Kisah Burung Gagak dan Burung Phoenix

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, Soeharto meninggalkan beberapa warisan baik (Legacy) untuk Indonesia. Salah satunya adalah SD Inpres yang merupakan bagian dari proyek wajib belajar tahun yang dia canangkan di masa pemerintahannya.

Saya sendiri adalah produk dari SD Inpres ini. Saya dulu bersekolah di SD Negeri Karang Jadi, sebuah SD Inpres yang terletak di kampung Fajar Harapan, 20 kilometer dari Takengen, di wilayah Kecamatan Timang Gajah yang saat ini masuk dalam kabupaten Bener Meriah.

Sedikit berbeda dengan sekolah negeri biasa, di SD Inpres, selain pemerintah melengkapinya dengan berbagai perlengkapan fisik, pemerintah juga melengkapi SD Inpres dengan buku-buku yang diperlukan siswa untuk mendukung proses pembelajarannya.

Buku-buku ini bukan hanya buku pelajaran, tapi juga buku-buku pendukung lain baik itu fiksi maupun non fiksi untuk membuka dan wawasan para siswa yang umumnya tinggal jauh dari kota.

Buku-buku non fiksi itu banyak yang terdiri dari buku bergambar berisi cara menanam bawang, Cabe dan sejenisnya. Juga buku-buku bergambar terbitan Balai Pustaka yang berisi pengetahuan tentang aneka subjek, seperti hewan, tumbuhan, proses pembuatan jalan, gedung tinggi sampai gunung dan pegunungan. Selain itu ada juga buku bergambar dan berwarna yang memberi informasi tentang satwa, tumbuhan dan aneka ikan hias dan ikan konsumsi yang hidup di perairan Indonesia.

Buku-buku fiksi terdiri dari cerita rakyat dari pelbagai daerah di Indonesia, cerita yang diambil dari fragmen perwayangan atau cerita berbasis sejarah seperti kisah Ken Arok dan Ken Dedes, Cindelaras, Ciung Wanara, Anusapati dan Tohjaya, Kisah Rama dan Sinta dan lain-lain.

Selain cerita-cerita lokal, juga ada buku yang berisi kisah dongeng mancanegara, salah satu yang juga saya sangat suka adalah kumpulan dongeng-dongeng asia, yang mengisahkan dongeng-dongeng populer dari pelbagai negara di benua Asia.

***

Salah satu dongeng dalam kumpulan dongeng-dongeng Asia yang sangat saya suka yang kisahnya tetap melekat di ingatan saya sampai sekarang adalah “Kisah Burung Gagak dan Burung Phoenix ” yang saya jadikan judul artikel ini.

Di kebudayaan barat, Phoenix dikenal sebagai burung keramat yang dipercaya berasal dari mitologi Mesir.

Penggemar film dan buku Harry Potter tentu mengenal burung ini sebagai burung yang ada di ruang kerja Profesor Dumbledore.

Sementara itu di Tiongkok, Phoenix dikenal dengan nama Feng Huang. Phoenix jantan disebut Feng dan yang betina disebut Huang. Tapi sekarang ini perbedaan kelamin tersebut sudah jarang lagi dipakai.

Di Indonesia, Fenghuang sendiri biasanya dikenal dengan nama dalam dialek bahasa Hokkian yaitu, Hong. Dalam keseharian, kita biasa melihat desain burung Hong ini dalam motif batik Lasem atau Pekalongan.

Dalam masyarakat Tiongkok, burung Hong dipercaya sebagai salah satu dari empat satwa keramat bersama dengan naga, kilin (kuda api), dan kura-kura.

Di masa lalu, burung Hong alias Phoenix menjadi lambang agung yang hanya dapat dikenakan oleh permaisuri kaisar Cina. Selama berabad-abad, Phoenix menjadi satu-satunya motif resmi kerajaan yang digunakan sebagai sulaman di jubah permaisuri, mahkota, hiasan rambut, tusuk, konde, dan aksesori mewah lainnya. Semuanya hanya boleh digunakan oleh sang ratu.

Dalam kebudayaan Tiongkok, Phoenix diyakini sebagai ‘rajanya para burung’, makhluk ini adalah burung paling terhormat di antara segala jenis burung.

