Oleh : Zulfikar Akbar*
Kenapa Aceh bisa menjadi provinsi termiskin di Sumatera?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, kita mulai saja dulu dengan menemukan kesalahan sebenarnya ada di mana?
Apakah gubernurnya yang salah?
Saya rasa tidak tepat menimpakan masalah 5 juta lebih penduduk provinsi Aceh hanya kepada satu orang saja. Mungkin benar, sebagai seorang manusia gubernurnya juga memiliki kesalahan. Cuma, gubernur ini sendiri bukan dari awal jabatannya sudah menjadi gubernur, dia baru duduk di kursi Aceh-1 setelah Irwandi Yusuf berurusan dengan hukum.
Karena itulah di sini saya sendiri lebih tertarik melihat kesalahan secara umum saja. Bahwa posisi Aceh sebagai daerah termiskin di Sumatera, bukan andil satu-dua orang saja, melainkan andil dari banyak orang.
Aceh menjadi provinsi termiskin di Sumatera salah satunya terjadi karena Aceh punya masalah dalam melihat perubahan. Dalam hal ini, kami orang Aceh cenderung sangat konservatif, kaku, dan sangat tertutup.
Orang Aceh, cenderung merespons perbedaan dengan kecurigaan. Di Aceh, sikap kritis hanya tumbuh di kalangan aktivis, tetapi mentok sampai di situ saja, sikap kritis ini tidak bisa leluasa mengalir jauh.
Ketika ada orang luar yang datang ke Aceh, kedatangan mereka, lagi-lagi acap direspons dengan kecurigaan. Ada ketakutan kalau orang luar itu hanya akan membuat kekhasan Aceh menghilang.
Di Aceh, pemikiran-pemikiran baru, atau pemikiran yang berbeda dari pemikiran arus utama (mainstream), bisa dipastikan akan menemui banyak benturan dengan hal-hal yang tidak penting.
Contoh sederhana, tren semisal E-Sport saja, meski “olahraga” ini banyak memunculkan bintang dari Aceh, tapi potensi ini justru terberangus oleh beberapa figure (tokoh) yang berpikiran terbelakang.
Kasarnya, orang cerdas di Aceh banyak terkesampingkan. Sementara orang terbelakang, maksudku, yang hanya terorientasi masa lalu justru yang mengendalikan kekuasan. Mereka menguasai banyak lini di kehidupan masyarakat Aceh.
Contoh sederhana lagi, banyak eks kombatan yang terbilang tidak berpendidikan, bisa mendapat pengaruh besar, sedangkan yang berpendidikan nyaris tak digubris. Intelektual di Aceh punya banyak wacana, tetapi wacana yang mereka apungkan acap hilang begitu saja karena tidak ada kekuatan yang mendukung mereka.
Kenapa hal seperti ini bisa terjadi? Itu terjadi karena akhirnya yang menjadi penentu hanyalah kalangan yang lebih punya pengaruh. Dan biasanya mereka adalah kalangan eks kombatan.
Ada beberapa ide yang bisa mendapatkan pengaruh besar dari beberapa intelek, salah satunya adalah ide syariat Islam. Cuma sialnya, ide ini pun nyaris tidak memiliki efek yang bisa membuat Aceh bangkit. Bahkan sebaliknya, dengan adanya penerapan hukum Syariat Islam, Aceh lebih sering jadi cibiran.
Ini disebabkan oleh karena ide syariat Islam (versi Aceh) ini sendiri, nyaris tidak punya kekuatan (untuk membuat Aceh bangkit), semisal lewat zakat dan lain sebagainya. Dalam hukum syariat Islam yang diterapkan di Aceh, sisi ini justru nyaris tidak diatur dengan serinci mungkin, atau membuatnya lebih membumi, untuk memberdayakan masyarakat miskin, misalnya.
Yang menonjol dari penerapan syariat Islam di Aceh hanyalah seputar hukuman, cambuk dan cambuk lagi. Islam disempitkan, karena apa yang ditonjolkan dari agama ini hanya dari sisi hukum sekelas itu saja.
