Oleh Johansyah*
Beberapa waktu lalu, saya sempat bincang-bincang dengan kanda Dr. Joni terkait beberapa tempat strategis di Gayo yang sudah dimiliki oleh orang luar Gayo hingga China. Bahkan ada beberapa hotel ternama di Takengon yang rupanya milik mereka. Lalu kata beliau; ‘apa salah mereka? Justru kita orang Gayo yang aneh, dengan mengatakan; ‘nguken urum cineo’.
Ini terutama soal jual beli lahan tanah. Kalau sesama saudara atau orang Gayo yang beli, harganya mungkin dianggap sedikit bila dibandingkan dengan harga yang ditawarkan oleh orang luar, terutama China. Minsalnya kalau sesama saudara hanya laku satu juta permeter, tapi dengan mereka harganya bisa menembus dua hingga tiga juta rupiah sehingga untuknya berlipat ganda.
Wajarlah kalau penjual tanah tergiur karena mendapatkan untung banyak. Tapi dampak sosialnya ke depan bisa jadi sangat menyedihkan. Umumnya tanah-tanah strategis yang menjadi sentra ekonomi-bisnis di seputaran kota, sentra wisata di seputaran danau Lut Tawar, dan lain-lainnya, kemungkinan akan dikuasai orang luar karena mereka mampu membeli dengan harga yang tinggi.
Satu pertanyaan yang patut untuk kita renungkan; berapa persen lagi Gayo dapat dikatakan Gayo? Ini pula yang menjadi salah satu pertanyaan kanda Bentara Linge dalam sebuah diskusi saat kuliah Pendidikan Multikultural di STIT Al-Washliyah Aceh Tengah.
Gayo dalam semua aspek tentunya; adat istiadat, rivalitas bisnis di seputaran kota, dan yang paling penting kepemilikan tanah.
Adat Gayo minsalnya, dari satu sisi kita bangga karena beberapa tahun terakhir geliat kajian adat Gayo terus berkembang dan meningkat.
Ini tidak terlepas dari peran Majelis Adat Gayo (MAG) Aceh Tengah yang banyak berkontribusi tentang bagaimana upaya mempertahankan dan mewariskan adat Gayo dari generasi ke generasi.
Dalam hal ini ada beberapa peran tokoh sentral, yakni kanda Dr. Joni, Bentara Linge, Bapak Banta Cut Aspala, Alm. MY. Sidang Temas, dan sebelumnya ada Bapak Ir. Yusin Saleh, serta beberapa lagi yang lainnya. Mereka begitu gigih mengupayakan agar adat Gayo bisa bertahan dan berkembang.
Namun di sisi lain tidak dapat dipungkiri, beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa kemungikinan beberapa tahun ke depan bahasa Gayo akan punah. Penyebabnya karena semakin sedikit penutur yang menggunakan bahasa Gayo.
Pertama, karena orangtuanya kawin silang, dan kedua, karena orang Gayo (bedetak) tidak peduli dengan bahasa Gayo. Terus terang, bagi saya sendiri ini tantangan. Dulu ketika tinggal di Lampahan, Bener Meriah, banyak tetangga yang bersuku Aceh dan Jawa sehingga keseharian, anak-anak saya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia ketika berinteraksi dengan mereka. Terkadang di rumah terbawa-bawa, kita juga berkomuniukasi dengan anak-anak, menggunakan bahasa Indonesia. Ini patut dicermati.
Selanjutnya mari pula lihat orang yang berjualan di seputaran kota. Kalau kita berjalan dari arah Kebayakan, jalan lintang, hingga terminal, berapa persen orang Gayo yang menjadi pemilik maupun pelaku bisnis di sana? Saya kira sangat sedikit. Kebanyakan saudara kita dari pesisir, dan beberapa yang lainnya.
Bukan soal koro jamu, tapi pola pikir sosial kita yang dulunya yang kurang prediktif dan visioner. Awan-anan kita dulu mungkin tidak membayangkan suasana masa kini dan selanjutnya seperti apa. Secara geografis wajar juga.
Dulu untuk mendapatkan tanah satu dua hektare bukanlah masalah. Bahkan dulu tanah di bagi-bagi ke sesama saudara maupun teman. Sekarang, tanah satu hektare-jangankan di kota, di perkampungan saja sudah sulit mendapatkan karena harganya yang semakin tinggi.