Phoenix digambarkan memiliki bulu dengan lima warna dasar, yaitu hitam, putih, merah, hijau, dan kuning yang merupakan lambang lima kebajikan.

Jika burung Phoenix terbang, ekornya yang bersinggunggan dengan angin akan menghasilkan suara musik yang indah menghanyutkan. Burung Phoenix suka muncul pada saat sebuah negara mengalami malapetaka. Kemunculannya diyakini masyarakat Tiongkok akan memperbaiki keadaan dan mendamaikan suasana.

Phoenix membangun sarangnya di puncak tinggi, dia membuatnya dari kulit kayu manis dan rangkaian kelopak bunga yang harum dan direkatkan dengan getah myrrh kuning menggunakan cakar dan paruhnya yang bersinar.

Sebagai rajanya burung, Phoenix tidak mau makan sembarangan, dia tidak makan biji-bijian, daging maupun tumbuhan. Makanannya hanya tetesan kayu damar yang harum serta cairan dari kapulaga.

Singkatnya, dalam mitologi Cina, Phoenix merupakan simbol dari kebajikan tinggi dan rahmat, serta kekuasaan dan kemakmuran.

Sedangkan Gagak, sebaliknya. Seperti di banyak kebudayaan lain, di Tiongkok pun gagak dianggap sebagai pertanda dan pembawa kesialan. Bulunya berwarna hitam legam, tidak menarik sama sekali. Suaranya serak, membuat sakit telinga dan bisa menaikkan tensi dan emosi orang yang mendengarnya.

Untuk makanan, gagak tidak pilih-pilih, burung yang dikenal suka mencuri ini akan menyikat apa saja yang tampak di depan hidungnya. Mulai dari bebijian buah-buahan, telur burung lain, serangga, hewan-hewan kecil, bangkai hewan besar sampai tumpukan sampah manusia akan dia lahap dengan rakus.

Dalam kisah Burung Gagak dan Burung Phoenix yang saya baca sekitar 40 tahun yang silam, ada satu adegan dalam cerita itu yang begitu melekat dalam ingatan saya hari ini.

Di sana dikisahkan, satu waktu burung gagak menemukan bangkai hewan besar yang berbau busuk. Gagak begitu gembira, layaknya menemukan harta karun, diapun menyantap bangkai busuk itu dengan rakus tapi dengan sikap waspada. Gagak tidak ingin siapapun merebut bangkai miliknya yang berharga. Sambil makan, matanya terus jelalatan, berjaga-jaga kalau ada makhluk lain yang berniat merebut bangkai miliknya.

Sedang asyik menikmati santapannya, gagak mendengar suara musik yang merdu bersamaan dengan hembusan angin lembut yang menerpanya.

Gagak mendongak, dilihatnya tak begitu jauh dari tempatnya makan, seekor burung Phoenix terbang dengan anggun dan tak lama lagi akan melintas tepat di atasnya.

Gagak pun langsung gugup, yang terlintas di pikirannya Phoenix, si raja dari segala raja burung ini akan merebut bangkainya. Melihat itu, si gagak pun berkoak dengan suara seraknya yang jauh dari kata merdu, berkoak-koak dengan maksud mengancam Phoenix.

Dalam bayangan si gagak, dengan ancaman dan suara seraknya serta tampilannya yang garang, Phoenix yang bermahkota burung merak, bertulang punggung mirip naga dan berkulit sekeras kura-kura ini akan takut dan tidak akan berani merebut bangkainya yang bagi si gagak nilainya laksana harta karun saja.

***

Kisah ini begitu membekas bagi saya karena waktu itu, saya yang masih duduk di kelas 2 SD seringkali merasa terganggu dengan sikap beberapa teman yang merasa bersaing dengan saya, padahal saya sendiri tidak pernah merasa begitu. Setelah membaca kisah, ini setiap kali saya menghadapi situasi seperti itu dan ada teman yang merasa bersaing dengan saya, padahal saya tidak merasa. Saya cuma tertawa, karena saya langsung teringat pada gagak yang berkoak mengancam Phoenix yang dia pikir akan merebut bangkai miliknya.

Belasan tahun kemudian, saya belajar psikologi di Universitas Medan Area. Karena sangat suka dengan subjek ini, selain pelajaran yang diberikan dosen, saya juga sangat aktif mencari referensi dan dalam proses ini saya mengenal Jean Piaget, bapak psikologi perkembangan asal Swiss.

