Dialog Sang Kancil dan Seekor Kerbau

oleh

Oleh : Johansyah*

Dongeng kancil sering kita dengar sewaktu kecil. Negeri tetangga kita Malaysia bahkan mengemasnya dalam bentuk film animasi ‘Pada Zaman Dahulu’ dan sangat digemari anak-anak. Seekor kancil digambarkan sebagai hewan yang lemah, tapi banyak akal sehingga dapat mengalahkan hewan dan binatang buas sekali pun. Buaya, ular, hingga harimau dan lain-lainnya dapat ditundukkan oleh sang kancil dengan kecerdikannya.

Kali ini, mari kita simak dialog antara di kancil dan si kerbau. Sebelumnya sang kancil melihat sang kerbau bersembunyi di balik rerumputan rimbun karena melihat seekor harimau datang mendekat. Dia sembunyi untuk menyelamatkan diri. Sang kancil senyum menyaksikan tingkah seekor kerbau yang begitu penakut.

Alhasil, si kerbau selamat karena harimau tersebut sudah pergi menjauh. Sang kancil yang berada tidak jauh di belakang kerbau, mengagetkanya. Sang kerbau memarahi kancil; ‘kurang kerjaan kamu kancil, untung aku tidak menandukmu. Kalau aku menandukmu, kamu akan rubuh seketika’.

Kancil lantas bertanya; ‘memang kamu siapa berani mengancam?’ tanya sang kancil. ‘kenapa engkau bertanya wahai sang kancil, aku ini kerbau, aku ini kerbau yang memiliki dua tanduk tajam’, cetusnya agak geram. ‘tidak, engkau bukanlah seekor kerbau, aku bahkan tidak mengenalmu sebagai hewan apa’, jawab si kancil santai dan dengan nada sedikit mengejek.

Melihat tingkah sang kancil, kerbau naik pitam sambil mengancam; ‘sekarang pilih, engkau mengakuiku sebagai kerbau, atau aku akan menandukmu sehingga engkau rubuh’.

‘Eh eh eh, sabar dulu. Oke aku mengakuimu sebagai kerbau. Tapi apa bukti kuatnya engkau adalah kerbau’? tanya sang kancil. ‘kerbau pun menegaskan lagi, bahwa dia punya badan besar dan dua tanduk yang tajam. ‘kalau kamu tidak percaya, kita panggil hewan yang lain dan tanyakan kepada mereka siapa aku’, tantang si kerbau.

Si kancil pun menyetujui. Dipanggillah hewan lain di sekitar tempat tersebut. Kerbau lalu mengutarakan tujuannya; ‘wahai teman-teman sekalian, percayakah kalian bahwa saya ini kerbau?’ tanya si kerbau pada yang lainnya. ‘percaya, percaya, kami percaya’, jawab hewan-hewan lainnya. ‘Nah, kancil, apalagi yang engkau ragukan.

Bukankah aku sudah katakan dan mereka juga membenarkan. Atau penglihatanmu yang sudah mulai rusak’, cetus kerbau dengan nada bangga dan sedikit mengejek.
‘Huh, sampai sekarang aku tidak yakin engkau adalah kerbau, dan penglihatanku normal’, jawab sang kancil santai. Si kerbau yang tadinya sudah naik daun, merasa muak dengan sikap sang kancil.

‘Sekarang apa alasanmu sehingga tidak mengakui aku sebagai kerbau sementara yang lain suda mengakuinya?’

Kancil pun menjelaskan; ‘begini; makanya aku meragukanmu sebagai seekor kerbau. Tadi aku sempat mengamatimu bersembunyi di balik rerumputan karena takut pada seekor harimau. Padahal kalau engkau kerbau yang punya tanduk tajam, mestinya engkau tidak takut.

Seekor harimau itu bisa engkau rubuhkan dengan tandukmu itu jika dia menyerangmu. Tapi aku malah melihatmu menghindar. Kenapa engkau tidak mengeluarkan kata ancaman sebaigaimana engkau mengancamku tadi; ‘aku bertanduk tanjam dan aku bisa merubuhkanmu’. Sayang kata ini tidak kulihat buktinya’. Kata sang kancil.

