenarnya tidak ada yang tahu kalau seseorang berniat atau tidak ketika melakukan suatu perbuatan.
Imam Syafi’i meletakkan niat sebagai rukun, artinya niat dilakukan berbarengan dengan perbuatan yang pertama seperti niat shalat berbarengan dengan takbir, karena shalat adalah perbuatan yang didahului oleh takbir disudahi oleh salam dan diselingi dengan bacaan dan gerakan tertentu.
Sedangkan menurut mazhab yang lain menempatkan niat sebagai syarat yakni setelah berniat langsung takbir tanpa diselingi dengan perbuatan lain. Untuk pendapat pertama tidak mungkin menempatkan niat pada perbuatan lisan, karena lisan pada saat itu membaca takbir dan pendapat ini sesuai dengan definisi niat bahwa niat adalah perbuatan hati.
Jadi kebolehan menggabung niat dalam satu waktu dengan takbir didalam shalat karena berbeda tempat satu (takbir) perbuatan lisan dan satu lagi (niat) perbuatan hati.
Pendapat kelompok kedua menyatakan bahwa penggabungan niat dan takbir tidak mungkin dilakukan karena tidak mungkin manusia melakukan dua perbuatan dalam satu waktu dan tidak mungkin manusia mempunyai dua maksud dalam satu waktu, karena tidak mungkin menggabungnya maka ditetapkanlah niat itu sebagai syarat dan tempatnya tetap dalam hati.
Pendapat selanjutnya adalah mereka yang mengatakan bahwa niat tetap tempatnya di dalam hati, namun lebih afdhal bila dilafazhkan, untuk pendapat ini lebih jelas lagi bahwa kedudukannya sebagai syarat dengan menyatukan antara maksud dalam hati dengan ucapan lisan sebagai lafazh.
Satu pendapat lagi mengatakan berdasarkan definisi dari niat yang telah disebutkan maka sebenarnya niat itu tidak harus dinyatakan dalam hati dan juga tidak harus disebutkan secara lisan, tetapi cukup mempersiapkan diri untuk memulai melakukan perbuatan.
Sepeti berdiri untuk shalat, membasuh muka untuk wudhuk, mempersiapkan bahan pelajaran untuk belajar, membaca, menulis dan lain-lain.
Ada lagi pendapat yang mengaitkan niat dengan kondisi dari perbuatan, seperti pelaksanaan shalat lima waktu, zhuhur pada waktu zhuhur, ashar pada waktu ashar, maghrib pada waktu maghrib, isya pada waktu isya dan subuh pada waktu subuh.
Dalam kondisi seperti ini tidak perlu adanya pernyataan niat, karena Allah memerintahkan shalat sesuai dengan waktu yang telah disebutkan dan tidak ada kewajiban shalat lain pada waktu itu, kalau pun ada shalat jama’ maka shalat jama’ itu yang harus diniatkan karena melaksanakan shalat wajib yang bukan pada waktunya.
Demikian halnya dengan perbuatan puasa, maka niat dapat dilakukan dengan tidak harus melafazhkan tetapi cukup dengan menqashadkan dalam hati atau juga boleh melafazhkan dengan lisan dengan qashad tetap dalam hati dan juga kita amalkan seperti pendapat terakhir dengan mengkondisikan perbuatan puasa dengan perbuatan wajib yang tidak boleh dilakukan pada bulan lain dan tidak juga boleh melakukan puasa yang lain (seperti puasa sunat, puasa qadha dan puasa lain ) pada bulan ramadhan, sehingga tidak perlu meniatkanya baik secara qashad dalam hati dan jug tidak perlu lafazh dengan lisan. []