Oleh : Yopi Ilhamsyah*
Stasiun Klimatologi BMKG Indrapuri merilis daftar distribusi curah hujan dasarian I (tanggal 01-10) pada bulan Desember di wilayah Aceh. Curah hujan dasarian adalah curah hujan kumulatif yang dihitung selama 10 hari.
Untuk Kabupaten Aceh Utara, hujan yang jatuh tergolong sangat tinggi atau dapat pula disebut ekstrim dengan nilai curah hujan melebihi 300 milimeter (mm) seperti tercatat pada pos hujan di Baktiya 430.1 mm, Lhoksukon 369 mm, Panton Labu-Tanah Jambo Aye 426 mm, Nibong 314 mm, Tanah Luas 305 mm.
Untuk Kabupaten Aceh Timur, curah hujan berkategori ekstrim tercatat pada pos pengamatan hujan ARG Aceh 445.8 mm, Peureulak 378.6 mm, Idi Rayeuk 412 mm, Darul Ihsan 342 mm, Indra Makmu 316 mm, Julok 380 mm, Rantau Seulamat 345 mm, Serba Jadi 401 mm, Sungai Raya 371 mm.
Volume air dapat diketahui melalui perkalian jumlah curah hujan dengan luas wilayah.
Penyebab Hujan Ekstrim
Berdasarkan prediksi BMKG, bersumber dari lembaga cuaca internasional, siklus iklim antar tahunan yang disebut La Nina teramati berstatus menengah (moderat) dengan anomali (penyimpangan) suhu muka laut Pasifik mencapai minus 1,34 derajat Celcius.
Sementara itu, NASA memprediksi anomali suhu muka laut akan menembus minus 3,0 derajat Celcius pada periode Januari-Maret 2021 dengan status La Nina kuat. La Nina berstatus moderat hingga kuat menyebabkan lautan Indonesia memanas.
Ketika status La Nina terus meningkat, suhu muka laut yang panas meluas ke arah barat perairan Indonesia. Wilayah Aceh yang berada di barat laut kepulauan Indonesia ikut pula terdampak.
Di permukaan laut, kolom air yang hangat di lapisan atas mengakibatkan tekanan udara di atasnya menurun. Akibatnya, tekanan udara di sekitar Khatulistiwa menjadi sangat rendah, kondisi ini menyebabkan sirkulasi Muson menguat.
Sirkulasi Muson adalah aliran udara yang bergerak dari tekanan tinggi akibat mendinginnya benua Asia di utara menuju tekanan rendah di benua Australia yang sedang mengalami musim panas.
Selama dasarian I, pada tanggal 05 Desember 2020. Di lepas pantai barat daya Pulau Jawa, tumbuh bibit siklon tropis yang diberi nama 96S. Siklon 96S terbentuk akibat menghangatnya suhu muka laut di tenggara Samudera Hindia.
Konsekuensinya, tekanan udara menurun dan uap air di sekitar perairan Indonesia tertarik menuju pusat siklon di barat daya lepas pantai Jawa. Kondisi ini turut pula menguatkan sirkulasi Muson.
Jadi, yang pertama Muson menguat karena tekanan udara yang turun akibat suhu laut memanas di perairan Indonesia. Suhu laut panas karena dampak La Nina. Yang kedua, akibat suhu laut panas oleh La Nina maka tumbuh siklon. Pusaran siklonik dengan cepat menarik udara di sekitarnya menjadikan Muson bersirkulasi kencang.
Citra Satelit memperlihatkan anomali suhu muka laut hangat sekitar 1 derajat Celcius di perairan Aceh. Permukaan laut yang terus menghangat menyebabkan laju penguapan juga tinggi. Udara yang menguap dari lautan di sekitar timur laut hingga barat laut Aceh tertarik ke selatan. Kondisi ini disebabkan kehadiran siklon yang bertekanan sangat rendah di selatan.
Pengaruh gaya Coriolis menyebabkan udara tidak bergerak lurus ke selatan tetapi membelok ke barat daya di utara Khatulistiwa dan kemudian membelok ke tenggara setelah melewati Khatulistiwa di selatan. Gaya Coriolis timbul karena Bumi berputar pada porosnya atau disebut berotasi.