Sekarang, tanah yang letaknya strategis di wilayah perkotaan harganya sudah sangat mahal. Makanya terkadang muncul filosofi keliru; ‘nguken urum cineo’. Sesama keluarga jual-beli tanah harganya terlalu murah, tapi kalu kepada orang lain, bisa diperoleh keuntungan yang berlipat ganda.
Apalagi China yang memang targetnya untuk bisnis. Tanah semeter tiga juta, bukan masalah buat dia. Bahkan mungkin dia akan melebihkan dari harga seharusnya.
Jika perhitungannya bisnis dan keuntungan, si penjual tanah tentu untung. Tapi dampak sosialnya yang mengkhawatirkan. Semakin lama orang Gayo yang memiliki tempat-tempat strategis semakin sedikit. Sebaliknya, para pendatang semakin banyak.
Pada akhirnya akan terjadi teori terbalik; pendatang jadi raja, pribumi jadi tamu di rumahnya sendiri. Tidak hanya itu, pola ketergantungan terhadap pendatang mungkin akan segera berlaku.
Kita akan memiliki ketergantungan besar terhadap mereka karena mereka punya modal, mengusai wilayah strategis, dan berpotensi mengatur. Lambat laun, kita akan tunduk kepada meraka. Ketundukan itu dengan sendirinya terjadi akibat pergeseran posisi antara pendatang dan pribumi.
Objek-objek wisata di seputaran Danau Lut Tawar juga demikian, Ujung Paking siapa yang punya? Hotel Renggali siapa yang punya? dan tempat-tempat lainnya, siapa yang punya? Jika ada pamplet di seputaran danau; ‘tanah ini dijual’, kira-kira siapa yang membelinya?
Sanak keluarga, atau teman? Kemungkinannya kecil karena harga yang dipatok cukup tinggi. Jika dikalkulasi keseluruhan bisa milyaran. Otomatis calon pembelinya adalah setingkat orang yang sudah memiliki aset milyaran rupiah, dan sedikit sekali orang Gayo yang memiliki aset sebanyak itu.
Villa Ujung Paking kabarnya mau dijual, tapi siapa yang sanggup membelinya? Kecuali pemerintah daerah berinisiatif untuk menjadikannya sebagai aset dan mengembangkannya menjadi salah satu objek wisata strategis di seputaran danau lut tawar. Lagi-lagi pertanyaannya, apakah pemerintah daerah memikirkan hal ini?
Dulu hotel renggali kabarnya sempat dibeli oleh bapak Mustafa M. Tamy (mantan Bupati Aceh Tengah). Saya tidak tau berapa tahun lamanya. Namun kemudian hotel ini dijual. Sekarang kabarnyan pemilik hotel tersebut juga adalah orang China. Datang kita orang Gayo dari perkantoran dan dari berbagai lembaga, mengadakan kegiatan di sana. Begitulah, mereka terus untung.
Gayo dari aspek kepemilikan dan penguasaan wilayah strategis bisa dikata sangat sedikit. Kini susah mulai terasa bahwa Gayo bukan Gayo, karena Gayo bedetak sudah mendiami wilayah-ilayah marginal dengan filosofi munebang uten-nya.
Atau mungkinkah kita enjoy dengan kondisi ini. Pendatang menjadi ponguasa tidak masalah, lalu assabiqunal awwalun (pribumi) menjadi tamu. Memang sama sekali tidak masalah, tapi dampak psikologi-sosialnya akan segera kita rasakan.
Heteroginitas-multikultural adalah sebuah keniscayaan. Interaksi campuran antar etnis adalah kenyataan masyarakat kontemporer. Persoalannya kita tidak mempersiapkan atau belum mempersiapkan diri dengan baik dalam menghadapi heteorgenitas itu.
Dalam heterogenitas, pola bersaing menjadi hal yang lumrah. Bukan berusaha menjatuhkan antar satu dengan yang lainnya, tapi bersaing secara sehat. Maka salah satu filosofi yang harus direkontruksi adalah ‘nguken urum cineo’.
Baik dengan orang lain (yang beda suku hingga agama) adalah modal untuk berkembang, tapi baik dengan diri sendiri (sesuku) itu merupakan modal untuk mempertahankan diri. Wallahu a’lam bishawab!
*Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah





