Oleh Mahbub Fauzie*
Pendidikan merupakan bagian terpenting dari suatu proses pembentukan integritas dan pematangan kepribadian seseorang. Proses pembentukan integritas dan pematangan kepribadian ini; meliputi integritas jasmaniah, intelektual, emosional dan etis dari seseorang atau individu agar menjadi manusia paripurna (insan kamil).
Karena itu, pendidikan bukanlah hanya sekadar mentransfer pengetahuan atau hanya mengembangkan aspek intelektual, melainkan juga untuk mengembangkan karakter, moral, nilai-nilai dan budaya peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan adalah upaya membangun budaya, membangun peradaban, dan membangun masa depan bangsa melalui pembangunan manusia seutuhnya.
Karena itu, kesadaran terhadap tujuan pendidikan harus dijadikan titik tolak dalam menuju arah atau dalam proses pendidikan. Harus disadari bahwa, dalam pandangan Islam, tujuan pendidikan harus sejajar dengan pandangan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang mulia.
Mulia karena manusia memiliki potensi akal dan budi sebagai pengecualian dari makhluk yang lain. Manusia, dengan akalnya, perasaannya, ilmunya dan kebudayaannya pantas menjadi khalifah di muka bumi ini; Sasaran pendidikan Islam adalah terbentuknya insan kamil, yakni manusia yang beriman dan bertakwa. Untuk mencapai sasaran tersebut diupayakan sepanjang manusia itu hidup di dunia yang fana ini.
Selanjutnya, meskipun sasaran itu sudah tercapai, namun proses pendidikan Islam tidak harus berhenti sampai di situ; proses pendidikan dalam Islam harus tetap berlangsung dalam rangka pengembangan dan penyempurnaan, sekurang-kurangya agar tidak luntur dan mengalami degradasi.
Sebab, tujuan utama pendidikan Islam setidaknya dapat dipahami melalui referensi kitab suci Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya. Diantaranya tersurat dan tersirat dalam Firman Allah SWT pada Surat Ali-Imran ayat 102 yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.
Kalimat: “Walaa tamuwtunna illaa wa antum muslimuuna”. Mati dalam keadaan Islam, sebagaimana akhir ayat di atas, juga bermakna mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah SWT. Itulah yang merupakan tujuan akhir dari proses hidup, dan ini merupakan kegiatan pendidikan. Inilah akhir dari tujuan yang dapat kita sebutkan sebagai tujuan utama pendidikan dalam Islam. Insan Kamil atau manusia paripurna yang mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah SWT inilah tujuan akhir dari pendidikan Islam.
Jika merujuk kepada tujuan utama dari pendidikan di atas, maka betapa berat dan sekaligus sangat mulia tugas pelaku pendidikan dalam Islam. Yakni para guru atau pendidik. Tugas pendidik jika disadari sangatlah berat dan sekaligus mulia karena berkaitan dengan pembentukan kepribadian anak didik. Dan ini tidak sembarangan. Tidak hanya sambil jalan.
Namun harus penuh perhatian dan membutuhkan sumber daya pendidik muslim yang handal. Yang mumpuni iman, ilmu dan amalnya serta keistiqamahannya. Inilah keutamaan pendidik dalam perspektif Islam.
Hal yang sangat penting untuk lebih diperhatikan oleh orang yang berkepentingan dengan dunia pendidikan Islam adalah keberadaan orang-orang yang bertanggung jawab langsung di dalam pendidikan itu sendiri, yaitu sosok seorang guru. Sosok sporangi pendidik.
Sosok seorang guru atau dosen (sebagai pendidik) adalah merupakan orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan dan bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, yang kelak diharapkan mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah, khalifah di permukaan bumi, sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.
Walau sebenarnya sudah menjadi pemahaman semua orang, bahwa pihak yang pertama bertanggung jawab terhadap pendidikan anak adalah keluarga atau orangtua. Sebab adanya pertalian darah yang secara langsung bertanggungjawab atas masa depan anak-anaknya.
Namun karena tidak semua orangtua mempunyai kemampuan, waktu dan sebagainya, maka mereka menyerahkan sebagian tanggung jawaabnya kepada orang lain yang berkompeten untuk melaksanakan tugas mendidik, yaitu seorang guru.
Berbicara tentang guru, maka pembicaraan yang secara mendalam akan lebih difokuskan kepada sosok seorang pendidik yang di sana akan banyak hal untuk dapat kita soroti dan kita gali untuk dianalisis dan didiskusikan. Terutama menyangkut kepribadiannya.
Oleh karena itu, ketika berbicara tentang guru, maka tidak asing lagi dengan adagium sosok “yang digugu” dan “yang ditiru”. Digugu maksudnya adalah apa yang diucapkan, yang disampaikan selalu layak untuk dipatuhi dan diperhatikan. Ditiru maksudnya apa yang dilakukan layak untuk dicontoh dan diikuti.
Jika dalam tatanan masyarakat kita masih senantiasa menjadikan guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru, serta si guru itupun menyadari eksistensinya sebagai sosok yang berperan penting dalam pendidikan, apalagi dalam pendidikan Islam, maka peristiwa-peristiwa pelecehan terhadap guru atau melecehkan profesi guru, tidak akan pernah terjadi.
Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana kita mewujudkan wahana pendidikan (baik lembaga-nya, guru-nya dan anak didik-nya) yang keberadaannya searah dengan tujuan pendidikan Islam. Yaitu yang benar-benar ingin menciptakan generasi muslim yang cerdas, penuh iman, berakhlaqul-karimah dan giat dalam amal shaleh (kreatif)) serta yang terpenting adalah senantiasa menjadi hamba Allah yang selalu berserah diri, hidup dan mati-nya tetap dalam keadaan Islam, sebagaimana pesan ayat dalam kitab suci. Wallahu a’lam bis shawab.
*Penghulu Madya / Kepala KUA Kec. Pegasing Kab. Aceh Tengah.