Selamat Jalan Sahabat “Pang Jangko Mara”

oleh
Pang Jangko Mara (Kanan)

Oleh : Fauzan Azima*

Pada Desember 1999; salah seorang yang membuat kami bangga adalah Tengku Halidin Gayo dibai’at sebagai anggota GAM Wilayah Linge. Artinya bagi anak-anak muda di sekitar kota Simpang Tiga, Reje Guru, Jongok tidak sulit lagi bagi kami untuk merekrutnya.

Keberadaan beliau kami anggap telah mewakili sebagian besar masyarakat kampung-kampung di sekitar Kota Bener Meriah. Bahkan ketika kami turun di pasar, beliau dengan mudah mengontak orang-orangnya untuk mempersiapkan segala sesuatu, termasuk logistik.

Jaringannya termasuk luas, terutama sesama pekerja di PT. KKA dan pabrik kopi LTA-77 memudahkan kami menyebarkan idiologi perjuangan. Sehingga sepanjang tahun 2000 kami mengunjungi siapa saja yang bisa kami rekrut sebagai pasukan maupun hanya sekedar pendukung perjuangan.

Nama sandi Tengku Halidin Gayo adalah Pang Jangko Mara yang “digelarkan” langsung oleh Abang Ali Aman Hanif (ayah mantan Bupati Bener Meriah, Ahmadi Samarkilang). Menurut Abang Hanif, nama “Jangko Mara” adalah do’a; siapapun yang dengki dan khianat kepadanya akan mendapat musibah.

Kemampuan dan keyakinannya terhadap perjuangan tidak diragukan lagi. Sehingga beberapa kali kami mempercayakan untuk berdiplomasi dengan wilayah tetangga, khususnya Wilayah Bate’ilek, dalam menyelesaikan perkara pasukan yang melanggar batas wilayah.

Ketika Muallim, Tengku Muzakkir Manaf bersama pasukan GAM Wilayah Linge di Bukit Rebol, Pang Jangko Mara selalu mendampinginya. Mereka selalu berada dalam satu bivak. Sering kami mendengar mereka berbicara berdua, kadang-kadang tertawa di kegelapan.

“Lebih baik bahasa Melayu saja daripada susah lidahnya” kata Muallim tertawa “meledek” saat Pang Jangko Mara bicara terbata-bata dalam bahasa Aceh, tetapi terus saja memaksakan diri, sehingga maknanya susah ditangkap.

Jangko Mara sangat akrab dengan Muallim, sehingga berani mencandainya. Sedang kami dan pasukan segan terhadap Muallim. Kami tidak mau bicara kepadanya, kecuali hal-hal penting. Kami sangat terbantu dengan keakraban Jangko Mara dengan Muallim. Segala sesuatu kami sampaikan lewat Jangko Mara.

Saya sendiri selalu memilih bivak pintu masuk dan kami selalu menempatkan bivak Muallim di tempat yang paling aman. Itu termasuk etika pasukan terhadap komandan. Kami percaya menempatkan Muallim satu bivak dengan Jangko Mara, di samping sebagai teman berbicara, juga sebagai pengawalnya.

Pada pertengahan Desember 2004, karena pengepungan besar-besaran di daerah Bukit Rebol dan sekitarnya, setelah bermusyawarah akhirnya pengawalan Muallim kami serahkan kepada pasukan Bateilek. Pada saat perpisahan, Muallim memberikan senjata AK-56 miliknya kepada Pang Jangko Mara.

Kami mengenal sosok Pang Jangko Mara seorang pemberani. saat perang berkecamuk, Jangko Mara selalu lari paling akhir. Tidak jarang membersihkan bekas-bekas pasukan yang terlebih dahulu menyelamatkan diri agar musuh tidak mengikuti jejak kami.

Pernah dalam satu pengepungan musuh, tiba-tiba kami ditembaki. Kami yang membuat bivak sederhana sehari sebelumnya di sebuah bukit daerah Blang Leupu, daerah antara Krueng Mane dan Matang Gelumpangdua.

Pada hari naas itu, di tengah hujan peluru handphone saya tertinggal, saya meneriaki Jangko Mara agar mengambilnya. Begitu tangannya meraihnya, kayu tempat saya menggantung handphone itu langsung patah oleh hantaman peluru.

Selamat dari pengepungan itu, kami merangkak menyelamatkan diri melalui kubangan babi ke arah Cot Panglima. Dalam peristiwa pengepungan itu syahid seorang pasukan Pang King.

Terlalu banyak kenangan “nyawa di ujung rambut” bersama Pang Jangko Mara dan tidak mungkin bisa kami lupakan. Walau perjuangan hanya tinggal kenangan, tetapi kami percaya tidak ada yang sia-sia.

Kini Pang Jangko Mara telah mendahului kita semua. Selamat jalan sahabat! Kebaikanmu, keikhlasanmu, kesetiaanmu, kegigihanmu, keberanianmu dan kesederhanaanmu akan kami ceritakan kepada anak cucu kami.

(Mendale, 17 Januari 2021)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.