Dari Jean Piaget, saya mendapatkan penjelasan ilmiah dari sisi psikologi atas sikap si burung gagak dalam cerita dongeng Tiongkok yang pada masanya jelas dibuat untuk menyindir perilaku manusia bodoh yang karena kebodohannya menilai diri sendiri kelewat tinggi.

Menurut Piaget, dalam perkembangannya pada satu masa manusia akan melalui sebuah tahapan perkembangan kognitif yang disebut Pra Operasional. Pada tahapan ini, pemikiran seorang anak masih bersifat egosentris. Seperti burung gagak di cerita ini, pada tahap ini seorang manusia belum mampu untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Apa yang menurutnya berharga, dipikirnya juga berharga bagi orang lain. Apa yang dia tidak suka, menurutnya, sudah pasti tanpa keraguan sedikitpun tidak disukai orang juga.

Manusia di tahapan ini merasa dirinya adalah pusat dunia, segala kebenaran berpusat pada dirinya. Apa yang dianggapnya benar, pasti orang seluruh dunia menganggapnya benar juga. Apa yang dianggapnya salah, pasti seluruh dunia menganggapnya salah.

Dalam perkembangan kognitif yang normal, tahap ini biasanya berlangsung pada anak usia 2 – 7 tahun.

Tapi, karena tidak diasah dan dilatih, untuk beberapa kasus, kadang pola pikir khas Pra Operasional ini terbawa sampai usia dewasa secara kronologis, bahkah melekat di kepribadian. Biasanya, ini terjadi pada orang-orang yang kurang rasa ingin tahu dan rendah literasinya.

Kalau di masa sekarang, ini bisa kita lihat pada fenomena orang yang sudah garang komentar dari artikel padahal dia hanya membaca judulnya.

Orang- orang yang dewasa secara umur tapi secara kognitif gagal melewati tahap pra operasional ini biasanya akan ngotot menilai orang lain berdasarkan ukuran dirinya, sendiri.

Sebut misalnya ada orang yang mengatakan “Udahlah, jangankan si polan. Kamu aja, kalau kamu buat partai, apa kamu mau partai yang kamu dirikan dengan susah payah jatuh ke tangan orang lain? Paling jangankan partai, kamu bikin organisasi saja, mati-matian kamu pertahankan. Yang nggak ada pun kamu rebut mati-matian biar kamu terkenal”

Atau “Ini sudah kami bahas dengan kawan-kawan, dia itu begitu karena kurang oporan. Kalau sudah ada oporan, mana ada lagi langsung diam”

Dia menilai dan menghakimi orang dengan ukuran dirinya sendiri. Karena dia merasa dirinya adalah pusat dunia, dia menyangka apa yang benar menurutnya pasti benar menurut siapa saja dan itu sifatnya mutlak tak bisa dibantah oleh siapapun.

Ketika dia menghakimi orang berdasarkan ukuran dirinya, dia pikir dia sudah menelanjangi orang yang dia serang.

Padahal yang terjadi, dia sedang menelanjangi dirinya sendiri. Sebab apa yang dia ceritakan dan umbar itu sebenarnya adalah 100% cerminan dari diri dan kepribadiannya sendiri.

Inilah contoh, manusia yang secara usia kronologis sudah dewasa, tapi secara usia psikologis, perkembangan kognitifnya gagal melewati tahap pra operasional.

Karena itulah, agar terhindar dari kegagalan seperti ini. Manusia sangat dianjurkan untuk membaca. Jangan hanya pelajaran sekolah yang dibaca, tapi bacalah berbagai literasi, entah itu non fiksi maupun sastra, termasuk dongeng-dongeng. Sebab di balik cerita yang jelas-jelas tahayul itu sebenarnya tersimpan hikmah.

Dengan begitu, kita tidak menjadi Gagak yang dengan naif berpikir burung Phoenix akan merebut bangkainya lalu karena merasa sudah berhasil mengusir Phoenix, sang gagak menceritakan kebodohannya ini di depan khalayak banyak dengan penuh rasa bangga.

*Dewan Redaksi LintasGAYO.co

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.