Penerapan seperti ini membuat seolah tidak ada gagasan lain yang digali bisa dari dalam Islam untuk mendorong munculnya hal-hal yang jauh lebih dibutuhkan untuk menjamin kesejahteraan masyarakat di sana. Di Aceh, masjid berdiri megah di mana-mana, tetapi soal masyarakat miskin yang terkadang rumah pun mereka tak punya, justru tidak digubris.
Kasarnya, seolah Tuhan butuh kemewahan, sedangkan ciptaan-Nya yang lemah tidak butuh apa-apa. Di masa lalu, kondisi seperti ini, gampang diredam dengan narasi bahwa semua itu karena kesalahan pusat (pemerintah pusat).
Akibat dari suksesnya narasi seperti ini, hanya sedikit (orang Aceh) yang tergerak untuk melihat persoalan secara lebih reflektif. Bahwa benar, tidak bisa dipungkiri kalau pada saat itu pusat terkesan rakus. Ini tak bisa kita nafikan, tetapi meskipun begitu, semestinya masyarakat Aceh juga jujur melihat kesalahan-kesalahan di dalam pikiran dan “habits” (kebiasaan) dalam hidup mereka sendiri.
Ambil contoh budaya kerja, bahkan untuk kuli bangunan pun, buruh yang berasal dari kalangan masyarakat Aceh sering tidak dipercaya oleh sesama orang Aceh sendiri.
Kenapa? Sebab sudah seperti menjadi pemahaman umum kalau kuli bangunan dari kalangan Aceh itu bersifat Beu’eu (malas) dan banyak main-main. Alhasil, kuli bangunan berdarah Jawalah yang akhirnya lebih mampu merebut “pasar” pekerja di ranah bangunan.
Ini baru satu gambaran kecil terkait budaya kerja. Belum lagi kita bicara di lingkaran birokrasi. Saya yang orang Aceh dan lahir di sana saja, untuk mengurus sertifikat tanah saja rumit minta ampun.
Artinya, menurutku, ada persoalan mentalitas dari atas sampai bawah yang masih mewabah.
Mulai dari masalah integritas, kinerja, dan lain sebagainya, masih banyak yang mesti dibenahi oleh Aceh.
Namun ironisnya, justru hal-hal seperti itu yang acap luput, karena di Aceh ada kecenderungan; asalkan terlihat alim saja, semua selesai!
Maksudnya, asalkan terlihat soleh, rajin bicara agama, dan lain sebagainya, segalanya lantas dianggap beres. Jadinya, mentalitas semrawut bikin Aceh semrawut.
Kemudian, katakanlah ada semacam peta jalan dari mana ke mana membangun Aceh, lagi-lagi peta itu acakadut, karena masing-masing pihak yang terlibat larut dalam perebutan siapa paling pantas dan paling layak berkuasa.
Gubernur Aceh sekarang terbilang berpendidikan. Namun ia juga kelimpungan, karena dia tidak mempunyai kekuatan sebesar yang dimiliki oleh kelompok-kelompok yang punya pengaruh di sana. Secerdas-cerdasnya gubernur sekarang, ia terbilang kalah pamor dibandingkan Irwandi Yusuf yang menjadi gubernur sebelumnya.
Nova Iriansyah, gubernur sekarang, lemah dalam pengaruh di tingkat lokal, juga lemah dalam pengaruh di pusat. Jadinya, saat ia mau lakukan apa saja, pasti ada saja benturan yang harus dia hadapi, dan sejatinya dia membutuhkan kekuatan yang lebih besar dari apa yang ia punya.
Dengan situasi seperti ini, jadilah, persoalan mentalitas di tingkat akar rumput, ditambah pemimpin yang walaupun berpendidikan tapi lemah dalam hal pengaruh di daerah maupun pusat, membuat Aceh jalan di tempat.