Dalam perjalanannya ke selatan, udara yang banyak mengandung uap air yang dihasilkan lewat proses evaporasi (penguapan) menabrak lereng timur pegunungan Bukit Barisan.
Uap air dengan cepat menjadi jenuh, selanjutnya berkondensasi membentuk awan. Kondensasi adalah perubahan wujud fluida dari uap menjadi air.
Semakin rendah tekanan udara, semakin kencang aliran udara yang mengandung uap air. Semakin cepat proses kondensasi, semakin banyak awan kumulus yang tumbuh di timur pegunungan Bukit Barisan.
Awan-awan kumulus ini bergabung membentuk awan yang lebih besar. Labilitas udara yang naik ke angkasa di dalam awan akibat proses konvektif menyebabkan awan tumbuh besar dan tinggi, bahkan mencapai ketinggian 12 kilometer di langit, awan ini disebut kumulonimbus.
Tata Kelola Wilayah
Udara yang sudah sangat jenuh di dalam awan kumulonimbus berdiameter besar, menumpahkan air dalam jumlah besar dari langit yang kita sebut hujan ekstrim di pesisir utara dan timur Aceh. Sebelum hujan turun, hal yang harus menjadi perhatian kita jauh-jauh hari sebelum musim hujan tiba, yaitu :
- Bagaimana kondisi tanah?
- Bagaimana kapasitas sungai dan drainase/selokan?
- Bagaimana dengan daerah resapan dan ruang hijau?
- Bagaimana dengan penggunaan lahan?
- Apakah daerah bantaran banjir sudah bebas dari bangunan?
- Bagaimana dengan sampah?
- Apakah tersedia waduk dan bendungan untuk menampung air?
- Bagaimana kondisi laut, apakah sedang terjadi pasang?
Jika daerah resapan air tidak mencukupi diperparah dengan tersumbatnya selokan serta kapasitas sungai yang tidak lagi memadai. Boleh jadi akan menimbulkan genangan. Genangan dalam skala luas muncul banjir.
Transformasi lanskap di permukaan dari wilayah bervegetasi menjadi lahan pemukiman atau pertokoan secara langsung juga mempengaruhi kondisi iklim lokal.
Sering tidak kita sadari bahwa dengan alih fungsi lahan yang tidak terkendali, dengan sendirinya telah menciptakan daerah bertekanan udara rendah di permukaan.
Ingat, udara bergerak dari tekanan tinggi menuju tekanan rendah. Ketika bangunan serta jalan aspal lebih mendominasi dibanding vegetasi, maka tekanan udara di atas bangunan dan jalan aspal menjadi turun dan rendah.
Turunnya tekanan disebabkan udara panas dari bangunan. Aktivitas manusia mengubah alam yang berdampak (degradasi) lingkungan kita sebut dengan faktor antropogenik
Awan kumulonimbus yang terbentuk dari udara yang mengandung air akan bergerak menuju wilayah yang dipenuhi oleh bangunan. Mengapa?, karena di atas bangunan tekanan udara rendah.
Selanjutnya, hujan lebat bahkan ekstrim akan tumpah di atas lahan yang telah bertransformasi menjadi bangunan. Tanpa resapan air, banjir terus meninggi. Keadaan ini dapat mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian material.
Oleh karenanya, daerah resapan air, ruang hijau dan sistem drainase yang baik menjadi sangat urgen. Tiga hal tersebut menjadi indikator tata kelola wilayah yang baik.
Demikian pula untuk wilayah berbukit-bukit atau bergunung-gunung seperti Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara hingga barat dan selatan Aceh.
Konservasi hutan terutama di areal hutan lindung harus menjadi prioritas. Dengan wilayah terjal bergunung-gunung, 30 persen penghijauan terkadang dirasa belum cukup. Hutan gundul berimbas dari hulu hingga hilir. Untuk perkebunan sebisa mungkin menerapkan konsep agro-forestri.
Dengan demikian, bahaya hidrometeorologis yang dapat menimbulkan bencana bagi masyarakat dapat kita hindari. Bencana banjir dan longsor yang kerap terjadi sepanjang tahun 2020 menjadi iktibar bagi kita untuk lebih memperhatikan alam dan keseimbangannya.
*Akademisi dan pengelola laboratorium Meteorologi Laut, Fakultas Kelautan dan Perikanan Unsyiah.