Kerbau yang mendengar ulasan si kancil soal dirinya merasa malu dan tertunduk. Dia mengaku memang takut kepada harimau, tapi sekiranya harimau itu mengancam, dia sebenarnya mampu mengalahkannya.

Akhirnya kerbau pun paham kenapa kancil tidak mengakuinya sebagai kerbau, karena kerbau seharusnya mampu melakukan perlawanan dan dia punya dua tanduk yang sangat kokoh dan tajam.

Cerita di atas sebenarnya juga sindiran bagi kita manusia. Kita ini mengakui diri sebagai manusia. Jika ada yang mengatakan kita bukan manusia, tentu merasa tersinggung. Tapi kalaulah manusia, tentu harus ada bukti bahwa kita adalah manusia. Dilahirkan ke dunia untuk apa, bagaimana seharusnya berteman, bertetangga, bermasyarakat, dan sebagainya.

Jangan-jangan seperti kasus kerbau yang tidak diakui sebagai kerbau karena tidak mampu melakukan sesuatu pekerjaan yang melekat pada karakter dan sifatnya sebagai kerbau.
Ketika seseorang mengakui diri sebagai manusia, sejatinya dia memahami tugas dan tanggung jawab kemanusiaan.

Itulah yang sejatinya diusahakan secara maksimal dalam kesehariannya. Menyakiti orang lain bukan sikap kemanusiaan, untuk itu jangan lakukan. Mengambil hak orang lain dengan cara dan alasan apa pun juga bukan watak manusia sejati, untuk itu jauhi. Berbuat baik pada sesama, mengabdi kepada-Nya dengan setulus hati, itulah manusia sebenarnya.

Maka tetaplah pada jalur kebenaran dan kebaikan itu agar kita diakui sebagai manusia. Kalau tidak, jangan tersinggung jika ada orang yang mengatakan kita bukan manusia.
Dalam skala yang lebih kecil, khususnya terkait dengan dunia keprofesian. Biasanya tertulis di KTP kita pekerjaan yang digeluti.

Minsalnya PNS, Pengacara, Polisi, Guru, Pengusaha, TNI, dan sebagainya. Namun mungkin bisa diajukan pertanyaan pada diri sendiri, benarkah saya aparat penegak hukum dalam memutuskan perkara melakukannya dengan adil, tanpa memihak, memilih dan memilah yang kaya dan miskin, saudara atau orang lain dan sebagainya.

Sebagai aparat penegak keamanan juga demikian. Apakah kita sudah menjalankan tugas sesuai dengan amanat profesi atau jangan-jangan banyak praktik penyimpangan pekerjaan yang berada di luar profesi tersebut. Pengusaha juga sama, apakah usaha yang dikelolanya hanya melulu memikirkan keuntungan peribadi dan tidak mau tau orang lain rugi.

Demikian halnya ketika di KTP atau biodata kita tertulis guru maupun dosen. Benarkah itu profesi kita. Kalau memang guru seberapa serius perhatian kita terhadap pendidikan, anak-anak, persoalan pendidikan dan seterusnya.

Demikian juga ketika seseorang mengakui dirinya sebagai dosen, apa buktinya bahwa dia adalah seorang dosen dalam standar idealnya, dan apa pekerjaan rutin yang dikerjakannya selama menjadi dosen?

Dulu, ada salah satu dosen SI saya, Dia lebih dikenal sebagai agen mobil dari pada dosen karena pekerjaan rutin yang digelutinya justru bukan mengajar, tapi jual beli mobil dan sepeda motor. Masuk mengajar kuliah paling hanya empat atau lima kali. Selebihnya dia memberikan tugas kepada masing-masing mahasiswa dan harus siap pada waktu yang telah ditetapkan.

Akhirnya, dialog kancil dengan seekor kerbau di atas, tidak lain adalah tamsilan bagi kita manusia yang sering berbangga diri menjadi manusia karena dilebihkan dari makhluk ciptaan-Nya yang lain. Tapi sayang dari sikap dan perilaku terkadang manusia lebih sadis dari harimau, lebih tamak dari monyet, lebih licik dari musang dan sebagainya. Sehingga jika terjadi dialog antara kancil dan manusia, dia mungkin bertanya; ‘benarkah anda manusia?’. Wallahu a’lam bishawab!

*Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah

Johansyah (Dok. Pribadi)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.