Sampai saat ini, kita belum menemukan adanya figur yang memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan pentolan beberapa eks GAM. Akibatnya, tidak ada dan tidak terbangun sinergi yang bisa menggerakkan Aceh untuk bisa berjalan ke depan, guna mencapai titik lebih maju.
Ibarat rumah tangga, Aceh, di dalam rumah sibuk berantem sesama penghuni rumah, sedangkan di luar rumah sulit bersosialisasi dengan tetangga.
Inilah kenapa, salah seorang sahabat di Aceh bilang, “Awak tanyoe caroeng urusan meukloek kedroe-droe. Urusan peuget, hana cara. Mandum galak jeut keu raja.”
Kalau diterjemahkan secara ringkas “orang Aceh gemar bertengkar, jika bukan dengan orang luar, sesama Aceh sendiri juga jadi.”Sebab semua ingin jadi raja! Hana lawan awak kee.
Dari sini kita bisa melihat, jangankan kerja sama dengan orang di luar Aceh, kerja sama dengan sesama orang Aceh pun susah.
Sementara di era sekarang, orang yang tidak mampu bekerja sama, bisa dipastikan akan terkucil sendiri. Di Aceh, narasi anti-asing sangat kencang. Di satu sisi, narasi ini sebenarnya bagus, dengan catatan jika segalanya sudah mampu diurus sendiri. Masalahnya, yang terjadi di Aceh sekarang ini, sudahlah mengurus diri belum mampu, bekerja sama dengan orang luar pun tidak mau.
Akibatnya, jadilah Aceh sibuk memuji diri diam-diam, “Kamoe bansa teulebeh ban sigom donja!”
Ya, memuji diri sebagai bangsa terbaik di atas muka bumi. Namun bersaing dgn tetangga dekat seperti Medan saja (Sumut) kami kalah jauh.
Medan (Sumut) kenapa bisa maju, tak lain karena mereka lebih terbuka, lebih realistis, dan terbiasa berkolaborasi sekaligus berkompetisi.
Sementara kami orang Aceh, berguru kepada tetangga dekat ini saja ogah-ogahan. Padahal Sumut sebagai tetangga dekat memang bisa menjadi teman belajar yang baik. Mereka unggul di banyak hal. Sumut bisa membawa pengaruh di Sumatera, nasional, hingga mancanegara.
Aceh? Cuma di masa lalu pernah begitu. Setelahnya, sibuk bernostalgia dengan masa lalu yang gilang gemilah itu, tanpa mau membuka mata untuk melihat realita hari ini.
Lalu kemudian pertanyaan, kalau Aceh sudah seperti ini, bagaimana caranya Aceh bisa berubah?
Jawabannya, Bangun tidur saja dulu. Buka mata lebar-lebar, cuci muka, lihat hari ini dengan kacamata hari ini.
Jangan terpaku dengan masa lalu.
*Penulis adalah wartawan asal Aceh pemenang “Wings Journalist Award 2018 ” yang saat ini berdomisili di Jakarta.
Note : Catatan ini disadur dari thread cuitan Zulfikar Akbar di Twitter.
16 Februari 2019, Zulfikar Akbar membuat thread ini untuk merespon secara serius pertanyaan teman-temannya seperti @olietamami dan @anandasukarlan di akun twitter miliknya.
Tadinya, karena waktu menjelang maghrib dan dia akan segera menunaikan shalat, Zulfikar Akbar merespons komentar-komentar tentang fakta bahwa “Aceh adalah provinsi termiskin di Sumatera” yang masuk ke akunnya dengan guyon saja.
Seusai shalat, dia terpikir untuk mengulik sedikit tentang penyebab ketertinggalan Aceh sekaligus mengapresiasi berbagai pertanyaan yang masuk dari orang-orang yang menurutnya pasti ikut merasa sedih melihat keadaan Aceh yang seperti ini.
Atas persetujuan Zulfikar Akbar, LintasGAYO.co merangkum dan menerbitkannya menjadi sebuah artikel utuh melalui sedikit proses pengeditan agar lebih enak dibaca. (WWN)